Jumat, 29 Maret 2013

Ban Ek Can

Oleh Hidayat S

BAN EK CAN berada di daerah Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir. Butuh waktu 7 jam perjalanan ke sana dari Pekanbaru, ibukota Propinsi Riau. Ban Ek Can adalah nama pabrik kecap milik keturunan Tionghoa. Lokasinya di Jalan Pahlawan kota Bagansiapiapi.


Mayoritas penduduk Bagansiapiapi dihuni suku Tionghoa. Kota ini pun sering disebut orang sebagai Chinatown-nya Indonesia. Dalam sejarahnya, kota Bagansiapiapi memang ditemukan oleh suku Tionghoa.

Wikipedia mencatat orang Tionghoa yang pertama sekali datang ke Bagansiapiapi berasal dari daerah Songkhla di Thailand. Mereka sebenarnya perantau-perantau Tionghoa yang berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua) di Xiamen, Propinsi Fujian, Tiongkok Selatan. Konflik yang terjadi antara orang Tionghoa dengan penduduk Songkhla Thailand menjadi penyebab terdamparnya mereka di Bagansiapiapi.



Pelarian dari Songkhla dilakukan menggunakan tiga perahu kayu (tongkang). Selama perjalanan hanya satu tongkang yang selamat sampai di darat. Ia adalah tongkang yang dipimpin Ang Mie Kui bersama 17 penumpang lainnya. Tongkang yang selamat ini kebetulan membawa serta patung Dewa Tai Sun Ong Ya yang diletakkan di bagian haluan dan patung Dewa Kie Ong Ya yang ditempatkan dalam rumah tongkang.

Mereka berkeyakinan patung-patung ini yang memberi keselamatan selama pelayaran. Mereka juga meyakini sebuah petunjuk telah diberikan Sang Dewa ketika melihat cahaya api kerlap-kerlip sebagai tanda adanya daratan. Rupanya cahaya api berasal dari kunang-kunang (siapiapi) yang bertebaran di antara hutan bakau yang tumbuh subur di tepi pantai.

Di daerah tidak bertuan inilah mereka mendarat dan membangun tempat pemukiman baru yang kemudian dikenal dengan nama Bagansiapiapi. Kata Bagan sendiri mengandung makna tempat, daerah atau alat penangkap ikan.

Sensus Penduduk Indonesia 2010 menyebutkan jumlah penduduk Kecamatan Bangko 82.500 orang, mayoritas suku Melayu dan Tionghoa. Sebagian besar penduduk kota Bagansiapiapi tinggal di Kecamatan Bangko. Kecamatan ini menjadi pusat pemerintahan di Bagansiapiapi. Sejak 24 Juni 2008 Bagansiapiapi resmi menjadi ibukota Rokan Hilir. Sedangkan Rokan Hilir resmi menjadi kabupaten pada 4 Oktober 1999.


TEMBOK TIGA METER batasi lokasi pabrik dengan Jalan Pahlawan. Pintu gerbang untuk masuk ke dalam pabrik sudah usang termakan usia. Pintu karatan itu terbuka di kedua sisinya.
Luas pabrik Ban Ek Can sekitar 10 x 16 meter. Begitu melewati pintu gerbang, akan ditemukan halaman luas dipenuhi tempayan di sana-sini. Tempayan tersusun rapi di sisi kiri dan kanan halaman. Totalnya 52 tempayan berukuran besar. Isinya beragam, mulai dari rendaman kacang kedelai hingga air bakal kecap asin.

Ada pula bak berukuran 60 x 150 sentimeter berisi cairan kecap sebanyak 4 baris. Masuk agak ke dalam akan terlihat tungku tempat memasak bahan-bahan yang akan dijadikan kecap dan tauco.

Beberapa perempuan sibuk membersihkan botol-botol yang akan digunakan sebagai tempat meletakkan kecap maupun tauco yang akan dipasarkan. Sebagian karyawan lagi menempel stiker pada botol yang sudah bersih. Ada pula yang sedang mengikat botol yang sudah berisi kecap dan tauco.

Ban Ek Can berupa pabrik kecap berskala rumah tangga. Bermerek Cap Jempol, pabrik ini didirikan oleh Nig Siu tahun 1922. Ban Ek Can merupakan industri kecap pertama dan satu-satunya di kota Bagansiapiapi hingga kini. “Nig Siu yang memberi nama Ban Ek Can,” kata Wasmad, cucunya.

Usaha pabrik kecap ini dikelola turun temurun. Setelah Nig Siu wafat, usaha dipegang oleh Ng Hu anaknya. Ng Hu mengelola usaha ini selama 25 tahun, baru kemudian diserahkan ke Wasmad anaknya.

Dengan begitu Wasmad merupakan turunan ketiga. Kini ia berusia 56 tahun. Ia sudah berkecimpung di pabrik sejak umur 17 tahun. Meski tak pernah sekolah, Wasmad sudah mengelola usaha kecap selama 40 tahun.

Sejak tahun 2007 usaha kecap Ban Ek Can diteruskan Bacid. Ia anak kelima Wasmad berusia 25 tahun. Bacid tak sendiri, ia ditemani abangnya Harianto untuk mengelola Ban Ek Can.

Industri Ban Ek Can hasilkan 3 jenis produk: kecap, tauco dan saus tomat. Kemasannya tersedia dalam botol kaca maupun plastik.

Tak ada ciri khas yang membedakan kecap Ban Ek Can dengan produksi kecap yang beredar di pasaran. “Cuma kecap ini terbuat dari kacang kedelai asli. Untuk rasa kecap, hanya asin saja,” kata Bacid. Dari awal mereka memang tak memproduksi kecap manis. “Sudah banyak yang bikin, selain itu juga agak ribet,” lanjutnya.

Bahan dasar kecap yakni kedelai dibeli langsung dari pedagang di pasar. Untuk pembuatannya, kedelai direndam dalam tempayan yang sudah bersih, kemudian dicampur garam agar lebih awet untuk dikonsumsi. Kedelai yang direndam tadi didiamkan selama 6 bulan. Setelah itu, kedelai dan air rendamannya dipisah untuk membuat tauco dan kecap asin.

Air rendaman diasingkan ke wadah lain dan didiamkan lebih kurang 4 bulan. Kemudian disalin ke wadah lebih kecil dan didiamkan lagi selama 3 bulan. Setelah itu barulah kecap dan tauco dimasak di atas kuali besar. Terakhir dimasukkan ke dalam kemasan agar tahan lama dan menarik konsumen.

Kecap Ban Ek Can diproduksi per minggu sebanyak 500 lusin. Satu lusin terdiri dari 12 botol kaca seukuran botol sirup. Harga jualnya Rp 7 ribu per botol.
Untuk pemasaran, pabrik tidak menjual ke agen, melainkan langsung ke konsumen yang datang ke pabrik. Bacid katakan, pemasaran kecap ini sudah sampai ke Surabaya, Jakarta, Pekanbaru dan Dumai.

Agar tetap konsisten berproduksi, Wasmad pekerjakan 8 karyawan. Upah kerja harian per orang sebesar Rp 25 ribu. Jumlah ini akan bertambah setiap bulannya sesuai kinerja karyawan.

Pabrik kecap Ban Ek Can berskala rumah tangga ini sudah berjalan selama 90 tahun. “Kecap yang diproses dari air bekas produksi tauco akan lebih wangi,” kata Bacid membeberkan sedikit rahasia turun temurun keluarganya. Herman

Tulisan ini diterbitkan di majalah Bahana Mahasiswa Universitas Riau edisi Juli Oktober