Selasa, 24 April 2012

Menulis Butuh Tahu dan Berani

Untuk Luh Putu Ernila Utami di Bali,

Aku tidak menulis makalah saat aku membawakan sesi soal menulis itu. Minggu lalu, aku mulanya mengira sesi itu akan dilakukan dengan format kecil, 10-15 orang, dengan diskusi hangat dan suasana temaram. Ternyata pesertanya 40-an orang dengan ruang besar, meja raksasa, kursi berlengan, serta kebisingan jalan tol.

Intinya, aku cuma mengajak para peserta, para aktivis itu, berpikir ulang soal bagaimana mereka bisa menulis yang menarik sekaligus mendalam.

Aku tahu banyak dari kalian punya pengalaman dahsyat. Dari bikin demonstrasi anti kabel listrik voltage tinggi hingga pemogokan angkutan umum. Dari Bali sampai Maumere, dari Salatiga sampai Makassar. Ini semua bahan-bahan menarik untuk diceritakan.

Kalian melawan polisi. Kalian melawan bupati. Kalian melawan partai. Kalian bahkan ada yang melawan negara. Aduh, itu cerita berminyak untuk ditulis gurih dan diceritakan renyah untuk orang lain. Pramoedya Ananta Toer dalam Khotbah dari Jalan Hidup mengatakan, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Ada dua syarat sederhana bila kau ingin ingin "bekerja untuk keabadian": kau harus tahu dan kau harus berani.

Kau harus benar-benar menguasai isu yang kau tulis. Janganlah kau menulis soal "peningkatan sumber daya manusia dan ekonomi masyarakat" atau "globalisasi dalam kaitannya dengan Pancasila serta Islam" dan sebagainya. Kata-kata itu cuma jargon.

Kau jangan membebek orang lain menulis. Mereka sok pinter. Mereka sering tak tahu perdebatan-perdebatan yang sudah dilakukan orang-orang macam Michael Sandel dan Thomas Friedman soal globalisasi. Mereka tak tahu kebohongan Muh. Yamin atau Nugroho Notosusanto dengan apa yang dinamakan Pancasila. Ada ratusan teori soal demokrasi dan mereka belum baca tuntas semuanya. Pakai kata-kata sederhana. Kalimat pendek-pendek.

Lebih baik kau tulis masalah sehari-hari. Penyair Widji Thukul menulis masalah sehari-hari bila memulai syairnya. "Tadinya aku pengin bilang: aku butuh rumah tapi lantas kuganti dengan kalimat: setiap orang butuh tanah. Ingat: setiap orang!" tulis Thukul dalam Tentang Sebuah Gerakan.

Sederhana sekali.

Kalau kau mau "tahu" maka kau harus bikin riset. Kau harus baca buku. Kau harus wawancara orang. Minta izin bila hendak mengutip omongan orang. Harus jujur. Harus transparan. Kau tulis masalah listrik naik di subak kau. Kau tulis soal kesulitan tetangga kau si tukang jahit. Kau tulis tentang orang-orang biasa. Esensi jurnalisme adalah verifikasi. Semua keterangan itu harus kau saring. Carilah kebenaran.

Mulailah dari hal kecil. Kelak tanpa sadar kau akan baca makin banyak buku. Kau akan wawancara ribuan orang. Kelak tanpa sadar kau bisa menulis soal kebohongan dan kejahatan para petinggi negeri kita.

Tetapi "tahu" saja tidak cukup. Kau harus punya keberanian, punya nyali untuk menyatakan pikiran kau. Pramoedya dan Thukul adalah orang berani. Pram dipenjara Belanda, Soekarno dan Soeharto. Perpustakaan Pram dibakar tentara. Bukunya habis. Kupingnya budek gara-gara hajaran serdadu. Thukul bahkan diculik dan hilang hingga hari ini.

Mereka tahu kesusahan si tukang jahit atau si jongos. Mereka berani pula menulis untuk membela si kecil.

Menulis adalah "laku moral." Kita bicara soal kebenaran. Kau harus berani menyatakan kebenaran. Aku kenal banyak wartawan di ibukota negeri ini. Mereka tahu soal kebusukan petinggi negeri ini. Mereka tahu redaktur mereka mulai sering ditelepon bedinde-bedinde si petinggi. Kok nulis ini? Kok nulis itu? Tapi mereka tak punya keberanian. Mereka takut bisnis mereka terganggu. Maka "himbauan" si bedinde diikuti.

Akibatnya, banyak cerita di belakang layar yang tak ditulis di negeri ini. Kau maklum saja. Mereka tak punya keberanian macam Pram atau Thukul. Mereka lebih takut ditegur redakturnya. Mereka ketakutan macam anjing sembunyi ekor di balik pantat.

Jadi, kalau kau mau menulis, hanya dua syarat sederhana. Kau harus tahu sekecil apapun yang kau tulis. Kau harus berani.

Itulah inti dari sesi pelajaran menulis di Jakarta minggu lalu. Aku harap surat kecil ini membantu kau memahaminya. Terima kasih karena kau sudah rela sedia tenaga mengambil makanan untuk rekan-rekan kau.

Dari Blog Mas Andreas

Bedah Buku “Tsunami Aceh”

Departemen Ilmu Komunikasi dan Pusat Kajian Komunikasi FISIP UI bekerja sama dengan UNESCO Perwakilan Jakarta, mengadakan peluncuran dan bedah buku “Tsunami Aceh: Komunikasi di Tengah Bencana” yang berlangsung hari Jumat (10/03) di gedung AJB Bumiputera Kampus FISIP Depok.Para pembahas buku terdiri atas, Dr.Ibnu Hamad (penulis), Drs.Zulkarimein Nasution, MSc dan Drs.Awang Ruswandi M.Si (akademisi) Farid Gaban (wartawan) Andreas Harsono (Komunitas Pantau) dan Arya Gunawan (UNESCO Perwakilan Jakarta).

Buku yang ditulis setahun setelah peristiwa bencana tsunami Aceh terjadi ini, mencoba merekam ulang serta “menghadirkan kembali” pengalaman para jurnalis yang meliput bencana tersebut, suka dukanya sewaktu hendak berangkat maupun selama kegiatan peliputan.

Ibnu Hamad (40), staf pengajar Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, mencoba menuangkan peristiwa seputar bencana tersebut dengan mewawancarai 10 nara sumber (jurnalis) dari berbagai media cetak/elektronik Jakarta maupun yang berada di Aceh. Mulai dari mewawancarai hingga menjadi tulisan, diselesaikannya hanya dalam jangka waktu 3 minggu.

Zulkarimein Nasution melihat dari aspek lain, bahwa tugas dan fungsi jurnalis di saat-saat amat darurat, tidak lagi cukup seperti biasanya. Pada situasi luar biasa, kehadiran wartawan di lokasi bencana bukan sekedar perlombaan untuk mendapatkan berita besar yang akan diekspos besar-besaran pula. Muncul pelbagai tuntutan yang mengharuskan para wartawan untuk mempertimbangkan hal-hal yang selama ini rasanya tidak terlintas di pikiran mereka. Misalnya wartawan merupakan calon yang potensial terkena secondary traumatic Stress Disorder. Karena menyaksikan sesuatu yang orang lain tidak pernah melihatnya. Suatu hal yang selama ini tidak begitu menjadi perhatian karena lebih terfokus pada keprofesionalan tugas.

Sementara Farid Gaban, sebagai seorang jurnalis jika melihat suatu peristiwa luar biasa, maka yang lebih diprioritaskan adalah jiwa kemanusiaan yang lebih ditonjolkan, daripada profesionalitas pekerjaan, karena wartawan juga seorang manusia yang punya hati dan punya rasa.

Sementara Andreas Harsono setelah membaca buku “Tsunami Aceh” menilai, betapa pimpinan media cetak/elektronik tidak siap dengan segala kemungkinan untuk meliput suatu bencana yang luar biasa. Begitu juga para wartawannya, membekali diri dengan persiapan seadanya. Berbeda dengan media luar negeri, mereka senantiasa membekali diri dengan baik, misalnya dibekali dengan peta lokasi dan berbagai informasi tentang wilayah yang menjadi bencana. Dengan demikian tidak bisa disalahkan kalau akhirnya orang dalam mencari informasi lebih mempercayai media asing.

Dari Blog Mas Andreas

Apa itu Investigative Reporting?

Andreas Harsono
Institut Studi Arus Informasi


Apakah semua wartawan menjalankan fungsi investigasi?

Jawabnya bisa ya bisa tidak. Sebagian wartawan mengatakan setiap reporter juga seorang investigator. Namun ada yang mengatakan tidak setiap wartawan melakukan investigasi. Wartawan yang ikut pertemuan pers, menyodorkan tape recorder dan sekali-kali menerima amplop, pasti bukan seorang investigator.

Namun ada juga yang berpendapat setiap wartawan seyogyanya menjadi seorang investigator. Atau dipertajam lagi, ada yang mengatakan bahwa setiap wartawan harus bisa menjadi seorang investigator. Entah itu wartawan di kota atau reporter bisnis. Bahkan wartawan yang bertugas meliput pakaian mode baru juga bisa menjadi investigator. Logikanya, kejahatan tak mengenal bidang-bidang liputan. Di mana-mana bisa terjadi kejahatan.

Sebagian wartawan juga mengatakan bahwa investigasi adalah pekerjaan jurnalisme yang dikaitkan dengan upaya membongkar apa-apa yang salah dan dirahasiakan. Namun apakah membongkar skandal antara seorang manajer dengan mantan sekretarisnya juga dikategorikan investigasi? Apakah membongkar skandal seorang politikus dan seorang aktivis perempuan bisa dikategorikan investigasi? Berhakkah media masuk hingga ke ruang pribadi ini? Apa beda investigative reporting dan in-depth reporting?

DARI MUCKRAKING HINGGA INVESTIGATIVE REPORTING

Sebelum masuk ke perdebatan-perdebatan tersebut, ada baiknya kita melihat apa yang terjadi di negara-negara lain yang tradisi persnya, setidaknya di bidang investigasi, lebih tua dari Indonesia. Di Amerika Serikat istilah investigative reporting mulai populer pada 1975, ketika di Columbia didirikan Investigative Reporters and Editors Inc. Tapi ini bukan berarti sesuatu yang baru sama sekali. Sebelumnya ada istilah muckraking journalism, antara tahun 1902 hingga 1912, ketika majalah McClure's menerbitkan laporan-laporan yang membongkar politik uang elit Washington. Sekarang IRE menjadi salah satu organisasi terkemuka dalam masalah investigasi dengan anggaran $800,000 per tahun[2]. Setiap tahun IRE mengadakan seminar teknik-teknik baru dalam investigasi, baik dalam pengelolaan database maupun spesialisasi tertentu (lingkungan hidup misalnya), serta memberikan hadiah buat karya-karya investigasi yang bagus di seluruh daratan Amerika Serikat. Ia memperkenalkan sistem riset lewat internet maupun pemakaian penginderaan jarak jauh.

Di Asia, saya kira Manila yang pertama kali memiliki organisasi semacam Philippines Center for Investigative Journalism ketika sekelompok wartawan muda pada tahun 1989 mendirikan lembaga itu sesaat setelah diktator Ferdinand Marcos melarikan diri dari Filipina. Direktur PCIJ Sheila Coronel datang ke Indonesia dan memberikan ceramah di Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta dan Ujungpandang pada 1-11 Oktober 1999[3]. Menurut Coronel, mereka mendirikan PCIJ karena media di mana mereka bekerja tak menyediakan suasana yang memungkinkan bagi wartawan-wartawan muda itu untuk membuat in-depth reporting maupun investigative reporting. Budaya newsroom di Filipina lebih banyak dihabiskan untuk meliput breaking news daripada analisa yang mendalam.

Pada November 1998 di Cambridge, Boston, juga diadakan pertemuan perdana dari International Consortium of Investigative Journalists yang memberikan penghargaan buat wartawan-wartawan dari seluruh dunia yang berkarya dengan baik di bidang investigasi. Untuk pertama kali penghargaan ini diberikan kepada Nate Thayer dari mingguan Far Eastern Economic Review yang berpangkalan di Hongkong atas jerih-payah dan prestasi Thayer dalam mewawancarai tokoh Khmer Merah Pol Pot[4].

Di Indonesia sendiri kurang jelas mulai kapan istilah liputan investigasi mulai menjadi populer. Namun setidaknya ada beberapa majalah yang secara eksplisit pada tahun 1990-an menggunakan kata "investigasi" dalam liputan mereka. Dwi-mingguan Tajuk yang didirikan tahun 1996 memposisikan dirinya sebagai majalah "berita, investigasi dan entertainmen". Majalah Tempo juga menambahkan satu rubrik "Investigasi" ketika terbit kembali 6 Oktober 1998[5].

Namun apa yang dinilai sebagai “investigasi” yang mungkin paling terkenal di Indonesia adalah liputan harian Indonesia Raya atas kasus korupsi di Pertamina dan Badan Logistik antara 1969 dan 1972. Harian itu melaporkan dugaan korupsi besar-besaran di Pertamina dengan memanfaatkan sumber-sumber anonim dari dalam perusahaan negara tersebut. Pertamina maupun pemerintahan Presiden Suharto menolak adanya korupsi. Walaupun Indonesia Raya terkesan agak crusading dalam liputannya namun beberapa tahun kemudian terbukti bahwa Pertamina memang penuh dengan korupsi hingga hampir membangkrutkan pemerintahan Suharto.

Dalam lima tahun terakhir ini, saya pikir liputan investigasi skala internasional yang dilakukan oleh wartawan Indonesia adalah investigasi tentang skandal emas Busang yang dibuat oleh wartawan lepas Bondan Winarno. Ia melanglang buana, pergi ke Calgary dan Toronto di Kanada, Manila di Filipina serta hutan rimba Busang di Kalimantan untuk menelusuri investigasinya yang dituangkan dalam bentuk sebuah buku.[6] Bondan juga menelusuri berbagai dokumen tentang pertambangan mineral dan cara-cara untuk "meracuni" mata bor dengan "emas luar" sedemikian rupa sehingga dibuat kesimpulan ada cebakan emas yang luar biasa besarnya di bawah permukaan hutan Busang.

Intinya Bondan menganggap Michael de Guzman, geolog senior Bre-X, "meracuni" sample hasil pemboran mereka dan melakukan kejahatan canggih untuk memperkaya diri mereka. Bondan secara mengejutkan juga memperkirakan bahwa de Guzman masih hidup, tidak mati bunuh diri seperti diberitakan. Bondan melaporkan bahwa mayat yang ditemukan di tengah hutan Busang itu tidak memiliki gigi palsu di rahang atasnya seperti yang dimiliki de Guzman. Geolog Filipina ini juga mempunyai gaya hidup mewah, suka berfoya-foya, main perempuan, yang tidak cocok dengan tipe orang yang memiliki kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Aneh juga bahwa de Gusman tidak duduk di samping pilot helikopter namun di belakang. Bondan mewawancarai dua orang dokter yang melakukan autopsi terhadap jasad tersebut serta seorang dari empat isteri de Guzman.

Dari gambaran sekilas atas pekerjaan Bondan maupun Nate Thayer sudah bisa kita ketahui bahwa investigative reporting memang lebih berat dari rata-rata pekerjaan jurnalisme sehari-hari. Bondan butuh waktu dua bulan penuh untuk mengerjakan investigasinya. Thayer bahkan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyakinkan Khmer Merah bahwa ia layak untuk mewawancarai Pol Pot.

Goenawan Mohamad dari majalah Tempo menyebut investigative reporting sebagai jurnalisme "membongkar kejahatan." Ada suatu kejahatan yang biasanya ditutup-tutupi. Wartawan yang baik akan mencoba mempelajari dokumen-dokumen bersangkutan dan membongkar keberadaan tindak kejahatan di belakangnya.

Namun pemahaman ini perlu dibedakan antara investigasi yang dikerjakan oleh seorang wartawan atau sebuah tim wartawan dengan liputan media atas hasil investigasi pihak lain. Ketika mingguan Panji Masyarakat memuat rekaman pembicaraan antara Presiden B.J. Habibie and Jaksa Agung Andi M. Ghalib pada pertengahan Februari 1999, banyak dosen komunikasi yang mengatakan bahwa itulah investigative reporting. Ahli hukum media Abdul Muis dari Universitas Hasanuddin mengatakan secara etis Panji tidak bisa disalahkan karena pemuatan itu bagian dari investigative reporting.[7] Muis mengatakan bahwa Panji melakukan investigasi. Terlepas dari keberanian Panji dalam menurunkan pembicaraan itu dengan pertimbangan adanya public interest dalam perbincangan tersebut, Prof. Muis lupa bahwa rekaman tersebut bukan dikerjakan Panji sendiri. Yang melakukan investigasi bukan Panji karena majalah itu hanya mendapatkan kaset rekamannya saja. Bukan menyadap pembicaraan telpon itu sendiri.

Robert Greene dari Newsday --beberapa kali disebut sebagai "Bapak Jurnalisme Investigasi Modern"-- membatasi liputan investigasi sebagai karya seorang atau beberapa wartawan atas suatu hal yang penting buat kepentingan masyarakat namun dirahasiakan oleh mereka yang terlibat. Liputan investigasi ini minimal memiliki tiga elemen dasar: bahwa liputan itu adalah ide orisinil dari wartawan, bukan hasil investigasi pihak lain yang ditindaklanjuti oleh media; bahwa subyek investigasi merupakan kepentingan bersama yang cukup masuk akal untuk mempengaruhi kehidupan sosial mayoritas pembaca suratkabar atau pemirsa televisi bersangkutan; bahwa ada pihak-pihak yang mencoba menyembunyikan kejahatan ini dari hadapan publik.[8]

DUA BAGIAN DARI PROSES INVESTIGASI

Mula-mula seorang wartawan investigator adalah wartawan yang tidak menerima mentah-mentah pernyataan sumber-sumber resmi. Seorang wartawan yang mau melakukan pekerjaan riset yang dalam, tekun merekonstruksi suatu kejahatan dan tidak kenal lelah untuk mengejar sumber-sumber yang penting, kira-kira itulah bayangan pekerjaan dalam jurnalisme investigasi.

Sumber-sumbernya banyak. Dokumen-dokumennya bertumpuk. Jelas bahwa sebuah karya investigasi tidak bisa dibuat hanya dengan mengandalkan sebuah laporan pemeriksaan polisi atau keterangan pers sebuah lembaga swadaya masyarakat. Walaupun ukuran waktu bersifat sangat nisbi, namun sebuah laporan investigasi biasanya makan waktu cukup lama. Bisa setengah tahun namun bisa juga setahun tergantung pada ukuran dan cakupan investigasi tersebut.

Menyelidiki perdagangan senjata antar-negara dan penggunaannya oleh para serdadu bayaran tentu lebih lama daripada investigasi penyalahgunaan dana pembangunan Pasar Pagi di kota Tegal. Perdagangan senjata biasanya melibatkan kejahatan terorganisasir di beberapa negara. Serdadu bayaran juga beroperasi lintas batas. Namun ukuran waktu memang nisbi. Kalau mereka yang dianggap melakukan penyalahgunaan renovasi Pasar Pagi ternyata sudah melarikan diri ke luar negeri, tentu waktu yang dibutuhkan lebih lama daripada sekedar mengejar sumber-sumber antara Tegal dan Jakarta (dalam negeri).

Dalam skala internasional, investigasi memang kebanyakan berkaitan dengan perdagangan senjata, operasi militer rahasia, operasi kelompok-kelompok bisnis raksasa berbau korupsi-kolusi, penyelundupan obat bius maupun penyelundupan tenaga manusia secara global (baik dalam bisnis pelacuran maupun perbudakan modern). Bondan menyelidiki manipulasi contoh emas Busang hingga ke kantor Bre-X di Calgary maupun situs Busang di dalam hutan-hutan Kalimantan Timur. Bondan juga pergi ke Manila untuk menemui saudara perempuan Michael de Guzman untuk mencari jejak ke arah dental record geolog Bre-X tersebut. Thayer harus mondar-mandir antara Bangkok, Phnom Penh dan hutan-hutan perbatasan Thailand-Kamboja untuk mengejar sumber-sumbernya di kalangan Khmer Merah.

Coronel secara singkat membagi proses investigasi ke dalam dua kali tujuh bagian. Pembagian ini untuk mempermudah seorang investigator dalam mengatur sistematika pekerjaannya. Bagian pertama merupakan bagian penjajakan dan pekerjaan dasar. Sedangkan bagian kedua sudah berupa penajaman dan penyelesaian investigasi:

Bagian Pertama

· Petunjuk awal (first lead)
· Investigasi pendahuluan (initial investigation)
· Pembentukan hipotesis (forming an investigative hypothesis)
· Pencarian dan pendalaman literatur (literature search)
· Wawancara para pakar dan sumber-sumber ahli (interviewing experts)
· Penjejakan dokumen-dokumen (finding a paper trail)
· Wawancara sumber-sumber kunci dan saksi-saksi (interviewing key informants and sources)

Petunjuk awal bisa berupa apa saja. Ia bisa berupa sebuah berita pendek di suratkabar. Ia juga bisa berupa sebuah surat kaleng yang menunjuk adanya ketidakberesan dalam suatu lembaga tertentu. Ia juga bisa berupa telpon dari seseorang tak dikenal. Atau petunjuk ini juga bisa berupa suatu peristiwa besar yang sudah banyak diberitakan media namun masih menyimpan teka-teki yang kelihatannya menarik untuk dikejar. Teka-teki ini bakal menarik kalau si investigator menemukan sumber penting yang bisa membuka ke arah terbongkarnya teka-teki tersebut.

Indonesia memiliki banyak sekali peristiwa-peristiwa menarik untuk diselidiki. Katakanlah mulai dari isu keterlibatan oknum-oknum berseragam dalam huru-hara 14-16 Mei 1998. Sebuah petunjuk bisa saja muncul dari berbagai arah yang bisa dipakai untuk menyelidiki peristiwa tragis tersebut. Atau pembunuhan mereka yang dituduh sebagai dukun santet di daerah Banyuwangi dan Jember. Mengapa tiba-tiba bupati yang memerintahkan pendaftaran para dukun santet diganti sebelum masa jabatannya berakhir? Huru-hara juga meledak di mana-mana. Dari Ketapang di Jakarta hingga Karawang hingga Kupang dan Ambon. Benarkah ada provokator dan kejahatan terorganisir di balik huru-hara tersebut? Seorang investigator seyogyanya sudah mengetahui latar belakang suatu kasus sebelum bisa mencium adanya petunjuk yang berharga.

Investigasi pendahuluan bisa berupa penggalian data lebih jauh, wawancara maupun peninjauan lapangan. Riset dikerjakan dengan teliti sebelum hipotesis ditetapkan. Pekerjaan yang terarah dan tajam praktis baru dikerjakan setelah hipotesis terbentuk. Bondan Winarno menggunakan metode deduksi untuk mencari data dan membuktikan hipotesisnya. Mula-mula dengan pencarian dan pendalaman literatur. Lantas dikombinasi dengan wawancara para pakar dan sumber-sumber ahli agar si investigator mendapatkan latar-belakang teknik yang memadai sebelum melangkah lebih jauh.

Coronel menekankan pentingnya pencarian dokumen-dokumen maupun wawancara sumber-sumber kunci dan saksi-saksi. Dokumen ini penting karena di sanalah biasanya ketentuan-ketentuan yang mengikat bisa dijadikan barang bukti. Dokumen juga bisa dipakai untuk mempertentangkan pernyataan-pernyataan nara sumber yang berbohong. Di Indonesia banyak sekali pejabat atau pemimpin perusahaan yang setengahnya "berbohong" dengan cara menjawab pertanyaan wartawan secara diplomatis atau bahkan dengan memutar-balikkan logika. Keberadaan dokumen tertulis dengan mudah akan membantah semua kebohongan.

Pekerjaan terakhir dalam tahap pertama ini adalah wawancara dengan orang-orang kunci. Pekerjaan ini seringkali makan waktu lama karena jarak maupun waktu. Orang-orang kunci tidak harus orang-orang dengan jabatan tinggi. Seorang tukang perahu dekat Samarinda bisa menjadi sumber penting dalam investigasi Bre-X untuk membuktikan bahwa "peracunan emas" tidak dilakukan di gudang Loa Duri (seperti dilaporkan Asian Wall Street Journal). Atau seorang isteri yang bisa menegaskan bahwa suaminya memiliki gigi palsu di rahang atas. Memang sumber-sumber kunci dalam Bre-X juga termasuk John Felderhof, geolog senior yang juga atasan Michael de Guzman, namun yang seringkali terjadi orang-orang macam ini keberatan untuk bicara dengan wartawan.

Bagian Kedua

· Pengamatan langsung di lapangan (first hand observation)
· Pengorganisasian file (organizing files)
· Wawancara lebih lanjut (more interviews)
· Analisa dan pengorganisasian data (analyzing and organizing data)
· Penulisan (writing)
· Pengecekan fakta (fact checking)
· Pengecekan pencemaran nama baik (libel check)

Pengamatan langsung di lapangan seyogyanya dilakukan dengan berbekal peta geografis dari lokasi di mana investigasi dipusatkan. Wartawan seringkali melupakan tinjauan dari aspek geografis. Padahal banyak keputusan militer maupun dagang yang dibuat berdasarkan pertimbangan geografis. Ahli penginderaan jarak jauh Christopher Simpson dari American University berpendapat bahwa 80 persen keputusan bisnis maupun dagang ditentukan oleh pertimbangan geografis[9].

Pengorganisasian file akan mempermudah investigator untuk menganalisai dan mencari benang merah atau pola dari berbagai data temuannya. Investigasi akan pembunuhan dukun santet, misalnya, akan lebih mudah bila dibuat matriks yang mencatat kecenderungan-kecenderungan korban pembunuhan. Entah lokasinya, metode pembunuhan atau pola penyebaran desas-desus. Dalam kasus korupsi yang canggih yang melibatkan banyak orang juga akan terbentuk suatu pola bisa semua data yang ada dimasukkan dalam database dengan rapi.

Penulisan laporan merupakan teknik tersendiri yang tentu tidak meninggalkan teknik pembuatan angle, focus dan outline. Data yang sedemikian banyaknya tentu memerlukan seleksi yang ketat untuk memilih mana yang perlu dan mana yang kurang perlu. Walaupun media elektronik di Indonesia belum pernah punya reputasi harum dalam hal investigasi, namun ini lebih disebabkan masalah sejarah dan kepemilikan media elektronik. Cepat atau lambat, investigasi juga akan masuk ke media yang pengaruhnya luas sekali ini. Alat-alatnya pun menjadi lebih rumit. Entah dalam bentuk kamera tersembunyi atau alat rekam ultra sensitif.

Pengecekan fakta (fact checking) sangat penting walau banyak diremehkan wartawan. Apalah arti kerja keras berbulan-bulan bila seorang sumber dengan enteng mengatakan, "Investigasi apa itu? Menulis ejaan nama saya saja salah!" Banyak sekali kesalahan yang kelihatannya remeh namun bisa merusak penilaian orang akan laporan tertentu. Nama orang, tanggal kejadian, hubungan darah antar satu sumber dengan yang lain, jumlah anak, nilai transaksi dan sejuta data lain, harus disisir satu demi satu agar semua data akurat.

Wartawan Richard Lloyd Parry dari harian Independent (London) membuat laporan yang luar biasa soal terjadinya pembunuhan orang-orang Madura oleh orang Dayak di Kalimantan Barat antara Desember 1996 hingga Januari 1997. Parry menulis laporan sepanjang 40 halaman pada majalah Granta terbitan London. Data-datanya luar biasa. Peristiwa penjagalan manusia digambarkan dengan detail. Kuburan-kuburan dibongkar dan tengkorak-tengkorak dihitung. Namun pada halaman awal karangannya, Parry membuat kesalahan kecil: Partai Demokrasi Indonesia disebutnya sebagai partai dengan nomor kontestan dua sedangkan Golongan Karya nomor tiga![10]

Pengecekan fakta ternyata tidak cukup. Dalam jaman di mana kebebasan pers makin terbuka, ancaman seringkali datang dari tuntutan dengan dasar pencemaran nama baik (libel check). Bondan mengatakan bahwa ia digugat pencemaran nama baik masing-masing Rp 1 triliun oleh mantan menteri pertambangan Ida Bagus Sudjana dan putranya Dharma Yoga Sudjana. Hingga kini kasus itu masih ada dalam proses hukum. Kedua belah pihak tidak mau mundur atau melakukan penyelesaian di luar hukum. Bondan harus membayar pengacara untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Namun ongkos pengacara tidak murah bukan? Bahkan menurut Bondan, biaya untuk melalang buana ke Kanada dan Filipina masih lebih murah dibanding biaya yang sudah dikeluarkannya untuk membayar pengacara. Sebuah penerbitan bisa bangkrut bila tuntutan pencemaran nama baik terbukti benar. Sementara buat wartawan semacam Bondan, mundur berarti membiarkan reputasinya sebagai wartawan dipertanyakan. Jadi sama-sama sulit. Maju kena mundur kena.

Kesimpulannya, tidak ada cara lain yang bisa dilakukan seorang wartawan daripada melakukan konsultasi hukum dengan ahli hukum perdata secara benar sebelum laporannya naik cetak atau disiarkan. Editor juga banyak berperan untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya gugatan pencemaran nama baik. Prinsip cover both side seringkali sangat membantu untuk menghindar dari jeratan tuntutan pencemaran nama baik. Dalam kasus Bondan, ia memang beberapa kali mencoba mewawacarai Sudjana, namun kurang berhasil hingga naik cetak.

HIPOTESIS DAN TEKNIK

Salah satu hal yang banyak membedakan antara in-depth reporting dan investigative reporting adalah ada atau tidaknya hipotesis dalam penelusuran tersebut. Saya berpendapat bahwa dalam batasan tertentu investigative reporting adalah fase kelanjutan dari in-depth reporting. Majalah Panji Masyarakat jelas tidak memiliki hipotesis ketika mereka menurunkan laporan pembicaraan telpon Habibie-Ghalib. Namun keadaan ini akan berbeda bila Panji memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan itu dan melakukan investigasi sendiri. Dalam melakukan in-depth reporting seorang wartawan bisa berangkat praktis dari nol atau dari sekedar membaca kliping-kliping koran. Ketika wartawan itu sudah jauh lebih banyak mengetahui duduk persoalan sebenarnya --setelah melakukan banyak wawancara, membaca tumpukan dokumen serta mendatangi tempat-tempat yang berhubungan dengan liputannya-- saat itulah ia pada titik hendak melakukan kegiatan lanjutan atau tidak. Liputan lanjutan inilah yang lebih bersifat investigatif. Membongkar kejahatan. Mencari tokoh-tokoh jahat dan merekonstruksi kejahatan-kejahatan mereka. Hipotesis sangatlah penting untuk membantuk wartawan memfokuskan dirinya dalam suatu investigasi.

Jakob Oetama dari harian Kompas mengatakan kepada saya bahwa salah satu halangan kegiatan investigasi di harian tempatnya bekerja adalah iklim ewuh-pekewuh terhadap mereka yang dianggapnya terlibat dalam kejahatan tersebut. Keadaan ini yang membuat harian terbesar di Indonesia ini mengalami kesulitan untuk mengejar dan menyelidiki hipotesis-hipotesis yang mereka pikirkan.

Bondan Winarno dalam investigasinya soal Busang mengajukan hipotesis bahwa kematian Michael de Guzman tidak wajar dan aneh. Ia juga curiga bahwa de Guzman adalah otak dari "peracunan" sample emas Busang sehingga harga-harga saham Bre-X naik berkali-kali lipat di mana de Guzman juga sangat diuntungkan. Bondan curiga bahwa mayat yang ditemukan di hutan Busang itu bukanlah mayat de Guzman. Bagaimana mungkin mayat orang yang jatuh dari ketinggian 800 kaki masih utuh?

Untuk membuktikan hipotesis tersebut, Bondan mula-mula bicara dengan dokter-dokter yang memeriksa jasad tersebut. Ia menemukan bahwa para dokter Indonesia yang mengatakan bahwa mayat itu mayat de Guzman hanya mendasarkan pengamatannya dari pakaian yang dilaporkan dikenakan oleh de Guzman. Sementara itu dari salah seorang isteri maupun teman-temannya, Bondan menemukan bahwa de Guzman memiliki gigi palsu. Sementara mayat itu tidak ada gigi palsunya.

Bondan juga terbang ke Filipina untuk mencari saudara-saudara de Guzman maupun mantan pembantu-pembantunya di Busang --Cesar M. Puspos dan Jerome Alo-- yang semuanya menolak menemui Bondan. Keluarga de Guzman bahkan menolak untuk memberikan alamat dokter gigi yang biasa merawat Michael. Sementara pembantu-pembantunya seolah-olah raib tertelan bumi. Tidakkah ini indikasi bahwa ada yang aneh dengan "kematian" Michael de Guzman?

Bondan tentu memakai seperangkat teknik untuk membuktikan hipotesisnya. Selain wawancara panjang lebar di beberapa sudut dunia, ia juga mengadakan riset yang panjang, bahkan belajar tentang teknik pertambangan, untuk mendukung investigasinya. Salah satu kelebihan Bondan adalah sikapnya yang sopan. "Sikap santun itu penting. Ini sikap yang penting dalam investigasi," ujarnya. Dengan modal sopan-santun ini pula Bondan menegaskan prinsipnya bahwa ia tidak mau mencuri.

Soal mencuri atau tidak memang jadi isu yang sulit sekali. Banyak wartawan yang berpendapat bahwa dalam investigasi, segala cara dibenarkan, termasuk mencuri dana, mencuri pembicaraan orang maupun mencuri informasi. Panda Nababan, wartawan senior majalah Forum Keadilan, berada pada kubu yang membenarkan pencurian data[11]. Nababan memakai teknik apa saja untuk mendapatkan data. Ia pernah "menipu" petugas bandara Jakarta dengan mengaku dirinya sebagai seorang pejabat tinggi militer dalam kasus pembajakan pesawat Garuda Woyla. Dalam kesempatan lain Nababan juga pernah mencuri dokumen di mobil seorang pejabat tinggi yang hendak menyerahkan dokumen itu kepada Presiden Suharto.

Perdebatan antara boleh tidaknya mencuri data ini memang sangat erat terkait dengan masalah etika dan hukum. Namun secara umum ada beberapa teknik yang biasanya dipakai seorang investigator:

· Riset dan reportase yang mendalam dan berjangka waktu panjang untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan hipotesis;

· Paper trail (pencarian jejak dokumen) yang berupa upaya pelacakan dokumen, publik maupun pribadi, untuk mencari kebenaran-kebenaran untuk mendukung hipotesis;

· Wawancara yang mendalam dengan pihak-pihak yang terkait dengan investigasi, baik para pemain langsung maupun mereka yang bisa memberikan background terhadap topik investigasi;

· Pemakaian metode penyelidikan polisi dan peralatan anti-kriminalitas. Metode ini termasuk melakukan penyamaran. Sedangkan alat-alat bisa termasuk kamera tersembunyi atau alat-alat komunikasi elektronik untuk merekam pembicaraan pihak-pihak yang dianggap tahu persoalan tersebut. Ini memang mirip kerja detektif;

· Pembongkaran informasi yang tidak diketahui publik maupun informasi yang sengaja disembunyikan oleh pihak-pihak yang melakukan atau terlibat dalam kejahatan.

Hipotesis biasanya disusun dengan beberapa pertanyaan dasar. Pertama-tama adalah pertanyaan tentang aktor pelaku kejahatan. Siapa yang bertanggungjawab atas penyalahgunaan dana masyarakat tersebut? Siapa yang memicu huru-hara? Siapa yang mula-mula menyebarkan sentimen anti-etnik atau anti-agama tertentu? Siapa yang melakukan insider trading? Siapa yang mula-mula berkepentingan agar dukun-dukun santet dibunuh?

Dalam investigasi Bondan, ia berteori bahwa kasus Bre-X itu dilakukan oleh Michael de Guzman dan anak-anak buahnya yang dari Filipina. Bukan oleh almarhum David Walsh, orang nomor satu Bre-X, maupun John Felderhof, geolog senior Bre-X yang juga atasan de Guzman. Walaupun kedua orang itu juga diuntungkan oleh ulah de Guzman, namun mereka tidak terlibat dalam skandal ini. Felderhof boleh jadi mengetahuinya namun tidak mencegahnya. Bondan mendapatkan jawaban tertulis dari Felderhof.

Selain hipotesis tentang aktor pelaku, juga perlu ditanyakan cara-cara suatu kejahatan dilakukan. Bagaimana penyalahgunaan itu dilakukan? Bagaimana cara sample mata bor lubang-lubang Busang dicampur dengan emas luar agar ada kesan temuannya memang besar sekali? Bagaimana cara Michael de Guzman menipu sekian banyak konsultan independen yang memperkuat hasil temuan Bre-X? Apa konsekuensi dari penyalahgunaan tersebut? Apa yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya?

Hipotesis ini yang terus-menerus diteliti, diuji dan disimpulkan benar-tidaknya. Kalau kemudian terbukti bahwa hipotesis itu salah, seorang investigator harus dengan besar hati mengakui bahwa tidak terjadi kejahatan di sana. Kasus ditutup. Setiap investigasi memang mengandung kemungkinan bahwa hasilnya ternyata tidak sedramatis yang diperkirakan. Dan hasil yang negatif ini juga seringkali disertai dengan keputusan bahwa hasil investigasi tersebut tidak layak diteruskan.

Kesannya memang sia-sia. Mungkin biaya besar dan waktu lama juga sudah dikeluarkan. Selain itu, seringkali pekerjaan investigasi ini memancing mereka yang dirugikan untuk mengajukan tuntutan hukum. Alasannya pencemaran nama baik. Hipotesis Bondan, misalnya, bisa saja salah kalau suatu saat ia menemukan bukti baru bahwa mayat itu ternyata benar mayat de Guzman. Bondan tentu tidak bisa dibenarkan bila salahnya hipotesis itu tidak diungkapkan namun fakta-fakta yang menyesatkan yang justru dipakai. Padahal ia sudah bekerja keras dan mengeluarkan uang cukup banyak untuk melakukan investigasi itu. Ironisnya, dalam kasus buku "Sebungkah Emas di Kaki Langit" ini Bondan justru tidak mendapat gugatan hukum dari keluarga de Guzman. Ia justru mendapat gugatan pencemaran nama baik dari keluarga Ida Bagus Sudjana. Bondan masih beruntung! Dalam banyak kasus, taruhannya bahkan nyawa.

PENULISAN DALAM SISTEM MEMO

Investigasi yang baik perlu didukung oleh sistem pelaporan yang baik pula. Apalah artinya investigasi yang mahal dan makan waktu bila hasil akhirnya disajikan dengan buruk? Penulisan perlu dibuat menarik. Untuk itu metode penulisan dari pekerjaan besar ini harus didukung oleh sebuah sistem memo.

Sistem ini pada dasarnya adalah sebuah alat bantu buat wartawan untuk mengatur pekerjaan mereka secara lebih sistematis. Sistem ini membantu reporter bekerja lebih mudah dan lebih cepat untuk mencari data dan menyusun arsip. Sistem memo terutama sangat berguna untuk membantu sebuah tim (bahkan seorang wartawan) untuk bekerja sama secara rapi dalam mengerjakan proyek mereka.

Seorang koordinator tim juga bisa memetik keuntungan dari sistem ini. Ia bisa mengetahui setiap perkembangan dari proyek yang sedang dipimpinnya. Ia misalnya dengan teratur bisa membaca laporan-laporan dari anggota-anggota timnya dan dengan cepat bisa memutuskan materi apa yang harus dikembangkan.

Sistem memo ini juga mempermudah penulisan draft final. Alasannya sederhana saja. Dengan secara teratur dan disiplin membuat memo, proses penulisan jadi sebuah proses yang dinamis. Penulisan laporan final, entah dalam bentuk buku atau artikel, menjadi sebuah proses kerja yang lebih sederhana karena semua bahan sudah tersedia dan secara teratur diperbarui terus-menerus. Pekerjaan final hanya tinggal dilakukan dengan menyusun blok demi blok sesuai dengan outline laporan yang hendak dibuat.

Sistem memo lagi-lagi diperkenalkan oleh BOB GREENE (dob 6/5/1930) dari Newsday. Ia pada mulanya membuat sistem ini untuk keperluan investigasi di mana pengecekan data-data dibuat dengan sangat hati-hati dan menyeluruh. Sistem memo yang diperkenalkannya sekarang diadopsi oleh banyak organisasi berita di seluruh dunia termasuk International Consortium of Investigative Journalists.

Pertama-tama, ada dua tip yang diperkenalkan oleh GREENE. Nama orang senantiasa diketik dengan huruf besar. Hal ini akan mempermudah editor, koordinator tim atau reporter dalam membaca memo-memo yang berdatangan setiap hari. Seperti tertera dalam artikel ini, penyebutan nama pertama kalinya senantiasa ditambah dengan date of birth (dob). Ini penting karena sebuah sumber boleh jadi baru berumur 68 tahun ketika diwawancarai. Namun ketika naskah diterbitkan umurnya sudah 69 tahun.

Memo ini pada dasarnya adalah produk kerja seorang wartawan; ia merupakan kompilasi dari apa yang dilihat sang wartawan, didengarnya, dibacanya, dibauinya, dirasakannya dan dicicipinya. Seorang wartawan harian atau wire service tidak memakai memo. Laporan harian itu sendiri sudah merupakan kumpulan memo. Mereka yang pernah bekerja di Reuters atau Associated Press tentu mengetahui bagaimana rasanya membuat berita yang diturunkan hampir setiap hari kalau tidak setiap jam.

Memo hanya dipakai untuk mereka yang bekerja dalam periode waktu yang panjang. Bisa mingguan dan yang penting yang terlibat dalam penulisan buku atau investigasi skala besar. Cara tradisional untuk menggunakan jolt note sebelum seorang wartawan menulis laporannya jelas tidak efisien. Ini cara yang kuno. Berapa dari kita yang masih bisa membaca tulisan tangan kita sendiri setelah seminggu? Dan berapa banyak orang yang bisa mengerti tulisan tangan kita? Apabila seorang koordinator membutuhkan jolt note anggotanya, seberapa besar kemungkian bagi si koordinator untuk memahami semua coretan tangan reporternya?

Kalau anggota tim hanya dua orang, dengan mudah keduanya bisa duduk berdua dan membandingkan jolt note. Namun kalau anggota lebih dari empat dan tinggal di tempat-tempat yang berbeda?

Sekedar contoh. Investigasi huru-hara Kebumen. Ada cukup banyak reporter yang bekerja dari Kebumen. Namun mereka merasa tidak cukup. Perlu ada pekerjaan yang dilakukan di Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan Ambarawa. Bahkan mereka membutuhkan bantuan tenaga luar untuk terjun di Kebumen. Berapa dana yang harus dikeluarkan bila setiap kali semua anggota tim harus rapat dan diskusi bersama?

GREENE membagi memo dalam dua macam: "copy ready" dan "procedural."

Memo copy ready meliputi semua fakta yang sudah diverifikasi dan bisa diatribusikan dengan jelas (bedakan antara 'off the record' atau 'background' dengan 'attribution' and 'not to be quoted' dan beri kotak dalam jolt note). Memo jenis ini disusun dalam blok-blok yang kelak bisa dipakai dengan mudah dalam sebuah laporan.

Memo ini jelas bukan cerita. Ia bukan cerita jadi karena blok-blok tersebut masih harus diatur dalam komposisi yang siap untuk publikasi. Ia belum memiliki jembatan, lead atau detail lain. Namun memo juga tidak perlu mengikuti aturan 'awal, tengah dan akhir.' Memo ini secara sederhana hanya sekumpulan blok-blok yang dibuat berdasarkan perkembangan harian atau dua harian untuk dipakai dalam konstruksi laporan lebih lanjut.

Ia juga bukan sekedar pemindahan dari jolt note ke komputer. Saya mengambil asumsi bahwa wartawan yang sudah terlibat dalam proyek-proyek skala besar tentu bukan wartawan pemula. Memo ini disusun tidak dengan urutan kronologi dari mulut sang sumber namun berdasarkan subyek.

Memo prosedural meliputi semua fakta yang belum diverifikasi. Teori, spekulasi dan tip termasuk dalam kategori ini. Sebuah sumber bisa menghasilkan dua macam memo. Dalam kasus Kebumen misalnya. Seorang perwira militer mengatakan bahwa Prabowo Subianto ada di Kebumen pada saat yang hampir bersamaan dengan terjadinya huru-hara untuk menengok kuburan kakeknya. Ini fakta yang sudah diverifikasi. Namun ketika perwira ini berspekulasi bahwa Prabowo terlibat kerusuhan, kita harus memasukkannya dalam memo prosedural.

Semua memo ini disentralisasikan pada suatu lokasi yang disepakati bersama. Karena ini sudah jaman internet, memo sebaiknya dikirimkan lewat internet kepada koordinator tim bersangkutan. Ia akan mengeditnya menjadi memo 'copy ready' yang lebih baik dan nantinya akan menyimpannya di database.

Pengiriman memo harus memenuhi jadwal yang telah ditentukan bersama. Bersama dengan datangnya memo-memo ini, koordinator tim bisa melakukan diskusi dengan anggota-anggota timnya. Kalau perlu ada perbaikan atau pengejaran hal tertentu bisa segera diputuskan. Syukur bila database memo ini bisa diletakkan dalam web server yang dilengkapi dengan password. Server ini sebaiknya dilengkapi dengan search engine sehingga bisa diakses oleh semua anggota tim tanpa harus menerima email setiap hari.

Bila semua bahan sudah lengkap dan penulisan final sudah siap dilakukan, wartawan yang bertugas menulis dengan mudah bisa memanfaatkan memo-memo tersebut. Kalau ia harus menulis laporan sepanjang 10,000 kata, katakanlah, ia harus membaca memo-memo sepanjangan 100,000 kata. Sistem ini juga dengan mudah bisa mengatasi proyek yang terbengkalai gara-gara reporternya mengundurkan diri. Seorang anggota tim baru atau koordinator baru akan memiliki kemudahan untuk melanjutkan proyek yang terganggu jalannya itu.

Database ini sebaiknya disimpan. Database ini jangan dibuang setelah proyek berakhir. GREENE memiliki database sejak tahun 1972. Dan dalam banyak hal, blok-blok yang semula tidak kita pakai, lima atau sepuluh tahun lagi, ternyata menjadi sangat berguna.

Investigasi memang akhirnya menjadi sebuah pekerjaan yang bukan saja makan waktu, sulit, penuh disiplin tapi juga berbahaya. Namun resiko besar ini yang tampaknya justru membuat investigasi makin diminati oleh wartawan yang suka tantangan, maupun masyarakat pembaca suratkabar, pendengar radio maupun pemirsa televisi. Kompetisi media yang makin ketat membuat kemungkinan untuk membuat investigasi makin meningkat. Namun kompetisi ini bisa jadi lunak apabila pola kepemilikan media justru didominasi kelompok-kelompok bisnis yang lebih cenderung mengejar hardnews daripada analisa dan kedalaman suatu berita. Apapun yang terjadi, investigative reporting adalah salah satu pengembangan jurnalisme yang paling memikat, paling menantang, paling mahal dan paling tinggi resikonya.

Singkat kata, selamat berpetualang dan bersenang-senang dengan investigasi!

Serpong, 8 Februari 1999

Makalah untuk pelatihan pengantar tentang investigative reporting yang diadakan tabloid mahasiswa Bulaksumur, Universitas Gadjah Mada, 20-24 Februari 1999.


[2] Lihat: "Search opens for IRE executive director", IRE Journal, November-December 1996. IRE juga memiliki website http://www.ire.org/ yang memiliki link dengan situs-situs riset lewat internet buat para wartawan.

[3] Sebagian ceramah Sheila Coronel dalam perjalanannya itu juga dipakai di sini terutama yang berkenaan dengan hipotesis dan proses investigasi. Coronel datang ke Indonesia atas undangan dari Institut Studi Arus Informasi yang bekerja sama dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogya (LP3Y) serta Lembaga Pers Dr. Soetomo mengadakan program pelatihan investigative reporting selama enam bulan di Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta dan Ujungpandang Oktober 1998 hingga April 1999. Saya juga mengadakan wawancara lewat internet dengah Coronel [22/1/1999]. Lihat juga http://www.pcij.org.ph/. Sedangkan hasil pelatihan bisa dilihat pada http://crashprogram.cjb.net/.

[4] Lihat: situs http://www.icij.org/ yang juga memiliki link dengan berbagai organisasi pers di seluruh dunia termasuk mereka yang memberikan beasiswa buat wartawan. ICIJ juga memberikan bantuan riset internet buat wartawan lewat situsnya.

[5] Tempo enjadikan laporan "investigasi" mereka atas wanita Indonesia keturunan Cina sebagai korban pemerkosaan huru-hara Mei 1998 sebagai laporan kulit depan perdana mereka. Tempo menemui mereka yang membantu korban-korban pemerkosaan. Namun Tempo lebih banyak memfokuskan dirinya pada kontroversi ada tidaknya, atau jumlah, perempuan Cina yang diperkosa, daripada mencari siapa yang melakukan pemerkosaan. Itu pun dengan hasil yang tak jelas. Lihat: TEMPO, 6-12 Oktober 1998, "Pemerkosaan: Cerita dan Fakta."

[6] Lihat: Bondan Winarno, "Bre-X Sebungkah Emas di Kaki Langit," Penerbit Inspirasi Indonesia, Jakarta, 1997. Saya juga melakukan wawancara dengan Bondan Winarno lewat telpon Minggu, 24 Januari 1999 untuk mengetahui metode dan hipotesisnya dalam investigasi Busang ini. Ia juga memberikan ceramah mengenai bukunya di Institut Studi Arus Informasi Kamis, 7 Februari 1999.

[7] Lihat: "Prof. Dr. Haji Andi Abdul Muis, SH", Kompas, 21 Maret 1999.

[8] Lihat: John Ullmann, "Investigative Reporting: Advanced Methods and Techniques," St. Martin Press, Inc., New York, 1995, hal. 2. Robert Greene adalah salah satu wartawan terkemuka di Amerika Serikat. Pada tahun 1967 ia mendirikan unit investigasi Newsday yang memenangkan dua Pulitzer Prize pada tahun 1970 dan tahun 1974. Greene pula untuk memiliki ide untuk mengumpulkan puluhan wartawan Amerika Serikat untuk datang ke Arizona menyusul terjadinya pembunuhan terhadap wartawan Arizona Republic Don Bolles tahun 1976. Wartawan-wartawan itu datang untuk bekerja lebih giat membongkar apa yang diliput Bolles dan menyebabkan kematiannya. Bolles dan Greene ikut mendirikan IRE pada tahun 1975.

[9] Christopher Simpson dalam ceramah ICIJ 7 November 1998 di Cambridge. Lihat juga "Journalists' Guide to Experts in Remote Sensing" [Spring 1997] dan "Journalists' Guide to Remote Sensing Resources on the Internet" [Spring 1997].

[10] Richard Llyod Parry, "When Young Men Die," Granta No. 62, London, Summer 1998.

[11] Panda Nababan bercerita tentang caranya "mencuri" laporan Dirjen Perhubungan Laut Fanny Habibie dari mobil Habibie ketika pejabat ini hendak berangkat menemui Presiden Suharto dalam masalah tenggelamnya kapal Tampomas II. Nababan mengatakan ini semua dalam sebuah diskusi tentang investigasi di Institut Studi Arus Informasi Selasa 15 Desember 1998.

Tujuh Pertimbangan Jurnalisme Sastrawi

Andreas Harsono
Institut Studi Arus Informasi

Istilah jurnalisme sastrawi adalah salah satu dari sekian banyak nama buat genre tertentu dalam jurnalisme. Wartawan Amerika Tom Wolfe pada 1974 memperkenalkannya dengan nama "jurnalisme baru." Ada juga yang memakai nama "narrative reporting". Ada juga yang pakai nama "passionate journalism." Tapi ada yang secara sederhana mengatakannya “tulisan panjang.”

Tapi intinya, genre ini menukik lebih dalam daripada apa yang kita kenal sebagai in-depth reporting. Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal tersebut.

Tulisannya biasanya panjang. Majalah The New Yorker bahkan pernah hanya menerbitkan laporan John Hersey berjudul “Hiroshima” dalam satu edisi majalah.

Wawancara untuk sebuah laporan bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan ratusan, nara sumber. Risetnya juga tidak main-main. Waktu bekerjanya juga tidak seminggu atau dua. Tapi bisa berbulan-bulan.

Memang reportase adalah bagian yang melekat dengan genre ini. Data-data diperoleh dari liputan di lapangan dengan tangguh. Menembus sumber dengan gigih. Pagi hingga malam. Riset yang makan keringat. Wawancara yang berjibun. Ia menukik tajam hingga mampu menterjemahkan, misalnya, sesosok kepribadian manusia dengan segala kerumitannya ke dalam kata-kata.

Bahasanya tidak harus mendayu-dayu. Bahasa bisa lugas. Dari segi struktur karangan, genre ini bentuknya model gelombang sinus. Naik turun. Liar. Tapi ia juga cantik dan memikat. Rasanya pembaca tidak bisa melepaskan karangan itu sebelum tuntas membaca.

Saya sering ditanya apakah karya Seno Gumira Ajidarma "Saksi Mata" masuk dalam kategori jurnalisme sastrawi? Saya akui karya itu sangat memukau. Tapi karya itu adalah fiksi. Ajidarma tidak menyampaikan fakta yang nyata. Nama-nama diganti. Tempat juga tidak disebutkan jelas. "Saksi Mata" adalah karya fiksi yang memakai data-data pembantaian Dili pada November 1991 sebagai ide cerita.

Ketika mendalami jurnalisme sastrawi di Amerika, saya selalu diberitahu adanya tujuh pertimbangan bila seseorang hendak membuat laporan dengan gaya ini.

Fakta. Jurnalisme selalu mensakralkan fakta. Walaupun genre ini memakai kata “sastra” tapi ia tetap jurnalisme. Karena itu fakta juga sakral baginya. Setiap detail seyogyanya berupa kenyataan. Nama-nama orang adalah nama-nama sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar kejadian.

Apabila ada dua orang bertemu dan mengadakan pembicaraan. Seorang wartawan seyogyanya mengecek kepada keduanya apakah benar si A mengatakan ini dan si B mengatakan itu.

Orang mungkin bisa lupa. Orang mungkin bisa berubah persepsi, seiring perjalanan waktu. Tapi minimal, esensi dari pembicaraan itu harus disetujui A dan B bila hendak dilaporkan dalam jurnalisme.

Kalau berbeda?

Ada dua pilihan. Tidak dipakai sama sekali. Atau kalau pembicaraan itu penting, dilaporkan saja dari dua sudut yang berbeda. Si A bilang ini tapi si B bilang lain lagi.

Tapi perbedaan bisa tidak terletak pada esensi. Biasanya ia terletak pada detail. Warna jas, warna dinding, bau minyak wangi, permukaan papan yang kasar atau jenis sepatu bisa diingat secara berbeda oleh orang yang berbeda. Tidak ada salahnya untuk pergi ke situs di mana suatu kejadian terlaksana, untuk mencatat detail di lapangan.

Konflik. Sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik. Bila Anda berminat membuat laporan panjang, Anda seyogyanya berpikir berapa besar pertikaian yang ada?

Tapi konflik bisa berupa pertikaian satu orang dengan orang lain. Ia juga bisa berupa pertikaian antar kelompok. Misalnya, upaya Arnold Ap mengembangkan kesenian Papua berbuntut ketegangan dengan pejabat militer dari Jawa yang dikirim ke Jayapura. Ap ditahan dan ditembak mati.

Konflik juga bisa berupa pertentangan seseorang dengan hati nuraninya. Konflik juga bisa berupa pertentangan seseorang dengan nilai-nilai di masyarakatnya. Pendek kata, pertikaian adalah unsur penting dalam suatu laporan panjang.

Karakter. Jurnalisme sastrawi mensyaratkan adanya karakter-karakter. Karakter membantu terikatnya suatu laporan. Ada karakter utama. Ada karakter pembantu. Karakter utama seyogyanya orang yang terlibat dalam pertikaian. Karakter utama seyogyanya juga kepribadian yang menarik. Tidak datar dan tidak menyerah dengan mudah (Orang yang mudah menyerah biasanya juga tidak mau dituliskan riwayatnya).

Akses. Anda seyogyanya punya akses kepada karakter utama atau orang-orang yang mengenal karakter utama. Akses bisa berupa dokumen, korespondensi, album foto, buku harian, wawancara dan sebagainya.

Saya sering mengibaratkan akses kepada karakter utama ini dengan akses yang dimiliki oleh seorang penulis biografi. Aksesnya luar biasa. Bisa masuk ke masalah-masalah pribadi karakter utama. Soal percintaan, soal skandal, soal kejahatan dan sebagainya.

Emosi. Jurnalisme sastrawi membutuhkan emosi dari karakter-karakternya. Emosi bisa berupa cinta. Bisa berupa pengkhianatan. Bisa berupa kebencian. Loyalitas. Kekaguman. Sikap menjilat. Oportunisme dan sebagainya.

Emosi menjadikan cerita kita seakan-akan hidup.

Emosi karakter juga bisa berubah-ubah bersama perjalanan waktu. Mulanya si karakter menghormati mentornya. Suatu kejadian besar menguji apakah ia perlu tetap menghormati mentornya atau tidak.

Di sini mungkin ada pergulatan batin. Mungkin ada perdebatan intelektual. Ini seyogyanya memberikan ruang buat emosi. Apa emosi si karakter ketika tahu ia memenangkan pertarungannya? Apa perasaan si karakter ketika tahu ia dikhianati istri atau suaminya?

Perjalanan Waktu. Mungkin perbedaan antara jurnalisme sehari-hari dengan jurnalisme sastrawi adalah keterkaitannya dengan waktu. Saya mengibaratkan laporan suratkabar “hari ini” dengan sebuah potret. Snap shot. Sedangkan laporan panjang adalah sebuah film yang berputar. Video.

Robert Vare, mantan editor The New Yorker, menyebutnya “series of time.” Peristiwa berjalan bersama waktu. Ini memiliki konsekuensi penyusunan kerangka karangan. Mau bersifat kronologis, dari awal hingga akhir. Atau mau membuat flashback. Dari akhir mundur ke belakang? Atau kalau mau bolak-balik apa benang merahnya supaya pembaca tidak bingung?

Panjangnya waktu tergantung kebutuhan. Sebuah laporan tentang kehamilan bisa dibuat dalam kerangka waktu sembilan bulan. Tapi bisa juga dibuat dalam kerangka waktu dua tahun, tiga tahun dan sebagainya. Tapi bisa juga sekian menit ketika si ibu bergulat hidup dan mati di ruang operasi.

Kebaruan. Ada unsur kebaruan yang harus Anda pertimbangkan bila hendak membuat laporan panjang. Tidak ada gunanya mengulang-ulang lagu lama. Kalau Anda hendak menulis cerita panjang soal pembunuhan G30S atau kerusuhan Mei 1998, sebaiknya berpikirlah dua atau tiga kali sebelum menjalankan ide ini.

Cukup banyak fakta yang sudah diungkap oleh orang lain soal G30S atau kerusuhan Mei 1998. Ini tidak berarti tidak ada yang masih tersembunyi. Saya percaya masih banyak hal yang belum terungkap dari dua peristiwa besar itu.

Tapi bersiaplah untuk mencari fakta-fakta baru. Bersiaplah untuk menembus sumber-sumber yang paling sulit yang belum ditembus orang lain.

Mungkin lebih mudah mengungkapkan kebaruan itu dari kacamata orang-orang biasa yang menjadi saksi mata peristiwa besar. Hersey mewawancarai seorang dokter, seorang pendeta, seorang sekretaris dan seorang pastor Jerman, untuk merekonstruksi pemboman Hiroshima.

Secara detail, Hersey menceritakan dahsyatnya bom itu. Ada kulit terkelupas, ada desas-desus soal bom rahasia, ada kematian yang menyeramkan, ada perasaan dendam, ada perasaan rendah diri. Semua campur aduk ketika Hersey merekamnya dan menjadikannya salah satu artikel termahsyur dalam sejarah jurnalisme Amerika.

Hersey mempublikasikan karyanya setahun setelah bom nuklir dijatuhkan di Hiroshima.

Konon fisikawan nuklir Albert Eistein tidak bisa mendapatkan edisi The New Yorker pada Agustus 1946 tersebut. Einstein membaca laporan itu karena ia berlangganan. Tapi Eistein ingin membeli enam buah lagi buat teman-temannya. Tapi majalah itu laku habis. Einstein kehabisan.
Apa artinya?

Sederhana saja. Einstein menemukan teori baru. Hersey juga menemukan sesuatu yang baru. Hersey menemukan sisi bengis dari bom nuklir! Itu saja.


Disampaikan dalam pengantar diskusi jurnalisme sastrawi buat wartawan-wartawan yang diundang untuk menulis buat majalah media dan jurnalisme PANTAU. Diskusi diadakan di Utan Kayu, Jakarta, 20-21 September 2000.

Sembilan Elemen Jurnalisme

HATI nurani jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. Ini ungkapan yang sering dipakai orang bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari Universitas Harvard mengatakan, Kovach punya "karir panjang dan terhormat" sebagai wartawan. Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah Tempo, merasa sulit “mencari kesalahan” Kovach.

Wartawan yang nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (April 2001) bersama rekannya Tom Rosenstiel. Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun di sana.

Kovach mundur ketika ditawari jadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Di bawah kepemimpinannya, harian ini berubah jadi suratkabar yang bermutu. Hanya dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize, penghargaan nomor satu dalam jurnalisme Amerika. Total dalam karirnya, Kovach menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Pada 1989-2000 Kovach jadi kurator Nieman Foundation for Journalism di Universitas Harvard yang tujuannya meningkatkan mutu jurnalisme.

Sedangkan Tom Rosentiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media dan jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of Concerned Journalists –sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya melakukan riset dan diskusi tentang media.

Dalam buku ini Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun. Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisnya, paling membingungkan.

Kebenaran yang mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaran menurut siapa?

Bagaimana dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang berbeda-beda?

Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional.

Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.

Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.

Selain itu kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.

Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap.

Saya pribadi beruntung mengenal Kovach ketika saya mendapat kesempatan ikut program Nieman Fellowship pada 1999-2000 di mana Kovach jadi kuratornya. Di sana Kovach melatih wartawan-wartawan dari berbagai belahan dunia untuk lebih memahami pilihan-pilihan mereka dalam jurnalisme. Tekanannya jelas: memilih kebenaran!

Tapi mengetahui mana yang benar dan mana yang salah saja tak cukup. Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, “Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?”

Pertanyaan itu penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.

Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja. Walau pun demikian, dan di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.

Mari melihat dua contoh. Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian The New York Times. Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas dengan suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak menyajikan suratkabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik dan menulis, “… to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved.”

Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.”

Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.

Kovach dan Rosenstiel khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah warga (citizen).

Berbeda dengan kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media, termasuk televisi, radio, maupun dotcom, memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio. Bahkan dalam bisnis suratkabar pun, kebanyakan pembaca hanya membayar sebagian kecil dari ongkos produksi. Ada subsidi buat pembaca.

Adanya kepercayaan publik inilah yang kemudian “dipinjamkan” perusahaan media kepada para pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara media dengan pembaca, pemirsa, dan pendengarnya.

Kovach dan Rosenstiel prihatin karena banyak media Amerika mengkaitkan besarnya bonus atau pendapatan redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan bersangkutan. Sebuah survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika menerapkan sebuah gaya manajemen yang biasa disebut management by objections.

Model ini ditemukan oleh guru manajemen Peter F. Drucker. Idenya sederhana sebenarnya. Para manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasil mencapainya.

Manajemen model ini, menurut Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggungjawab sosial para redaktur. Mengkaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan atau keuntungan perusahaan sangat mungkin untuk mengingkari prinsip loyalitas si redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada peningkatan keuntungan perusahaan karena dari sana pula mereka mendapatkan bonus.


BANYAK wartawan mengatakan The Elements of Journalism perlu untuk dipelajari orang media. Suthichai Yoon, redaktur pendiri harian The Nation di Bangkok, menulis bahwa renungan dua wartawan “yang sudah mengalami pencerahan” ini perlu dibaca wartawan Thai.

I Made Suarjana dari tim pendidikan majalah Gatra mengatakan pada saya bahwa Gatra sedang menterjemahkan buku ini buat keperluan internal mereka, “Buku ini kita pandang mengembalikan pada basic jurnalisme,” kata Suarjana.

Salah satu bagian penting buku ini adalah penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tentang elemen ketiga. Mereka mengatakan esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.

Mereka berpendapat, “saudara sepupu” hiburan yang disebut infotainment (dari kata information dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak.

Batas antara fiksi dan jurnalisme memang harus jelas. Jurnalisme tak bisa dicampuri dengan fiksi setitik pun. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh pengalaman Mike Wallace dari CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang keengganan jaringan televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana industri rokok Amerika memakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan perokok.

Kejadian itu sebuah fakta. Namun Wallace keberatan karena ada kata-kata yang diciptakan dan seolah-olah diucapkan Wallace. Sutradara Michael Mann mengatakan film itu “pada dasarnya akurat” karena Wallace memang takluk pada tekanan pabrik rokok. Jika kata-kata diciptakan atau motivasi Wallace berbeda antara keadaan nyata dan dalam film, Mann berpendapat itu bisa diterima.

Kovach dan Rosenstiel mengatakan dalam kasus itu kegunaan (utility) jadi nilai tertinggi ketimbang kebenaran harafiah. Fakta disubordinasikan kepada kepentingan fiksi. Mann membuat film itu dengan tambahan drama agar menarik perhatian penonton.

Lantas bagaimana dengan beragamnya standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan dalam melakukan verifikasi bersifat personal? Kovach dan Ronsenstiel menerangkan memang tak setiap wartawan punya pemahaman yang sama. Tidak setiap wartawan tahu standar minimal verifikasi. Susahnya, karena tak dikomunikasikan dengan baik, hal ini sering menimbulkan ketidaktahuan pada banyak orang karena disiplin dalam jurnalisme ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut sebagai objektifitas.

Orang sering bertanya apa objektifitas dalam jurnalisme itu? Apakah wartawan bisa objektif? Bagaimana dengan wartawan yang punya latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, kewarganegaraan, etnik, agama dan pengalaman pribadi yang nilai-nilainya berbeda dengan nilai dari peristiwa yang diliputnya?

Kovach dan Rosenstiel menjelaskan, pada abad XIX tak mengenal konsep objektifitas itu. Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme. Mereka percaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya begitu saja maka kebenaran bakal muncul dengan sendirinya.

Ide tentang realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya struktur karangan yang disebut sebagai piramida terbalik di mana fakta yang paling penting diletakkan pada awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting. Mereka berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami berita secara alamiah.

Namun pada awal abad XX beberapa wartawan khawatir dengan naifnya realisme ini. Pada 1919 Walter Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan terkemuka New York, menulis sebuah analisis tentang bagaimana latar belakang kultural The New York Times menimbulkan distorsi pada liputannya tentang revolusi Rusia. The New York Times lebih melaporkan tentang apa yang diharapkan pembaca ketimbang melaporkan apa yang terjadi.

Lippmann menekankan, jurnalisme tak cukup hanya dilaporkan oleh “saksi mata yang tak terlatih.” Niat baik atau usaha yang jujur juga tak cukup. Lippmann mengatakan inovasi baru pada zaman itu, misalnya byline atau kolumnis, juga tidak cukup.

Byline diciptakan agar nama setiap reporter diketahui publik yang bakal mendorong si reporter bekerja lebih baik karena namanya terpampang jelas. Kolumnis adalah wartawan atau penulis senior yang tugasnya menerangkan suatu peristiwa dengan konteks yang lebih luas yang mungkin tak bisa dilaporkan reporter yang sibuk bekerja di lapangan.

Solusinya, menurut Lippmann, wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan, “There is but one kind of unity possible in a world as diverse as ours. It is unity of method, rather than aim; the unity of disciplined experiement (Ada satu hal yang bisa disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda ini. Hal itu adalah keseragaman dalam mengembangkan metode, ketimbang sebagai tujuan; seragamnya metode yang ditarik dari pengalaman di lapangan).”

Baginya, metode jurnalisme bisa objektif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujuan. Objektifitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Sayang, dengan berjalannya waktu, pemahaman orisinal terhadap objektifitas ini diartikan keliru. Banyak penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku sosiologi tentang wartawan, memakai istilah objektifitas buat merujuk pada pemahaman bahwa wartawan itu seyogyanya objektif.

Saya kira di Indonesia juga banyak dosen-dosen komunikasi yang berpikir ala Rosten. Ini membingungkan. Para wartawan pun, pada gilirannya, ikut meragukan pengertian objektif dan menganggapnya sebagai ilusi.

Bagaimana metode yang objektif itu bisa dilakukan? Kovach dan Rosenstiel menerangkan betapa kebanyakan wartawan hanya mendefinisikan hanya sebagai dengan liputan yang berimbang (balance), tidak berat sebelah (fairness) serta akurat.

Tapi berimbang maupun fairness adalah metode. Bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang berimbang. Fairness juga bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca?

Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:
  • Jangan menambah atau mengarang apa pun;
  • Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
  • Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;
  • Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
  • Bersikaplah rendah hati.
Kovach dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu. Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.

Kedua, memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu daftar pertanyaan yang disebutnya “accuracy checklist.”

Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang cukup?
  • Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?
  • Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?
  • Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?
  • Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar?
  • Apa ada yang kurang?
  • Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?
Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata.

Metode keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French’s Colored Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat.


MUSIM dingin tahun lalu ketika salju membasahi Cambridge, saya sempat berbincang-bincang dengan Bill Kovach tentang hubungan wartawan dan sumbernya. Saya katakan, pernah ketika mengerjakan suatu liputan, secara tak sengaja, keluarga saya berhubungan cukup dekat dengan keluarga orang yang diwawancarai.

Kami diskusikan masalah itu. Singkat kata, Kovach mengatakan, bahwa seorang wartawan “tidak mencari teman, tidak mencari musuh.” Terkadang memang sulit menerima tawaran jasa baik, misalnya diantar pulang ketika kesulitan cari taksi, tapi juga tak perlu datang ke acara-acara sosial di mana independensi wartawan bisa salah dimengerti orang karena ada saja pertemanan yang terbentuk lewat acara-acara itu.

“Seorang wartawan adalah mahluk asosial. Don’t get me wrong,” kata Kovach. Asosial bukan antisosial.

Ini sedikit menjelaskan elemen keempat: independensi. Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas. Kalau begitu wartawan boleh tak netral?

Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.

Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.

“Wartawan yang menulis kolom memang punya sudut pandangnya sendiri …. Tapi mereka tetap harus menghargai fakta di atas segalanya,” kata Anthony Lewis, kolumnis The New York Times.

Menulis kolom ibaratnya, menurut Maggie Galagher dari Universal Press Syndicate, “bicara dengan seseorang yang tak setuju dengan saya.”

Tapi wartawan yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadi pemain. Ini membuat si wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif yang berbeda. Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Lebih sulit lagi menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan mereka lebih dulu ketimbang kepentingan kelompok di mana si wartawan ikut bermain.

Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.

Independensi ini juga yang harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan. Ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih, keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan sebagainya. Mereka, bukan pertama-tama, orang Kristen dan kedua baru wartawan.

Latar belakang etnik, agama, ideologi, atau kelas, ini seyogyanya dijadikan bahan informasi buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte si wartawan. Kovach dan Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural bakal menciptakan lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang yang seragam.

Bersama-sama wartawan dari berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Dia adalah metode buat menghasilkan liputan yang baik.


ELEMEN jurnalisme yang kelima adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Memantau kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau dipakai istilah Indonesianya, “jangan cari gara-gara juga.” Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.

Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenis reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.

Sayangnya di Amerika Serikat, saya kira juga di Indonesia, label investigasi sering dijadikan barang dagangan. Kovach dan Rosenstiel menceritakan bagaimana radio-radio di sana menyiarkan rumor dan dengan seenaknya mengatakan mereka melakukan investigasi. Susahnya, para pendengar, pemirsa, dan pembaca juga tak tahu apa investigasi itu.

Salah satu konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi. Ada yang memakai istilah advocacy reporting buat mengganti istilah investigative reporting karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa salah. Dan dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar serius. Mungkin karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan investigasi. Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke dalam investigasi.

Bob Woodward dari The Washington Post, salah satu wartawan yang investigasinya ikut mendorong mundurnya Presiden Richard Nixon karena skandal Watergate pada 1970-an, mengatakan salah satu syarat investigasi adalah “pikiran yang terbuka.”

Elemen keenam adalah jurnalisme sebagai forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta minuman.

Logikanya, manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan, katakanlah dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya suatu trend sosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak. Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu maka masyarakat pun dipenuhi dengan komentar –mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk show televisi, opini pribadi, surat pembaca, ruang tamu suratkabar dan sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar oleh para politisi dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk menangkap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum inilah demokrasi ditegakkan.

Sekarang teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.

Kovach dan Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu,” yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.

Munculnya jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta secara memadai. “Talk is cheap,” kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya produksi sebuah talk show kecil sekali dibandingkan biaya untuk membangun infrastruktur reportase. Sebuah media yang hendak membangun infrastruktur reportase bukan saja harus menggaji puluhan, bahkan ratusan wartawan, tapi juga membiayai operasi mereka. Belum lagi bila media bersangkutan hendak membuka biro-biro baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ngomong itu murah. Mendapatkan komentar-komentar lewat telepon dan disiarkan secara langsung sangat jauh lebih murah ketimbang melakukan reportase.

Jurnalisme semu juga muncul karena gaya lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme semu pada gilirannya membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar nuansa suatu perdebatan tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sempit, yang terpolarisasi. Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang esensial dalam demokrasi, juga tak terbantu oleh jurnalisme macam ini. Jurnalisme semu tak memberikan pencerahan tapi malah mengajak orang berkelahi lebih sengit.


SELAMA dua semester mengikuti program Nieman Fellowship, Bill Kovach mengusulkan agar kami ikut suatu kelas tentang penulisan narasi (nonfiksi). Dia menekankan perlunya wartawan belajar menulis narasi karena kekuatan jurnalisme cetak sangat ditentukan oleh kemampuan ini. Saya mengikuti nasehat Kovach dan belajar tentang suatu genre yang disebut narrative report atau jurnalisme kesastraan.

Anjuran itu sesuai dengan elemen ketujuh bahwa jurnalisme harus memikat sekaligus relevan. Mungkin meminjam motto majalah Tempo jurnalisme itu harus “enak dibaca dan perlu.” Selama mengikuti kelas narasi itu, saya belajar banyak tentang komposisi, tentang etika, tentang naik-turunnya emosi pembaca dan sebagainya.

Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolakbelakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan membosankan.

Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang dan serius.

Kovach dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu.

Menulis narasi yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.

Di sisi lain, daya tarik hiburan memang luar biasa. Pada 1977 kulit muka majalah Newsweek dan Time 31 persen diisi gambar tokoh politik atau pemimpin internasional serta 15 persen diilustrasikan oleh bintang hiburan. Pada 1997, kulit muka kedua majalah internasional ini mengalami penurunan 60 persen dalam hal tokoh politik. Sedangkan 40 persen diisi oleh bintang hiburan.

Duet Kovach-Rosenstiel sebelumnya menerbitkan buku Warp Speed: American in the Age of Mixed Media di mana mereka melakukan analisis yang tajam terhadap liputan media Amerika atas skandal Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky. Kebanyakan media suka menekankan pada sisi sensasi dari skandal itu ketimbang isu yang lebih relevan.

Elemen kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Kovach dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensional. Penekanannya pada aspek yang emosional. Mungkin kalau di Jakarta contoh terbaik adalah harian Rakyat Merdeka. Suratkabar macam ini seringkali tidak proporsional dalam pemberitaannya.

Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh yang menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Pertanyaannya adalah bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya?

Ini berbeda dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain gitar ini adalah contoh suratkabar yang proporsional.

Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita.

Warga bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya warga juga tahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.


SETIAP wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial. Ini elemen yang kesembilan.

“Setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model itulah dia membangun karirnya,” kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E Network.

Menjalankan prinsip itu tak mudah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas, di mana setiap orang dirangsang untuk bersuara. “Bos, saya kira keputusan Anda keliru!” atau “Pak, ini kok kesannya rasialis” adalah dua contoh kalimat yang seyogyanya bisa muncul di ruang redaksi.

Menciptakan suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya kecenderungan menciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus bisa mengambil keputusan –menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan, membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas—agar media bersangkutan bisa menepati deadline.

Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.

Bob Woodward dari The Washington Post mengatakan, “Jurnalisme yang paling baik seringkali muncul ketika ia menentang manajemennya.”

Pada hari pertama Nieman Fellowship, Bill Kovach mengatakan pada 24 peserta program itu bahwa pintunya selalu terbuka. Terkadang dia sering harus mengejar deadline dan mengetik, “Raut wajah saya bisa galak sekali bila seseorang muncul di pintu saya. Tapi jangan digubris. Masuk dan bicaralah.”
 
Di ambil dari Blog Mas Andreas Harsono

Menyusuri Jejak John “Hiroshima” Hersey

Sebuah karya jurnalistik yang membuat Albert Einstein menyesal menemukan rumus atom
BERDIRI di tepi jembatan Aioi, Hiroshima, pandangan mata Hatsuyo Nakamura menyusuri Sungai Ota. Usianya 86 tahun, umur yang ajaib bagi seorang hibakusha, korban bobosan asap bom atom 57 tahun silam.

“Di sana,” tangannya menunjuk ke utara, “Sungai Ota bercabang Sungai Temma. Dan persis di bawah jembatan Aioi ini Sungai Ota terpecah dua: Motoyasu dan Honkawa. Seperti itulah Perang Dunia Kedua memecah-mecah hidup saya.”

Keriput di seputar bibir Nakamura seperti mengunci mulutnya ketika terkatup. Geraknya amat pelan dan gemetar. Ia dibimbing Myeko Nakamura, anak bungsu sekaligus penterjemahnya. Mata sipit Nakamura sesekali terkedip, menerawang, seperti mengingat-ingat ke saat lebih setengah abad silam.

Hiroshima, 5 Agustus 1945, menjelang tengah malam. Sembilan jam sebelum bom atom dijatuhkan, penyiar radio stasiun kota mewartakan terbangnya 200 pesawat B-29 Amerika Serikat mendekati Pulau Honshu dari arah selatan. Penduduk Hiroshima—yang sebagian telah lelap, diminta mengungsi ke daerah aman.

Nakamura belum tidur waktu itu. Sejak suaminya, Isawa Nakamura jadi serdadu, dan mati dalam perang di Singapura 15 Februari 1942, janda Nakamura harus bekerja sampai larut, menjahit baju, dari piyama hingga kimono. Isawa tak meninggalkan apa-apa kecuali sebuah mesin jahit tua merek Sankoku.

Tiga anak Nakamura menjadi yatim dalam usia belia. Toshio, laki-laki 10 tahun; Yaeko, perempuan delapan tahun; dan Myeko, perempuan lima tahun. Sebelum berangkat perang, Isawa-san sempat mengajari Myeko berdiri dan berjalan pelan-pelan. Hanya Toshio yang sempat mengetahui ada telegram berisi tujuh kata yang dibaca ibunya pada 15 Maret 1942. Sejak itu mereka tak pernah lagi berbincang tentang rencana setelah ayah pulang. Hatsuyo Nakamura hanya mengajak anak-anak berdoa untuk ayahnya. Dari jenis doanya, anak-anak jadi tahu jika ayah mereka sudah tiada.

Mendengar perintah pengungsian dari radio itu Nakamura segera membangunkan tiga anaknya, mengganti baju, dan mengajak mereka berjalan ke lapangan di timur-laut kota yang biasa dipakai parade militer. Si kecil Myeko melanjutkan tidur dalam gendongan ibunya. Kedua kakaknya berjalan tersaruk menahan kantuk sambil memegangi sisi-sisi gaun Nakamura yang memandu jalan.

Sampai di lapangan yang jaraknya satu kilometer dari rumah, mereka langsung rebah dan tidur. Sudah banyak orang berkumpul, tak ada yang ribut. Sebagian besar tidur, sebagian kecil berjaga.

Pukul dua dini hari, para pengungsi terkesiap bangun oleh deru suara pesawat B-29 yang melayang bolak-balik, melintas rendah. Dalam hening, kepanikan menjalar. Tapi, deru pesawat itu lewat. Tak ada bom.

Ketiga anak Nakamura begitu takut. Ibunya merasakan lewat dekapan mereka yang kencang. Mereka memutuskan pulang. Rumah, dirasa lebih membuat tenang.

Pukul setengah tiga mereka sampai. Anak-anak kembali tidur. Nakamura menyalakan radio, dan langsung terdengar keras peringatan untuk mengungsi. Tanpa menunggu sedetik pun, radio dimatikan. Nakamura menengok pada anak-anaknya, tak ada yang terbangun. Nakamura berpikir sebentar, apakah harus mengungsi? Melihat ketiga anaknya lelap dalam kelelahan, ia putuskan tetap tinggal.

“Semua orang pada akhirnya toh akan mati, dengan atau tanpa bom. Kalau itu terjadi, saya masih bisa memilih, untuk mati di rumah sendiri,” Nakamura berserah, digelarnya tatami dan beranjak tidur. Sekali ditengoknya jam, pukul tiga dini hari.

Pukul tujuh pagi, 6 Agustus 1945, sirene di berbagai sudut kota meraung. Nakamura bergegas ke rumah Tuan Nakamoto, kepala kampung, dan apa yang harus dilakukan? Nakamoto menyarankan untuk tinggal saja di rumah sampai suara sirene berikutnya terdengar. Sirene tadi baru peringatan dini.

Nakamura kembali ke rumah, menyalakan kompor dan menanak nasi. Ia duduk menunggu sambil membaca koran Hiroshima Chugoku. Sampai pukul delapan (bom atom meledak limabelas menit kemudian), Nakamura mendengar anaknya bergumam dari tempat tidur. Diambilnya sebungkus kacang Jepang untuk dimakan anak-anaknya. Nakamura sendiri berharap anaknya kembali tidur setelah capai berjalan semalam. Tapi, anak-anak itu dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, meminta nasi karena perut mereka lapar.

Nakamura keluar kamar dan segala tanda bahaya terdengar ingar-bingar. Menengok keluar jendela, ia melihat kilauan begitu putih, tak ada putih seputih kilau itu yang pernah ia lihat sebelumnya. Seorang lelaki tetangga yang ada di luar rumah mengangkat tangan seperti hendak melindungi matanya dari cahaya. Nakamura tak memperhatikan apa yang kemudian terjadi dengan lelaki itu. Insting keibuannya segera menarik tubuhnya ke kamar anak-anak. Tapi tiba-tiba pemandangan menjadi gelap pekat. Nakamura terbanting ke lantai. Didengarnya bunyi derak kayu dan tembok-tembok yang runtuh. Seluruh tenaganya seperti hilang seketika.

Demikianlah Little Boy, nama bom atom itu, telah meledak di Hiroshima. Bentuk Little Boy seperti lontong dari baja seberat empat ton, panjangnya tiga meter, dengan diameter 0,7 meter. Ia diterbangkan dengan pesawat B-29 yang bernama Enola Gay dari Pulau Tinian, dekat Guam di Lautan Pasifik, sejauh 2.740 kilometer dari Hiroshima.

Pulau Tinian direbut Amerika Serikat dari Jepang pada 23 Juli 1944 sebagai lompatan terakhir sebelum menyerang Jepang. Begitu Tinian direbut, Little Boy diangkut oleh pesawat khusus bernama Indianapolis dari San Fransisco.

Pada 5 Agustus 1945 petang, Little Boy baru dimasukkan ke dalam perut Enola Gay dan siap diterbangkan kapan saja. Dini hari 6 Agustus 1945, tepatnya pukul 02.45 waktu Tinian (atau 01.45 waktu Hiroshima), Enola Gay lepas landas dari Tinian menuju Hiroshima.

Menurut catatan William D. Parson yang menjadi co-pilot, Enola Gay baru melintas di atas Iwojima pukul 06.05 waktu Tinian. Pukul 07.30 sinyal merah dinyalakan tanda bom dipanaskan agar siap meledak ketika dijatuhkan. Pukul 08.38 pesawat mencapai ketinggian 9.970 meter dari permukaan laut, sesuai perhitungan jarak paling pas untuk menjatuhkan bom. Pukul 08.47, fusi elektronik diujicobakan, hasilnya oke, mesin peledak sudah panas. Pukul 09.04, pesawat berbelok ke barat. Pukul 09.09, lanskap kota Hiroshima sudah terlihat di jendela depan pesawat. Dan begitu Enola Gay melintasi jembatan Aioi, lewat 30 detik dari pukul 09.15 waktu Tinian (atau 08.15 waktu Hisroshima), Little Boy, bom atom pertama dalam sejarah perang, dijatuhkan.

Begitu melepas Little Boy, Enola Gay langsung mendaki 155 derajat berbelok ke utara untuk menghindari efek ledakan bom. Little Boy terjun bebas selama 43 detik sampai ketinggian 580 meter di atas rumah sakit Shima, dan meledak di udara.

Teorinya secara sederhana, energi ledakan itu muncul dari nukleus atom yang terpecah dua. Dari dua, pecah menjadi empat, dari empat menjadi delapan, dan seterusnya. Energi ledakan berlipat dalam tempo yang sangat singkat. Sepersepuluh-ribu detik setelah ledakan, panas mencapai 300 ribu derajat Celsius dalam radius 17 meter dari pusat ledak (hypocenter). Panas yang sampai ke rumah sakit Shima saat itu mencapai 6.000 derajat Celcius.

Lima menit setelah ledakan, asap atom menguar seperti cendawan putih raksasa hingga setinggi 17 ribu meter di atas tanah. Zat radioaktif mematikan sebagaian besar warga Hiroshima yang terkena dalam radius lima kilometer dari pusat ledak, baik secara langsung maupun dalam hitungan hari. Mereka yang ada di dalam radius lima kilometer itu dan kemudian lari keluar dari lingkar akar cendawan atom itu, nyaris semuanya menderita cacat kulit, bahkan mengalami mutasi genetik. Minimal, korban menderita cikal-bakal kanker atau leukemia.


RUMAH Nakamura terletak 5,4 kilometer dari pusat ledak. Sebuah selisih 40 meter yang menentukan keselamatan keluarga miskin itu.

Rumah mereka terbuat dari kayu yang murah dan ringan di kawasan Nobori-cho yang padat dan miskin, tak ada kaca, atapnya cuma asbes yang gapuk. Rumah itu sudah tak ada begitu Nakamura mampu beringsut dan menengadahkan kepala. Perasaan yang campur-aduk menggelayut. Sejauh mata memandang, yang ada hanya puing-puing berserakan. Sayup terdengar si bungsu Myeko mengerang, “Ibu, tolong aku!”

Myeko tampak sulit bernapas dan tak bisa bergerak. Dengan segala daya yang tiba-tiba muncul, Nakamura mencoba mengangkat anaknya dari serakan puing rumah. Myeko segera terselamatkan dari tindihan puing dipan tempat tidur. Tapi, Nakamura tak melihat atau mendengar suara kedua anaknya yang lain?

Nakamura menjadi sangat panik. Raut muka Myeko memucat. Ia masih tersengal-sengal. Rengkuhan lengan ibunya membuat Myeko jadi agak tenang. Napasnya kembali teratur. Nakamura pun menghela lega. Sang ibu dan putri bungsunya itu seperti saling menguatkan.

“Tasukete! Tasukete!”(Tolong! Tolong!)

Suara itu tak jelas dari mana datangnya. Telinga Nakamura berdengung dan ia merasa setiap suara lebih kecil ketimbang aslinya. Tapi Nakamura merasa pasti bahwa itu suara si sulung Toshio. Cuma di mana sumbernya? Ada derak puing kayu beringsut pelan. Nakamura langsung mendudukkan Myeko dan merangsek ke puing kayu yang ternyata bekas salah satu tiang utama rumah mereka. Di bawah kayu ada lembar daun pintu, dan begitu tiang kayu disingkirkan, daun pintu pun terangkat ke samping. Muncullah muka Toshio yang tegang.

“Ibu, Yaeko mati!”

Jantung Nakamura seperti berhenti. Tubuh Yaeko tergeletak di sebelah Toshio, diam tak bergerak dan kakinya masih tertimbun puing. Nakamura ingin mengangkat tubuh Yaeko, tapi ia sudah tak punya tenaga. Nakamura menciumi pipi Yaeko dan memanggil-manggil namanya seperti tak rela Yaeko pergi untuk selamanya. Air mata ibu membasahi wajah sang anak.

Ternyata Yaeko tidak mati. Ia pingsan.

“Air…air. Aku mau minum,” Yaeko menggumam lirih.

Nakamura bagai menerima rahmat dari surga, sekaligus juga bingung. Di mana ada air? Ia juga merasa tenggorokannya begitu kering dan badannya panas dengan kulit serasa perih terbakar. Diperhatikannya pakaian yang dia kenakan sudah tak karuan, lusuh dan kacau seperti juga baju tiga anaknya.

“Air…air…,” rintih Yaeko. Di mana ada air di tengah reruntuhan Nobori-cho saat ini? Nakamura mengumpulkan liurnya yang tersisa, dibukanya mulut Yaeko. Perlahan Nakamura keluarkan ludahnya hingga masuk ke mulut Yaeko yang langsung menelan, sementara matanya masih terpejam.

Entah mendapat tenaga dari mana, Nakamura menyingkirkan puing-puing yang masih menimbun Yaeko.

“Itaiii!” (Sakiiit!) seru Yaeko.

“Sekarang bukan waktunya untuk mengeluh sakit atau tidak,” Nakamura mengangkat anaknya yang kedua sampai terduduk. Diperhatikannya tubuh Yaeko, tak ada luka serius.

Nakamura beranjak menengok ke sekeliling. Orang yang dilihatnya tadi dari jendela telah rebah di tanah, mati. Istri Nakamoto datang ke arahnya dengan sisi muka berlumur darah. Ia bertanya apakah Nakamura punya perban untuk menutup luka. Tak ada perban. Nakamura merobek kain-kain yang dia punya menjadi potongan-potongan panjang seperti perban dan memberikannya kepada istri Nakamoto.

Yayoi Hataya, tetangga sebelah rumah, dengan panik mengajak Nakamura dan anak-anaknya untuk mengungsi ke taman Asano tempat simpanan air bersih tersedia. Mereka membawa beberapa pernik barang yang bisa dibawa termasuk remukan makanan kering yang masih ada dalam bungkusan. Di sepanjang jalan mereka banyak mendengar orang menjerit minta tolong lantaran anggota keluarganya tertimpa puing-puing rumah. Hanya satu rumah yang belum roboh, yakni pastoran Jesuit di sebelah bekas taman kanak-kanak Myeko yang sudah tak karuan bentuknya. Mereka melihat Pastor Wilhelm Kleinsorge berupaya memberi pertolongan seadanya kepada para korban.

Di taman Asano yang penuh debu, puluhan pengungsi berkumpul. Mereka berbagi air minum. Sebetulnya agak tak tepat disebut air minum karena galonan air di bak bawah tanah itu masih mentah dan direncanakan untuk memadamkan api bila terjadi kebakaran. Tapi para pengungsi tak peduli. Udara dan badan mereka terasa begitu panas.

Nakamura kemudian menjadi sangat sibuk memberi pertolongan ke sana kemari bersama Pastor Kleinsorge. Tentu saja pertama-tama ia memastikan anak-anaknya aman dengan bekal yang cukup. Toshio diminta si ibu untuk menjaga adik-adiknya. Tak lama, ketiga anak Nakamura pun tertidur di bawah tenda darurat. Sebaliknya sang ibu terus bolak-balik seolah tak kenal lelah. Lewat tengah malam, Nakamura baru bisa tidur.


DI SAAT yang sama ketika Nakamura tertidur, petang hari sedang menjelang di New York, 5 Agustus 1945. Seorang wartawan-cum-novelis bernama John Hersey asyik mendengar musik dari radio. Ia sungguh menikmati waktu jeda menulis usai merampungkan karya-karya jurnalistik maupun fiksi yang sangat menyedot energinya. Dalam hari-hari mengisi kembali energi itu, biasanya ia tak menulis apapun, otaknya serasa tumpul dan kesaktian menulis seperti hilang. Lazimnya Hersey, masa tumpul itu berlangsung paling lama satu minggu. Kerjanya cuma membaca bacaan ringan, mendengarkan musik di radio, dan menikmati pujian atau kritik dari pembaca tulisannya.

Kali ini ia lebih banyak menerima pujian. Khususnya dari pembaca tulisan panjangnya di majalah The New Yorker edisi Juni berjudul “Survival.” Tulisan ini berkisah bagaimana seorang Letnan Angkatan-Laut, John F Kennedy, menyelamatkan diri dari kapal-perangnya PT 109 yang tenggelam di bagian selatan Samudra Pasifik.

Pujian lain berdatangan juga dari para pembaca novelnya A Bell for Adano yang memenangi Pulitzer untuk karya fiksi 1945. A Bell for Adano bercerita tentang pendudukan pasukan Amerika Serikat atas sebuah desa di Italia.

Musik pop di radio yang didengarkan Hersey tiba-tiba berhenti. Hersey cuek saja. Ia tak mencoba memutar tombol mencari frekuensi lain. Yang terdengar kemudian pidato Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman yang rekamannya tersimpan rapi di Library of Congress: “Sixteen hours ago, an American airplane dropped one bomb on Hiroshima, Japan, and destroyed its usefulness to the enemy. That bomb had more power than 20.000 ton of T.N.T. It had more than two thousand times the blast power of the British Grand Slam, which is the largest bomb ever used in the history of warfare.…It was an atomic bomb.”

Hersey langsung bangun dari kursi malasnya. Keningnya berkerut. Bom Atom? Ingatannya langsung melayang ke Juni 1942 ketika Roosevelt menandatangani akta persetujuan dimulainya The Manhattan Project. Sebuah riset bernilai US$ 2 miliar dan melibatkan 120 ribu pekerja, dengan satu tujuan membuat bom atom untuk menaklukkan lawan dan memenangi Perang Dunia II.

Malam itu Hersey berjanji dalam hatinya, “Saya akan menulis tentang Hiroshima!” Dan Hersey tidak main-main.

Ben Yagoda dalam bukunya About Town: The New Yorker and the World It Made

mengisahkan di berbagai halaman terpisah tentang proses Hersey merampungkan artikel Hiroshima sepanjang lebih dari 30 ribu kata.

Sampai akhir 1945, Hersey baru merampungkan risetnya dengan mengumpulkan berbagai data pendukung tentang Hiroshima. Ia mulai berdiskusi dengan kolega sesama jurnalis tentang rencananya. Keputusannya ia akan mulai perjalanan jurnalistik dari Cina ke Jepang. Cina pintu masuk ke Jepang yang termurah. Meski begitu, pada 1945 anggaran liputan lebih dari US$ 10 ribu masih sangat mahal untuk sebuah tulisan. Untungnya, sekaligus unik, Hersey bisa mendapat persetujuan dukungan dana dari dua majalah, The New Yorker dan Life.

Alasan lain ia memasuki Jepang dari Cina sebetulnya lebih bersifat pribadi. Ia ingin menengok kembali kampung halamannya. Maklum ia lahir 1914 di Tientsin dari pasangan misionaris Protestan dan menghabiskan masa kecilnya di sana sampai 1925.

Sebelum berangkat ia banyak berdiskusi dengan editor New Yorker William Shawn dan merumuskan 10 ide kerangka tulisan (outline of story ideas). Salah satu idenya tawaran Shawn yang dikembangkan dari artikel Joel Sayre tentang pengeboman wilayah Cologne-Jerman dari perspektif korban (orang Jerman) yang menderita akibat peristiwa tersebut.

Artikel Sayre yang sangat bagus itu akhirnya batal dimuat The New Yorker karena tidak kontekstual. Jerman sudah memutuskan untuk menyerah pada Pasukan Sekutu. Shawn mengusulkan kepada Hersey untuk menulis soal Hiroshima dari perspektif korban sebagaimana dilakukan Sayre. Konteksnya masih hangat karena perdebatan tentang bom atom terus berlangsung dan melibatkan para politisi, intelektual, bahkan agamawan. Di samping secara jurnalistik, magnitude Hiroshima-Jepang jauh lebih besar ketimbang Cologne-Jerman.

Tapi Hersey belum menemukan satu pun outline tulisan yang dinilainya paling kuat untuk mengisahkan Hiroshima. Ia sudah mencoba mengerahkan seluruh pengalaman dan pengetahuan jurnalistiknya yang mendalam sejak di bangku kuliah. Menamatkan studi di Yale University, Hersey sempat setahun menjadi sekretaris Sinclair Lewis, dosen jurnalisme yang tersohor di Cambridge.

Setelah itu ia bekerja di majalah Time sebagai penulis. Di awal Perang Dunia II ia juga membuat beberapa reportase untuk Life yang masih “satu keluarga” dengan Time di bawah kepemilikan saham Henry Luce. Reportase termasyhur dari Hersey untuk Life terbit 1944 berjudul “Joe is Home Now” yang mengisahkan trauma para serdadu GI Amerika Serikat sepulang dari perang dan mencoba hidup kembali bersama masyarakat biasa. Para pembaca sangat takjub pada karakter-karakter narasumber yang dibangun dan dilansir Hersey dalam “Joe is Home Now.” Sampai-sampai, Tom Wolfe dalam pengantar di buku antologinya The New Journalism, menyebut “Joe is Home Now” sebagai a seminal precursor of the genre.

Dalam “Survival” Hersey menggunakan metode penulisan jurnalistik yang berbeda dengan “Joe is Home Now” yang menitikberatkan pada dinamika karakter narasumber. “Survival” lebih menekankan detail-detail kejadian yang melodramatis, struktur tulisan beritme sastrawi, dan rekonstruksi dialog narasumber yang mendekati sempurna. Hersey tidak menitikberatkan karakter karena John F. Kennedy yang menjadi narasumber utama sahabat Hersey sendiri sehingga Hersey harus mengambil jarak.

Wawancara mendalam dilakukan Hersey sejak awal Kennedy bercerita sambil makan siang di La Martinique, sebuah supper-club di New York, hingga rumah sakit Boston tempat Kennedy mendapat perawatan untuk memulihkan otot-ototnya yang kaku karena peristiwa dramatis tenggelamnya kapal PT 109 di selatan Samudra Pasifik itu.

Anehnya Life—tak jelas alasan apa—tak jadi memuat artikel tersebut, sebuah tindakan redaksi yang kemudian disesali oleh Life sendiri. “Survival” dimuat The New Yorker dan menjadi karya jurnalistik yang klasik dan dikenal banyak warga Amerika Serikat. Bagaimana tidak, “Survival” dicetak ulang sebanyak 100 ribu eksemplar oleh ayah Kennedy untuk kepentingan kampanye anaknya memenangi kursi di House of Representatives (parlemen Amerika Serikat) dengan membagikan kopi artikel itu pada calon pemilihnya di Boston. Alhasil “Survival” menjadi sangat dikenal, bahkan kemudian difilmkan dengan judul PT 109. Ketika Kennedy menyiapkan diri untuk merengkuh kursi presiden, buletin U.S. News and World Report memuat kembali “Survival” dan mencetaknya dalam jumlah yang begitu banyak (tak ada data/sumber yang menyebut secara tepat seberapa banyak)—dengan sayangnya—tanpa seizin The New Yorker maupun John Hersey.

Hersey juga menulis tiga buku fiksi-perang: Men on Bataan, Into the Valley, dan A Bell for Adano. Tampak sekali baik dalam karya jurnalistik maupun novelnya, Hersey sangat piawai mengemas kekerasan perang hingga memikat banyak pembaca.

Sebaliknya Shawn, editor Hersey, tak suka bacaan perang dalam format penulisan apapun. Shawn pernah menulis ke sahabatnya sesama wartawan Hobart Weekes pada 1943, betapa ia benci dengan diksi kata killing, dan berandai-andai jika memungkinkan: setiap perang dapat ditulis dan dilansir di media tanpa harus menggunakan kata killing itu. Sebuah pengandaian yang tak terkabul.

Shawn juga tak suka narasi mengenai dampak bom setelah meledak. Terkecuali, jika narasi itu menimbulkan impresi pembaca yang mendorong pengurangan bom dalam perang, maka Shawn akan senang hati untuk mengendalikan perasaannya yang terlalu peka. Selama 54 tahun kariernya di New Yorker, Shawn hanya pernah satu kali memberikan kontribusi artikel tentang bencana yang dialami manusia (itupun tidak dengan by name, cuma ada inisial namanya “W.S.” di akhir artikelnya) dan diberinya judul “The Catastrophe,” sebuah kisah imajinasi jika sebuah meteor menghancurkan kota New York.

Ketika Shawn menjadi pemimpin redaksi, beberapa tulisan yang membawa semangat macam “The Catastrophe” beberapa kali muncul, seperti tulisan Joseph Mitchell “The Bottom of the Harbor,” Rachel Carson “Silent Spring,” Barry Commoner “The Closing Circle,” dan Jonathan Schell “The Fate of the Earth.” Hersey memahami kecenderungan Shawn, tapi ia sendiri tak pernah menulis artikel-artikel semacam tadi. Sampai Hersey berangkat ke Cina, ia belum menemukan satu outline yang dirasa meyakinkan, baik bagi dirinya maupun Shawn.


MARET 1946, muncul berita bahwa Amerika Serikat akan menguji coba sebuah bom atom dua bulan mendatang. Sebagai seorang reporter yang punya tipikal takut kehilangan news peg, Hersey mengirim kawat kepada Shawn langsung dari Cina yang isinya kemungkinan ia akan mempercepat kepergiannya ke Jepang bulan Mei dan mengirim artikelnya dari sana demi mengejar waktu seiring rencana uji coba bom atom. Meski dalam kawatnya itu, sebagaimana dikutip Yagoda dalam About Town, Hersey menyambung:

Still think it would be advantageous to wait and write them upon my return; in that case you would not get them into print until July or perhaps around the anniversary of the Hiroshima bomb an August. Personally I don’t see why the may experiments should detract from the Hiroshima story provided eye can get in the sort of detail we envisaged.

Shawn langsung membalas pada hari yang sama:

Eye was about was about to cable you urging you to do piece as we originally planned. We do not think that may experiment will affect it. The more time that passes the more convinced we are that piece has wonderful possibilities. No one has even touched it. Think best to write it back here and time it for anniversary.

Hersey jadi merasa tak harus buru-buru. Dalam pelayarannya ke Jepang, dia masih belum menemukan pendekatan untuk mengisahkan Hiroshima. Sialnya lagi, serangan flu menyergapnya saat melayari selat Jepang. Sambil berbaring, istirahat, Hersey membaca novel karya Thornton Wilder 1927 yang dipinjamnya dari perpustakaan kapal. Judulnya The Bridge of San Luis Rey, cerita mengerikan dengan seting abad ke-18 di Peru dari titik pandang lima karakter yang berbeda.

Tak dinyana, novel inilah yang memberi inspirasi Hersey untuk mengemas Hiroshima. Dalam kepalanya, ia harus mencari lima orang narasumber utama yang mengalami peristiwa ledakan bom atom. Dari pengalaman lima korban itu ia akan membangun narasi yang terpotong-potong dengan penutup yang menohok atau sebaliknya menggantung di akhir tiap potongan. Pembaca akan mengikuti kronologi yang tidak mengalir utuh melainkan terpencar-pencar dalam lima tokoh, di mana setiap tokoh memiliki karakter unik.

Pada 25 Mei 1946, Hersey mendarat di Hiroshima Port. Kurang dari setahun setelah bom atom jatuh di kota itu, Hiroshima masih hancur lebur. Tak ada gedung permanen apalagi yang bertingkat seperti sebelum perang. Penduduk tinggal di rumah-rumah semi permanen yang terbuat dari kayu atau cetakan bata yang kasar dan tidak dilapisi semen. Ada banyak jalur rel kereta api dan trem, tapi tak bisa berfungsi karena tak ada listrik, sementara batubara sangat mahal. Nyaris tak ada pohon kecuali yang sengaja ditanam di Jalan Heiwa Odori yang saat ini dikenal sebagai Peace Boulevard Avenue. Itu pun banyak yang kering karena tanah masih terpengaruh radiasi atom. Sungai juga belum sepenuhnya bersih dari pengaruh radiasi. Beberapa jembatan masih bertahan, tapi di tepinya masih tercetak balur-balur hitam bayangan radiasi. Dari berbagai balur hitam tersebut bisa diketahui titik ketinggian di mana bom atom meledak.

Turun dari kapal, Hersey segera mencari informasi di mana ia bisa menginap. Tapi, tak ada satu pun orang Jepang yang bisa bicara dalam bahasa Inggris di pelabuhan itu. Hersey sudah menghapal beberapa kalimat dan kata-kata Jepang yang berguna baginya seperti tabemasu (makan), nomimasu (minum), hoteru (hotel), resutoran (restoran), dan kalimat-kalimat tanya yang sopan. Cuma tiap kali ia coba bicara dalam bahasa Jepang, orang Jepang yang diajaknya bicara selalu membetulkan cara pengucapannya. Dan sesudah pengucapannya benar, lawan bicaranya akan menjawab dengan panjang lebar dalam bahasa Jepang yang tidak ia mengerti.

Untungnya Hersey menguasai sebagian huruf kanji yang dipelajarinya di Cina sejak kecil dan diulang lagi ketika bertandang ke Cina sebelum Hiroshima. Huruf kanji di Cina sama artinya dengan huruf kanji di Jepang meski pelafalannya berbeda. Di samping itu Hersey juga mempelajari penggunaan abjad hiragana dan katakana yang biasa digunakan sehari-hari oleh masyarakat Jepang bersamaan dengan abjad kanji. Jadi ketika Hersey tak paham apa yang dimaksud lawan bicaranya, ia akan meminta lawan bicaranya itu menulis dalam abjad mereka. Pedomannya bagi Hersey, abjad hiragana digunakan untuk kata-kata umum, katakana digunakan untuk kata dan istilah asing, sedangkan kanji untuk nama dan istilah Jepang yang baku.

Hersey mencari seorang asing yang mengenal betul Hiroshima, siapa saja. Maka seorang perempuan belasan tahun, Midori Murata, yang ditemukannya sedang berbelanja ikan, membawanya ke seorang pastor Jesuit di sebuah kapel darurat. Pastor itu berumur 39 tahun, mukanya cekung dengan leher panjang dan jakun yang menonjol. Pertama bertemu seolah mereka sudah kenal nama, Hersey langsung disapa hangat oleh pastor itu tanpa menanyakan nama, melainkan dengan pertanyaan,“Where are you come from?”

“New York, America. What about you?” jawab Hersey.

“America? Me? German!” balas pastor itu tertegun. Agak kikuk ia berpaling ke Nona Murata.

“Amerika kara?” ulang Murata yang juga kaget.

Hersey juga tertegun, asal negara bisa menjadi awal yang tidak mengenakkan. Tapi ia mencoba mencairkan suasana.

“Watashi no namae wa John Hersey desu ne. Hajimemashite!” ujar Hersey sambil membungkukkan badan menghormat. Cukup berhasil, sang pastor dan nona Murata cepat pulih dari keterkejutan mereka.

“My name is Wilhelm Kleinsorge. Nice to meet you,” Pastor itu menjabat tangan Hersey erat-erat, “Have a seat, please!”

Hersey mengambil tempat duduk sederhana yang terbuat dari peti kayu murahan. Murata mengamati Hersey, menurutnya orang ini cukup tampan dan gagah, badannya tinggi. Ketika Murata pertama kali bertemu di Hiroshima Port, ia terkesan dengan lubang Hersey yang melancip ke depan, dan lubang hidung itu akan selalu terlihat oleh Murata tiap kali ia mendongak bicara dengan orang asing itu. Murata pula yang akhirnya diminta Pastor Kleinsorge untuk mencarikan penginapan bagi Hersey.

Di penginapan yang kini telah menjadi hotel kecil Dormy-in di distrik Ko-machi, Hersey mulai mengumpulkan informasi dengan teknik bola salju mulai dari kisah Pastor Kleinsorge. Pada hari kedua sore hari, pintu kamarnya diketuk dari luar. Hersey membuka pintu dan dilihatnya seorang anak lelaki membawakan pakaiannya yang telah dicuci dan diseterika. Anak kecil itu begitu kaget melihat Hersey, tanpa sempat mengucap kata, ia langsung berbalik dan lari dengan masih membekap pakaian Hersey. Tak berapa lama, seorang ibu muda datang kembali bersama anak itu dan pakaian Hersey yang tertekuk-tekuk. Ibu itu meminta maaf dengan sopan dan berjanji akan menyeterika ulang pakaian Hersey. Wartawan Amerika itu berjongkok di depan si anak dan tersenyum,

“Watashi no namae wa John Hersey. Hajimemashite. Anata no namae wa…”

“Toshio, Toshio Nakamura,” Ibunya yang menjawab.

Nakamura kecil melihat Hersey kemudian tersenyum kembali pada ibunya. Ia merasa orang asing ini menyukai ibunya. Terbukti Hersey mempersilakan mereka masuk dan mengajak bicara. Ibunya, Hatsuyo Nakamura tidak bisa berbahasa Inggris, lebih sering keduanya tersenyum-senyum saja. Mereka berkomunikasi lewat tulisan dan campuran bahasa Inggris-Jepang yang kacau. Sesekali Hersey membuka kamus untuk memahami tulisan Nakamura, lalu saling tersenyum dan mengangguk-angguk lagi.

Besoknya, Hersey yang datang ke rumah keluarga Nakamura. Ia naik sepeda. Kali ini bahasa Jepangnya lebih lancar. Toshio yang semula takut berubah jadi kagum. Setelah satu jam bicara dengan ibunya, Hersey memberikan uang entah berapa yen, tapi ditolak oleh Nakamura. Hersey bilang uang itu pengganti jam kerja yang hilang untuk menjahit atau mencuci baju. Nakamura tetap menolak. Menurutnya berbicara itu bukan kerja.

Toshio yang siang itu sudah pulang dari sekolah darurat, diajak Hersey keliling kota. Ibunya mengizinkan. Maka Toshio pun jadi pemandu jalan dengan membonceng sepeda. Hiroshima pada waktu itu tak seluas sekarang, bila dibandingkan kira-kira besarnya sama dengan kota Yogyakarta. Mereka berdua bersepeda mulai dari daerah utara Gokoku Shrine di area reruntuhan Hiroshima Castle hingga ke selatan sampai daerah Senda-machi tempat berdiri rumah sakit Palang Merah yang menjadi salah satu pusat perawatan korban bom atom.

Sengaja mereka tidak lewat jalan protokol Rijo-dori, melainkan lewat padang pasir di lingkaran inti seputar pusat ledak yang sekarang telah jadi ruang publik dengan berjibun aneka pohon dan bunga. Ketika bom atom meledak, semua penduduk di distrik itu tewas secara mengenaskan. Tak ada lagi yang mau tinggal di daerah itu. Selain berulang-ulang menanam pohon (sampai beberapa tahun tanah yang terkena radiasi sulit ditumbuhi pohon secara normal), pemerintah Jepang juga membangun museum seni, museum anak, kolam renang, youth center, dan stadion baseball. Khusus di stadion baseball, tiap Agustus, seminggu pertama, diselenggarakan World Conference Against A & H Bombs (Atomic & Hydrogen Bombs).

Di area Saiku-machi yang kemudian diubah namanya jadi Ote-machi 1 chome, sebelah barat-daya stadion baseball, berdiri tegar kerangka gedung Hiroshima Prefecture Industrial Hall. Kerangka gedung ini satu-satunya yang masih tegak di Hiroshima setelah bom atom meledak. Padahal jaraknya kurang 200 meter dari pusat ledak. Maklum, temboknya setebal setengah meter. Cuma semen luarnya saja yang terkelupas di beberapa sisi. Kubahnya yang mirip masjid Istiqlal di Jakarta, tinggal kerangka bajanya saja dan tampak seperti sangkar burung yang besar. Di prasasti yang dipasang di pinggir sungai Motoyasu persis di seberang kerangka, tercatat bahwa gedung ini selesai dibangun pada 5 April 1915 oleh arsitek asal Czech, Jan Letzel.

Hersey dan Toshio sempat masuk bersama ke kerangka gedung ini dan mengamati bekas radiasi asap di temboknya. Sejak 1967, orang sudah tak mungkin masuk tanpa izin dan kepentingan yang sangat khusus. Beberapa pasak besi yang tinggi ditata sedemikian rupa untuk menjaga agar kerangka ini tidak runtuh. Nama Hall pun diubah menjadi A-bomb Dome.

Setelah Hersey dan Toshio puas mengelilingi A-bomb Dome, mereka berdua menyeberang jembatan Aioi dan belok ke kiri ketika sampai tengah jembatan yang ujungnya tiga ini (jembatan ini berdiri di atas Sungai Ota yang terbelah dua jadi sungai Honkawa dan Motoyasu), masuk ke delta Nakajima-cho yang juga jadi padang pasir. Di delta itu dibangun sebuah Cenotaph untuk mengenang para korban. Ukurannya 1,5x2 meter dengan tinggi 1,8 meter berbentuk mirip tandu untuk mengusung jenazah. Begitu bersimpuh di depan Cenotaph yang lowong itu, siapa pun akan melihat A-bomb Dome di kejauhan persis di tengah lowongan Cenotaph. Tahun demi tahun, Nakajima-cho berubah menjadi Peace Memorial Park yang teduh. Ada Peace Memorial Museum di bagian selatan yang berbatasan dengan Heiwa Odori/Peace Boulevard Avenue. Di museum ini pemerintah Jepang bersama warga membangun diorama sejarah Hiroshima sebelum, tatkala, dan sesudah bom atom meledak.

Dari Nakajima-cho, Toshio mengajak Hersey menyeberangi Sungai Honkawa lewat jembatan Nishi Heiwa untuk mengunjungi kantor koran Chugoku Shimbun. Menurut Toshio, mulanya Hersey sangat bersemangat memasuki kantor koran utama di Hiroshima itu, tapi sesampai di sana ia disambut sinis dan dingin. Tak ada yang kenal The New Yorker maupun Life, sebagian kecil tahu Time tapi dengan sudut pandang buruk bahwa majalah itu sekadar alat propaganda Amerika. Hersey keluar dari kantor Chugoku Shimbun dengan muka kecut.

Sesudah itu baru mereka bergerak ke tenggara menuju Senda-machi. Beberapa kali Hersey berhenti untuk mengamati sesuatu, bertanya pada orang, mencatat, dan meminta lawan bicaranya menulis menurut bahasa mereka, membuat gambar-gambar yang Toshio sendiri tak mengerti apa maksudnya.


MENURUT dokumentasi The New Yorker, Hersey mewawancara 40 hibakusha (korban bom atom), dua ahli kedokteran, dan dua rohaniwan. Dari sekian banyak sumber, Hersey mengangkat enam pengalaman narasumber. Mereka adalah janda Hatsuyo Nakamura, staf personalia East Asia Tin Works Toshinki Sasaki, dokter Masakazu Fujii, Pastor Wilhelm Kleinsorge, ahli obat Terufumi Sasaki, dan pendeta Kiyoshi Tanimoto.

Dari catatan Hersey sendiri, para sumbernya tidak bisa dikatakan secara sosial-ekonomi merepresentasikan penduduk Hiroshima. Kepada Harold Ross, editor The New Yorker, yang memeriksa hasil reportasenya, Hersey menyatakan bahwa soal bahasa menjadi kendala utama untuk melakukan check and recheck informasi yang didapatkannya.

Toshio Nakamura menyatakan tak ada data yang salah dari laporan Hersey, kecuali kurangnya detail pada peristiwa yang dialami oleh adiknya Yaeko Nakamura. Dalam laporan Hersey, Yaeko tidak pingsan melainkan langsung ditolong ibunya setelah Myeko dan Toshio.

Bagaimana Hersey menulis hasil reportasenya?

Sekembalinya ke New York pada 12 Juni 1946, Hersey langsung konsentrasi menulis selama enam minggu. Pertama dia memperkuat outline yang telah dikonstruksikan di Jepang berdasarkan kesaksian enam narasumber, baru kemudian mulai menulis artikel tersebut. Seperti menatah patung, ia tidak menulis dari awal sampai akhir melainkan menggarap bagian per bagian, satu bagian ditulis lalu pindah ke bagian lain, di hari selanjutnya ia bisa saja kembali ke bagian awal untuk memperkuat fakta, mengurangi atau memperhalus tulisan, lalu pindah ke bagian lain lagi sesuai outline.

Enam minggu lewat, tulisan Hersey yang diberinya judul “Hiroshima” selesai. Jumlahnya lebih dari 30 ribu kata, terbagi dalam empat bagian dan tiap bagian dipecah dalam enam sosok narasumber. Di beberapa sekuen, antar sosok itu bertemu dan bersimpangan, tapi tak pernah ada sekuen yang menyebut mereka berkumpul jadi satu. Bagian pertama diberi judul A Noiseless Flash, kedua The Fire, ketiga Details are being Investigated, dan terakhir Panic Grass and Feverfew.

Hersey sengaja memecah tulisannya yang direncanakan masuk rubrik Reporter at Large dalam empat edisi The New Yorker. Ia sudah berpikir setelah The New Yorker menerbitkannya, maka empat tulisan itu akan dia sempurnakan lagi menjadi satu buku.

Tapi William Shawn yang membaca naskah pertama Hersey punya kesimpulan lain. Seluruh bagian itu harus dipublikasikan dalam sekali terbit. Ia begitu terpukau membacanya. John Lardner, wartawan Newsweek, pernah mewawancarai Shawn sehubungan dengan artikel Hiroshima itu dan menulis, Hersey had, in typical New Yorker fashion, refocused on the scene at the beginning of each installment. To Shawn, this made the story lose much of its impact and he went to Ross with a suggestion that was daring even for the New Yorker. “This,” he said, “can’t be serialized. It’s got to run all at once.”

Shawn sendiri pada awalnya kebingungan untuk memberi alasan mengapa naskah Hersey harus diterbitkan dalam satu edisi. Sebab, jika idenya itu direalisasikan, satu edisi The New Yorker Agustus 1946 akan melulu berisi artikel Hersey, alias menggusur artikel-artikel lain yang sudah disiapkan. Dan itu tidak lazim bagi pembaca The New Yorker yang, meski fanatik membaca artikel-artikel panjang, terbiasa menerima sajian lebih dari satu artikel untuk satu edisi. Shawn akhirnya menemukan alasan itu, seperti yang pernah tercantum dalam editorial edisi pertama The New Yorker Februari 1925, “The New Yorker starts with a declaration of serious purpose…” Harold Ross yang membantu Shawn menyunting tulisan Hersey setuju saja.

Selama 10 hari, Shawn dan Ross menyunting tulisan Hersey di ruang editor yang terkunci. Tak ada yang tahu apa yang terjadi di ruangan itu kecuali seorang pembantu yang tugasnya membersihkan ruangan. Bagi Hersey, suatu kehormatan besar bila tulisannya disunting oleh Harold Ross. Dalam sejarah The New Yorker, Ross dikenal sebagai editor paling teliti, halus, dan memberi nyawa bagi tulisan yang disuntingnya. Sampai pernah William Maxwell menulis kepada John Updike pada 1960, keduanya kontributor di majalah itu, “Sayang sekali jika kamu belum pernah mendapat catatan suntingan dari Ross.” Untuk bagian pertama tulisan Hersey saja, Ross memberi catatan dan koreksi sampai 47 buah. Setelah direvisi oleh Hersey, Ross masih memberi 27 catatan. Hingga revisi terakhir pun, Ross masih mencatat enam kalimat yang perlu diperbaiki Hersey yang akhirnya digubah sendiri oleh Ross.

Pada 31 Agustus 1946, The New Yorker yang hanya berisi tulisan Hersey beredar di pasaran. Tulisan lain hanya satu paragraf editorial yang mendahului artikel Hersey, berjudul “To Our Readers”:

The New Yorker this week devotes its entire editorial space to an article on the almost complete obliteration of a city by one atomic bomb, and what happened to the people of that city. It does so in the conviction that few of us have yet comprehended the all but incredible destructive power of this weapon, and that everyone might well take time to consider the terrible implications of its use.

Artikel Hersey mengalir dari halaman awal sampai akhir majalah, hanya disisipi satu ilustrasi abstrak dan tidak diinterupsi oleh newsbreak (gambar-gambar kecil) atau satu pun iklan. Agak unik dan mencengangkan memang, bahkan melanggar kebiasaan lay out The New Yorker yang tak pernah membiarkan halamannya hanya dipenuhi rumput tulisan tanpa gambar.

Toh begitu digelar di pasar pada hari pertama, majalah edisi tersebut langsung ludes terjual. Seorang pelanggan, sebagaimana dikutip Ben Yagoda dalam bukunya About Town, menulis ke The New Yorker, “no one talking about anything else but the Hersey article for the last two days, either in trains, restaurants, or at home.”

Majalah Time dan Herald Tribune sampai menulis editorial tentang artikel Hersey tersebut. Albert Einstein, sang penemu rumus atom, memutuskan untuk membeli 1.000 eksemplar edisi “Hiroshima” itu, tapi ia tak berhasil mendapatkan satu pun di lapak-lapak penjual majalah.

Pada malam 9 hingga 12 September 1946, radio ABC di Amerika dan BBC di Inggris menyiarkan pembacaan artikel Hersey selama setengah jam kali empat hari (total dua jam) tanpa diselingi iklan. Tak berapa lama, “Hiroshima” Hersey pun dicetak ulang dalam bentuk buku 90 halaman. Buku yang dijual dengan harga US$ 5,99 per eksemplar itu dengan segera menjadi best seller. Saturday Review of Literature, sebuah buletin yang fokus pada peningkatan mutu bacaan di Amerika Serikat, sampai menulis “Everyone able to read should read it.”

Sebetulnya di mana letak kekuatan reportase Hersey tersebut hingga menjadi masterpiece jurnalisme? The New York Times yang dikutip di sampul belakang buku menjawab, “Nothing can be said about this book that can equal what the book has to say. It speak for itself, and in an unforgettable way, for humanity.”

Tampaknya pengaruh William Shawn dalam proses mulai perencanaan reportase hingga penyuntingan artikel cukup besar menentukan hasil akhir karya Hersey. Jika suntingan Ross berkonsentrasi pada detail narasi artikel, maka suntingan Shawn menyusupkan napas humanisme dalam tulisan. Artikel “Hiroshima” itu sama sekali berbeda dengan reportase peristiwa-peristiwa perang lainnya. Tak ada jumlah korban disebut, tak ada soal teknis persenjataan maupun pesawat pembawa bom, pun tak ada keterangan tentang bom atom itu sendiri, meskipun Hersey sudah mengumpulkan semua data itu sebelum datang ke Hiroshima. Artikel ini hanya bertutur soal apa yang dialami oleh enam orang penduduk Hiroshima sebelum, saat, dan sesudah bom atom jatuh. Itu saja.

Namun dengan gaya jurnalisme sastrawi, artikel tersebut menjadi sangat menyentuh, sekaligus menjadi politis tanpa usaha memolitisasi sedikit pun. “Hiroshima” Hersey disebut-sebut dalam materi kuliah Nieman Fellowship di Universitas Harvard, Cambridge, telah menghentikan perdebatan antara politisi, agamawan, dan ilmuwan bom atom. Kesimpulannya uji coba bom atom selayaknya dihentikan. Sayangnya, dalam perang dingin yang kemudian bergolak antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, kesimpulan itu seolah menjadi suara dari padang gurun. Hanya sayup terdengar.


AWAL tahun 1947, Hatsuyo Nakamura menerima kiriman artikel “Hiroshima” dari John Hersey. Demikian juga dengan narasumber lain, baik yang menjadi sosok utama maupun sosok yang melintas dalam peristiwa yang dialami enam sosok utama itu. Nakamura mengirim kartu pos ucapan terima kasih kepada Hersey, tapi juga permintaan maaf karena ia tak bisa membaca artikel berbahasa Inggris tersebut.

Hersey merasa agak bersalah dan trenyuh. Ia berusaha mencari sponsor agar bukunya diterjemahkan dan ditulis dalam alfabet Jepang (hiragana, katakana, dan kanji), sehingga siapa pun orang Jepang bisa membaca tulisan ini.

Hersey tak menunggu lama. Random House, Inc. dan Alfred A. Knopf, Inc. mengalokasikan dana untuk penerjemahan dan penulisan dalam bahasa Jepang. Meski hak cipta ada di tangan Hersey, ia membebaskan siapa pun untuk mencetak edisi bahasa Jepang yang berjudul Hiroshima-shi. Setiap tahun menjelang peringatan jatuhnya bom atom pada 6 Agustus, buku ini dicetak ulang dan masih tetap saja banyak dibeli orang. Pidato upacara peringatan tiap tahun di lapangan Peace Memorial Park juga pasti selalu mengutip satu-dua kalimat tulisan Hersey.

Nakamura membeli satu buku Hiroshima-shi. Ia mengirim surat kepada Hersey bahwa anaknya, Toshio sangat terharu dan bangga dengan buku tersebut. Maklum, Hersey menutup buku itu dengan mengutip tulisan pekerjaan rumah yang dibuat Toshio untuk gurunya. Isinya tentang pengalaman Toshio sehari sebelum dan sesudah bom atom meledak.

Begini Toshio menulis, “Sehari menjelang bom, saya pergi berenang. Pada pagi hari bom, saya sedang makan kacang. Saya melihat cahaya berkilat. Saya terlempar ke dipan adik perempuan saya. Ketika kami selamat, yang saya lihat hanya reruntuhan sejauh mata memandang. Kami pergi ke lapangan. Angin berpusar kencang sempat sekali datang. Pada malam harinya sebuah tangki gas terbakar dan saya lihat bayangan apinya menjilat tercermin di permukaan sungai. Kami tidur di lapangan semalaman. Esoknya, saya pergi ke jembatan Taiko dan bertemu dengan dua teman perempuan saya, Kikuki dan Murakami. Mereka sedang kebingungan mencari-cari ibu mereka. Tapi setahu saya, ibunya Kikuki luka berat dan ibu Murakami, telah meninggal dunia.”

Pada Agustus 1985, keluarga Nakamura dicengangkan dengan kedatangan Hersey ke rumah mereka di Nobori-cho. Toshio yang membukakan pintu. Tapi berbeda dengan 39 tahun lalu, Toshio tidak lari. Ia hanya bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan orang kulit putih, dengan uban kelabu dan kacamata berbingkai hitam tebal di hadapannya itu.

“Watashi no namae wa John Hersey desu. Anata no namae wa…,” sapa John Hersey

Hatsuyo Nakamura berjingkat sigap, “Toshio, Toshio Nakamura. Aaa Jono Hereshi saaan…”

Perempuan lewat paroh baya itu hendak membungkuk hormat, namun John Hersey segera memeluknya. Toshio melihat muka ibunya bersemu merah.

Pada 6 Agustus 2002, muka Hatsuyo Nakamura tampak sedih mengenang pertemuan tersebut. Ia menunjukkan dua telegram yang lama disimpannya, satu tentang kematian suaminya Isawa Nakamura, dan satunya lagi berbunyi, “John Hersey died at home in Key West, Florida on March 24, 1993. He told me to inform you before. Regards, Barbara Hersey.”*

Di Sadur dari Blog Musthofa Bisri