Selasa, 15 Mei 2012

Suluk Syekh Ibrahim

Bagaimana Syekh Ibrahim Membawa Suluk di Kabupaten Rokan Hulu.

Oleh Herman

 





















ADZAN magrib sore Senin pada Januari lalu, selesai berkumandang di surau Suluk Syekh Ibrahim. Letaknya, di Dusun Ngarai Desa Koto Tinggi Kecamatan Rambah, Rokan Hulu (Rohul), Riau. Jemaah dengan jubah putih mulai luruskan shaf petanda sholat di mulai. Selesai sholat dilanjutkan baca yasin bersama.


Surau berukuran 20 x 20 meter punya dua lantai. Didalamnya ditopang tiang penyangga sebanyak sepuluh batang. Di tengah, dibatasi dinding triplek tingginya dua meter lebih. Ini untuk memisahkan jamaah laki-laki dan perempuan. Dua buah tangga untuk kelantai atas. Satu untuk laki-laki dan satu lagi untuk perempuan. Putih mendominasi warna cat surau ini selain hijau. Di samping kiri dan kanann ada teras. Ada lorong penghubung tuju tempat wudhu.

Usai sholat Isya, sebagian jemaah laki-laki dan perempuan naik kelantai dua. Mereka lakukan tawajjuh; ritual saat lakukan Suluk. Tawajjuh artinya menghadapkan diri pada Allah SWT. Ritual tawajjuh ada dalam zikir atau menyebut nama Allah SWT. Selesai tawajjuh, semua jemaah makan bersama di rumah Suluk Syekh Ibrahim. Sekitar lima meter dari Surau.

Di Rumah Suluk, ada ruang tamu, luasnya 3 x 15 meter. Sebelah kiri untuk suluk laki-laki, kanan untuk perempuan. Tiap bilik dibatasi masing-masing sekitar 3x3 meter. Bangunan rumah suluk Syekh Ibrahim berbentuk O, tengah-tengahnya kosong, cuma ada taman. Bagian ujung tempat memasak para jemaah.

Malam itu, Suluk rutin tiap hari Senin, Selasa dan Kamis bagi jemaah Suluk Syekh Ibrahim. Peserta suluk datang Rambah Samo, Rambah Hilir dan Bangun Purba. Adirman, 38 tahun, salah satu jemaah surau Suluk Syekh Ibrahim. Ia masuk Suluk pada 2010. Kini ia telah enam kali ikut Suluk. 

“Mengenal suluk sudah sejak masih kecil. Orang tua saya dulu juga orang suluk. Istilahnya turun menurun,” katanya. “Alhamduliah selama masuk suluk, dapatkan ketenangan hati maupun pikiran.”

Hj Jaharni, 57 tahun, telah lima kali masuk Suluk. Baginya, selama Suluk, dihabiskan dengan berdzikir, tahlil, perbanyak sholat Sunah dan sholat lima waktu yang tak pernah ditinggalkannya. “Sejak surau ini di bangun saya baru dua kali ikut,” kata Jaharni. Jaharni tinggal di desa Nagori, Pasir Pangaraian. Pasir Pangaraian ibukota Rohul. Jaharni, dari rumah, cuma bawa pakaian dan tikar. “Semua kebutuhan lainnya sudah disediakan.”



SULUK adalah jalan mendekatkan diri pada Allah SWT. Bersuluk, artinya berusaha dengan sungguh-sungguh bersihkan diri rohani dan jasmani. Diyakini, setiap orang bersuluk akan jadi bersih dan tobatnya akan diterima Allah SWT. Suluk bisa dilakukan selama 10, 20 atau 40 hari. 

Ada beberapa tahapan wajib sebelum seseorang bersuluk. Dimulai dari Tarekat, mandi tobat dan shalat sunah. Lalu, mempelajari zikir dan memahami maksud dan arti bacaan. Selama bersuluk akan dibimbing Mursyid (guru pembimbing Suluk, red). Selama bersuluk, jemaah tak lepas dari wudhunya. Mereka senantiasa berzikir usai tunaikan salat lima waktu. Malamnya tidur dalam kelambu yang berukuran 1x2 meter.  

Bersuluk, jemaah tak dibenarkan makan makanan berdarah, seperti ikan, udang dan ayam. Juga susu. Hanya boleh konsumsi sayur-sayuran tanpa bumbu, selain garam dan cabe.  Ada empat bulan, kata Khalifah Ibnu Hajar, 68 tahun, Mursyid di surau Syekh Ibrahim,  pada penanggalan Hijriah, jadi waktu paling afdal bersuluk; Rabiul Awal, Zulhijah, Rajab, dan Ramadan.

Di Rokan Hulu, ada dua aliran tradisi Suluk; Suluk Basilam dan Suluk Kumpulan. Suluk Basilam berasal dari Basilam, Langkat, Sumatera Utara. Suluk Kumpulan dari Sumatra Barat. "Tidak ada perbedaan mencolok di antara keduanya. Intinya tetap mendekatkan diri kepada Allah SWT," kata Ibnu.

Data Pemda Rohul, pada 2011 ada 130 surau tempat bersuluk. Total jamaahnya sekitar 20.300 orang. Minimal, satu surau Suluk dihuni 70 jemaah laki-laki dan perempuan. Apalagi bulan Ramadhan, masyarakat lebih cenderung bersuluk. Hingga banyak masjid-masjid sepi jamaah. Ini juga yang jadi dasar Rohul disebut Negeri Seribu Suluk.



SULUK di Rohul tak lepas dari Syekh Ibrahim Alkholidi Naqsabandi. Ibrahim penganut Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah. Wikipedia menulis, tarekat ini mengistimewakan Abu Bakar as-Siddiq R.A, setelah Muhammad SAW. Mereka memeprcayai ucapan Muhammad SAW, “Tidak ada sesuatu pun yang dicurahkan Allah SWT ke dalam dadaku, melainkan aku mencurahkan kembali ke dalam dada Abu Bakar.”

Masih ditulis Wikipedia, Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah telah alami pergantian penyebutan beberapa kali. Periode Abu Bakar as-Siddiq sampai Tayfur ibn Isa ibn Surusyan al-Bistami dinamakan periode Shiddiqiah. Lalu, dari Tayfur hingga Khawajah Abdul Khalik Fajduani disebut Tayfuriah. Kemudian periode Khawajakaniah; dari Khawajah Abdul Khalik Fajduani ke Bahauddin Naqsyabandi. Setelah itu, barulah lahir Naqsyabandiyah dari periode Bahauddin Naqsyabandi sampai Nashiruddin Ubaidullah Al-Ahrar.

Ibrahim, seperti buku terbitan Humas Pemda Rohul, lahir di kampung Sebotih—sekarang Pasir Kota Baru Desa Koto Tinggi Kecamatan Rambah Rohul—pada 1840. Orang tuanya Ampu. Sejak kecil, Ibrahim mulai dalami Alquran dan Usul Fiqih.

Syekh Ibrahim punya dua orang istri; Raju dan Kidjam. Dari Raju, Ibrahim punya dua anak. Minu dan Kantou. Dari Kidjam lahir tujuh anaknya; Syakdiah, Bako, Mundai, Marid, Dirab, Menjo dan Abdul Rahman. Kesembilan anak Ibrahim, seluruhnya miliki minat untuk teruskan tarekat Naqsyabandiyah. Drs. H. Ahmad M.Si, Bupati Rohul sekarang, adalah cucu dari Menjo.   

Saat itu, Ibrahim juga bangun surau di Sebotih. Suaru beratap ijuk. Bangunan bertingkat. Surau itu diresmikan Tuan Putih dari Mekkah. Saat itu Syekh Ibrahim baru 40 tahun. Usai surau di Sebotih dibangun dan punya jemaah, Syekh Ibrahim bangun mesjid Payung Sekaki di Tanjung Belanti, Pasir Pangaraian Rokan Hulu—kini jadi Mesjid Raya Pasir Pangaraian. Di mesjid itu, Syekh Ibrahim sepuluh tahun jadi imam.

Merasa ilmu belum cukup, menurut buku Perkumpulan Partai Tarekat Islam (PPTI)—cetak di Bukittinggi pada 1920—Syekh Ibrahim seorang yang gigih  belajar Tarekat Naqsyabandiyah. Syekh Ibrahim pernah belajar di Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kalimantan, Malaysia bahkan sampai ke Mekkah. Melihat ketekunan itu, ia diangkat jadi Mursyid (guru pembimbing dalam Suluk, red) PPTI wilayah Pasir Pangaraian.

Mursyid punya kedudukan penting. Ia tak hanya pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriyyah sehari-hari agar tak menyimpang, tapi pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Ia adalah washilah (perantara) antara murid dengan Allah SWT.

Syekh Ibrahim wafat 1960, tepatnya 12 Dzulhijjah pada kalender Islam. Ia wafat diumur 120 tahun. Syekh Ibrahim dimakamkan di desa Nagori, Kota Pasir Pangaraian. Tapi setelah beberapa tahun, makamnya dipindahkan pada pemakaman umum dusun Nogori, desa Babussalam. Alasannya, alasan erosi sungai Batang Lubuh. Sebagai pengganti Syekh Ibrahim adalah Minu atau bergelar Kholifah Ibrahim Mudo, anak dari istri pertamanya Raju. Setelah Minu wafat pada 1977, Mursyid diteruskan anak Minu; Ibnu Hajar bergelar Khalifah Ibrahim.

Beberapa murid Ibrahim kini tersebar di Rokan Hulu. Syekh Mudo di Muaro Katogan, Khalifah Minu di Kampung Baru, Imam Suro di Kampung Nogori, Khalifah Baha di Tulang Gajah, Khalifah M.Nur di Pasir Jambu, Khalifah Shalih di MuaroTogan, Khalifah Mudo di kilometer 12, Khalifah Tuo Sebotih di Sebotih, Khalifah Mudo Ukad di Surau Tuo Sebotih, Khalifah Abdul Wahab di Surau Ubudiah, Khalifah Bahari atau H. Bakri di Surau M. Kutugun Kampung Nogori, Khalifah H. Ismail di Kampung Padang, Khalifah Tongak di Tanjung Belit, Khalifah Dahlan Dugog di Babussalam.



KEMBALI ke Surau Suluk. Awalnya Surau Suluk Syekh Ibrahim terletak di Kampung Nogori, tepi Batang Lubuh. Kini sudah berada di tengah akibat erosi sungai. Lantas surau dipindahkan ke desa koto Tinggi—sekarang suraunya telah berada ditengah sungai Batang Lubuh akibat erosi sungai—persis dibelakang rumah anaknya Hj. Menjo. Kemudian, barulah surau ini di pindahkan di desa Koto Tinggi Kecamatan Rambah.

Saat Bupati Rohul dijabat Achmad M.Si, dibangun lagi sekitar lima ratus meter dari temapt semula. Masuk ke dalam sekitar dua ratus meter dari jalan utama. Surau Suluk Syekh Ibrahim diresmikan April 2010 oleh Pimpinan Pusat Tarikat Naqsabandi Nasional dari Jakarta; K.H Makhtub Efendi MA. Sekarang surau ini menjadi Surau Suluk induk di Kabupaten Rokan Hulu.#