Manggalo, Makanan ciri khas Suku Sakai terbuat dari ubi racun |
Oleh Herman
DARI simpang Intan, Muara Basung Duri, Kabupaten Bengkalis. Lewati jalanan masih ditimbun kerikil dan tanah merah.
Kiri kanan terhampar perkebunan karet. Selain itu, berjejer pipa-pipa minyak milik PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI).
CPI bertugas eksplorasi minyak di Riau. Dulunya bernama Caltex Pacific Indonesia. Para karyawan CPI ditempatkan di empat kota di Riau; Dumai, Duri, Minas dan Rumbai. Menurut Wikipedia, CPI juga perusahaan minyak kontraktor terbesar di Indonesia,
dengan produksi mencapai 2 miliar barrel.
Jauh masuk ke dalam dari Simpang Intan, sekitar 20 kilometer ada perkebunan sawit. Di sana berdiri pemukiman Desa Penaso, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis. Penduduknya sekitar 250 orang. Di desa ini masih terdapat keturunan suku Sakai dengan makanan khasnya Manggalo.
Manggalo terbuat dari ubi racun yang tumbuh liar di dalam hutan. Cara pembuatannya sederhana. Ubi racun dikupas lalu direndam di dalam air beberapa hari. Gunanya, saat diparut lebih lembut.
Lalu ubi dibersihkan. Selesai diparut dengan batang imeh—sejenis batang berduri, ubi dimasukkan ke dalam karung yang mudah mengeluarkan air, agar saat pemerasan lebih mudah. Lantas ubi diperas agar racunnya hilang.
Setelah itu disaring sehingga jadi butir-butiran halus seperti tepung. Terakhir di gongseng. Apinya tidak terlalu besar dan tak terlalu kecil supaya tak mudah hangus. Biasanya empat jam sudah bisa dimakan.
“Manggalo tahan beberapa bulan asalkan tidak kena air,” ujar Sampul, 45 tahun. Sampul warga Desa Penaso. Ia pembuat juga penjual Manggalo. Ia mengaku kesulitan dapatkan ubi karena hutan sudah tidak ada lagi. Kalaupun ditanam, kata Sampul, setahun baru bisa dipanen. “Dulu ubi itu tumbuh sendiri.”
Kini Manggalo semakin langka. Manggalo hanya dijual di sekitar kampung. “Ada yang dibawa keluar tapi sedikit. Harganya semenjak beras mahal, Manggalo pun ikut naik. Sebelumnya hanya Rp 5 ribu sekarang sudah Rp 10 ribu per kilonya,” kata Yosi, 26 tahun. Yosi tetangga Sampul. Manggalo, kata Yosi, lebih enak dinikmati dengan ikan salai Selais, gulai dan parutan kelapa ditambah gula.
SUKU Sakai, menurut Ensiklopedi Bengkalis, ditulis Tim Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan (P2KK) Universitas Riau, merupakan ras veddoid. Mereka bercampur dengan orang Minang Kabau yang datang bermigrasi sekitar abad ke-14 ke daerah Riau; tepatnya Gasib. Lalu dihancurkan kerajaan Aceh dan mereka melarikan diri ke hutan-hutan di sekitar daerah sungai-sungai Gasib, Rokan dan Mandau serta seluruh anak-anak sungai Siak.
Mengenai kata Sakai, cukup banyak rujukannya. W.J.S Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, menerangkan kata Sakai, sebagai nama suku bangsa di tanah Melayu, termasuk bangsa Negrito yang tidak berbahasa Melayu.
Ada juga yang mengartikan orang bawahan (yang diperintah) sama dengan hamba sahaya. Tetapi ada juga anggapan bahwa Sakai itu nama sungai di Mandau Kabupaten Bengkalis. Karena suku itu menetap di tepi sungai tersebut, maka mereka disebut orang atau suku Sakai.
Tidak ada data pasti mengenai jumlah orang Sakai. Data kependudukan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial RI terakhir menyatakan bahwa jumlah orang Sakai di Kabupaten Bengkalis sebanyak 4.995 jiwa.
BAGI Sampul, menjual Manggalo adalah mata pencarian. Pekerjaan ini turun temurun dari orang tuanya. Manggalo yang dihasilkannya kadang tak sempat dibawa ke tempat lain seperti Duri, Sebanga. “Di kampung sini aja sudah habis terjual,” kata Sampul.
Mengatasi kelangkaan, ubi racun mulai ditanam di ladang-ladang. Kadang Sampul cari ubi racun harus gunakan sampan. Karena, kata Sampul, lokasi yang cukup jauh dan melewati serta menyusuri sungai Penaso.
Manggalo merupakan makanan pokok masyarakat Suku Sakai. Di Abad 21, menurut buku Ensiklopedia Bengkalis, Suku Sakai berangsur hilang. Tapi masih ada beberapa keturunan. Mereka mulai banyak berbaur dengan masyarakat biasa. Pasalnya, Suku Sakai mulai mengenal pendidikan. Kehidupannya juga mulai menetap, tak lagi pindah dari sungai ke sungai.
Mereka juga sudah jarang konsumsi Manggalo jadi makanan pokok. Tapi di Desa Jiat, sekitar 15 kilometer dari Desa Penaso, mayoritas masyarakatnya masih berketurunan Suku Sakai dan konsumsi Manggalo jadi makanan pokok.
Manggalo awalnya ide kreatif Suku Sakai. Mereka makan apa saja yang ada di hutan. Lantas diolah. Makanya ubi beracun pun bisa dimanfaatkan. Ucok Syahputra, mahasiswa Universitas Riau keturunan Suku Sakai mengaku terbiasa makan Manggalo sejak kecil.
Kalau sehari apalagi seminggu tak makan Manggalo, kata Ucok, rasanya beda. Baginya Manggalo makanan tak bisa lepas darinya. Malahan di kosnya selalu ada. Rasanya, kalau tak terbiasa memang tak enak, apa lagi yang belum pernah cicipi. “Manggalo ini agak keras, ia agak lama dikunyah dalam mulut,” jelasnya.#