Selasa, 15 Mei 2012

Ukiran rumah Rantau Bais tak lepas dari kreasi orang Cina. Jauh sebelumnya Tambusai pernah di Rantau Bais

Oleh Herman

 .

DARI PEKANBARU lewati Jalan Lintas Sumatera UtaraRiau sekitar tiga jam, kami tiba di kota Duri.Tujuan kami ke Desa Rantau Bais, Rokan Hilir.
Letaknya sebelum Jalan Ujung Tanjung, Bagan Siapi-api, Rokan Hilir.
Sepanjang jalan hanya pohon sawit dan pipa minyak Chevron Pasifik Indonesia yang tampak: Rumbai-Minas-Duri-Dumai—memang pusat pengeboran minyak PT Chevron.



Jalan menuju Rantau Bais tak begitu lebar, hanya cukup dilintasi dua sepeda motor dari arah berlawanan. Awalnya jalan mulus beraspal. Na-mun setelah dua kilometer, kami harus lewati tumpukan tanah merah.

Desa Rantau Bais terletak di pinggir Sungai Rokan. Sungai ini bermuara ke Selat Malaka. Hulunya sampai ke Pasaman, Su-matera Barat. Rantau Bais termasuk Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir. Sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Ujung Tanjung, Bagan Siapi-api. Sebelah Selatan dengan Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis. Sebelah Barat berbatasan dengan Sedinginan dan Sebelah Timur berbatasan dengan Kepeng-huluan Munggo Tanah Putih.



SEKITAR 6 anak lelaki bersama seorang lelaki berusia 40-an bermain tangkap bola di pinggir sungai Rokan. Air sedang pasang sore itu (15/12).

Persis di depan mereka bermain tangkap bola, berdiri sebuah rumah tradisional melayu. Rumah panggung bercat kuning pudar. Rumah dari kayu beratap seng. Enam jendela rumah dan pintunya tertutup. Satu sepeda motor Supra terparkir di dekat rumah. “Ukiran-ukiran di atap itu yang menggambarkan ini rumah tradisional,” kata H. Khalifah Muhammad Khotib.

Semua penduduk Desa Rantau Bais kenal dengan H. Khalifah Muhammad Khotib. Ruslan—sapaan akrabnya—kelahiran Rantau Bais. Kini usianya 65 tahun. Ia salah satu tokoh masyarakat.

“Sekarang rumah tradisional begini tidak sampai 10 lagi,” ujar Ruslan. Dulu jumlahnya 18 buah. Beberapa sudah rusak dimakan usia. “Dibangun lagi tapi bukan rumah tradisional. Rumah semi permanen,” jelas Ruslan. Mau bangun rumah tradisional, “Bahannya sudah langka, apalagi ukirannya. Gak ada lagi yang bisa buatnya.” 

Rumah tradisional kedua yang kami jumpai tak berapa jauh dari rumah bercat kuning pudar. Persis di sebelah rumah Ruslan. Namun kon-disinya sudah tak layak huni. Dindingnya warna kayu asli yang sudah pudar, sebagian atap sudah miring. “Kalau kena angin, rumahnya goyang. Tiang penyangganya sudah tidak kuat,” ujar Ruslan. Rumah ini pun tak berpenghuni lagi. “Ahli warisnya sudah pindah ke tempat lain.”

Di tem-pat lain, rumah panggung Darwani, 54 tahun, juga masih tradisional. Ada tiga bagian. Bagian utama disebut anjungan untuk terima tamu. Dua bagian lagi di sisi kiri dan kanan. Ada lima anak tangga yang mesti dinaiki sebelum menuju pintu utama. Di anjungan ada dua jendela setinggi dua meter. Di sisi kiri dan kanan masing-masing satu jendela dengan tinggi yang sama. Jendela terdiri dari dua daun pintu dengan terali. Separuh terali dari besi, separuhnya lagi dari kayu berukir.

Rumah tradisional ini penuh ukiran dengan motif berbeda. Ventilasi jendela, pintu, cucuran atap, serta pepao penuh ukiran. Pepao adalah tempat menyimpan barang di bawah plafon rumah.

Luas seluruh rumah sekitar 5 x 9 meter. “Dulu kamar di sisi kiri rumah, sekarang pindah ke sisi kanan,” kata Darwani. Di dalam kamar ada meja batu berkaki satu dan tempat tidur dari besi. Umurnya seusia rumah. Dapurnya sudah empat kali ganti.

“Usia rumah ini lebih dari 130 tahun. Sejak nenek saya kecil sudah di sini,” cerita Darwani. Kondisi rumah memang sedikit goyang. “Memang terasa agak goyang, tapi gak jatuh kok,” kata Darwani. Menurut Ruslan, rata-rata rumah tradisional di Rantau Bais sudah berusia ratusan tahun. Setiap rumah tradisional ditopang oleh 12 tiang penyangga.



RANTAU BAIS masuk jajahan Belanda. Tuanku Tambusai adalah orang yang getol mengusir penjajah, termasuk di daerah Rantau Bais. Ia berjuang antara tahun 1820-1839. Guna mempertahankan diri dari jajahan Belanda, Tuanku Tambusai mendirikan benteng pertahanan, dari Mandailing hingga Dalu-dalu. Menurut buku Riwayat Perjuangan Tuanku Tambusai karangan Umar Ahmad Tambusai tahun 1970, untuk mendirikan benteng pertahanan terakhir, Tambusai meninggalkan Mandailing dan pergi ke Dalu-dalu, kampung halamannya.

Masih menurut buku ini, Dalu-dalu berlokasi di hilir Batang Sosah—lokasinya tidak sama dengan Dalu-dalu sekarang. Batang Sosah adalah salah satu cabang dari Sungai Rokan. Dinamakan Dalu-dalu karena di pinggir Batang Sosah banyak tumbuh pohon dalu-dalu. Bahkan prajurit-prajurit Tambusai, usai perang Paderi melawan Belanda, ada yang menetap di Rokan Tengah (Kecamatan Tanah Putih)—kini lokasi Desa Rantau Bais.

Tambusai bertempur dengan Belanda mulai dari Padang Lawas (Mandailing, Tapanuli Selatan), Siminabun dan Portibi, Kota Pinang dan Gunung Intan, hingga pertempuran terakhir di Dalu-dalu.

Ada empat benteng pertahanan yang didirikan di Dalu-dalu: Kubu Talikemain, Kubu Baling-baling, Kubu Gedung, dan Kubu Aur Duri.

Dalam pertempuran itu hanya Kubu Aur Duri tak dapat dikuasai Belanda. Belanda saat itu dipimpin Michiels. Belanda mengundurkan diri ke Sumatera Barat. Saat itu April 1838.

Hampir sebulan Belanda tak lagi menyerang pertahanan Tambusai. Barulah pada Mei 1839, Belanda kembali menyerang Dalu-dalu. Terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Tambusai. Sampai hari ke-20, Belanda berhasil menguasai seluruh benteng tujuh lapis Aur Duri tersebut.

Banyak korban berjatuhan, baik dari pihak Belanda maupun prajurit Tambusai. Betapa marahnya Michiels ketika tak menemukan mayat Tuanku Tambusai dari gelimpangan mayat di benteng tersebut. Beberapa serdadu Belanda cerita Tambusai melarikan diri ke Batang Sosah dengan menaiki sampan. Beberapa serdadu sudah menembak, sampan terbalik dan Tambusai terjun ke dalam air. Di-tunggu beberapa saat, Tambusai tak juga muncul, sehingga para serdadu menyimpulkan Tambusai tenggelam ke dalam air Sungai Rokan.

Namun cerita menurut catatan Abdul Qohhar yang dijadikan rujukan penulisan buku Riwayat Perjuangan Tuanku Tambusai, Tambusai belum mati. Abdul Qohhar adalah salah satu perwira tinggi Tuanku Tambusai. Saat terjun ke dalam air, Tambusai berenang menuju sampan terdekat. Ada banyak sampan yang membawa Tambusai beserta rombongannya ke Batang Sosah.

Tiba di Batang Sosah. Sebagian rombongan menetap di Rokan Tengah (Kecamatan Tanah Putih). Para pengungsi ini membuka perkampungan baru. Maka lahirlah kampung-kampung di sepanjang Rokan Tengah, antara lain Ujung Tanjung, Rantau Bais, Sedinginan, Teluk Mega, Sintung Sekeladi, Rantau Koar, dan lain-lain. Sementara itu, Tuanku Tambusai menyeberang ke Semenanjung Melaka (Malaysia). Ia bersama isteri dan seorang puterinya menetap di sebuah kampung kecil Sembilan Batu dari Resah, Seremban, dalam negara bagian Negeri Sembilan, Malaysia.

Tuanku Tambusai yang bernama asli Muhamad Saleh menghabiskan sisa hidupnya dan dimakamkan di sana.



KEMBALI KE rumah tradisional di Rantau Bais. Menurut Ruslan, rumah-rumah ini baru dibangun sekira tahun 1934. Tukangnya dari Singa-pura dan Malaysia.

Biaya bangun rumah, kata Ruslan, didapat masyarakat dari Kopun; uang pengganti yang diberikan Belanda setelah ditukar dengan pohon karet milik rakyat.

“Nah orang Melayu kita ini kan pintar,” sebut Ruslan. Maksud Ruslan, kebiasaan orang Melayu dulu suka berpindah rumah. Sehingga pohon karetnya rata-rata tak hidup. Namun di celah-celah karet tumbuh mahang. Mahang adalah kayu bergetah mirip pohon karet.

“Dikaplinglah mahang itu. Belanda kira karet, makanya kita dapat banyak uang dari Belanda,” cerita Ruslan. Uang itulah yang dipakai untuk bikin rumah beserta ukirannya. “Ahli ukirnya orang Cina,” katanya.

Masyarakat Tionghoa (Cina) pada mulanya datang ke Bagansiapi-api—sekitar dua jam perjalanan darat dari Rantau Bais. Diduga orang Tionghoa tersebut yang mengukir rumah tradisional di sini. “Mungkin ada juga didatangkan dari Singapura atau Malaysia,” kata Ruslan.

Menurut situs bagansiapiapi.net, pada mulanya sekelompok masyarakat, sekitar 18 orang, datang ke Bagansiapi-api untuk meningkatkan kualitas hidup. Mereka menyeberangi lautan dengan kapal kayu sederhana dari Propinsi Fujian, Cina.

Saat menyeberangi lautan pada suatu malam, mereka melihat sebuah cahaya samar-samar. Mengira itu adalah daratan, mereka mengikuti arah cahaya hingga tiba di daratan Selat Malaka. Mereka mendapat banyak ikan laut dan menangkapnya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Lantas mereka bertahan hidup di sana. Merasa menemukan tempat tinggal yang baik, ke-18 orang tadi mengabari sanak famili di Tiongkok untuk datang ke Bagansiapi-api.

Rumah tradisional melayu di Rantau Bais berfungsi sebagai rumah biasa, tempat tinggal anggota keluarga. Bila rumahnya milik kepala suku, ia akan dijadikan tempat berkumpul dan musyawarah. Kalau pemiliknya meninggal, rumah akan diwariskan ke anak perempuan. “Adat Melayu sini hampir sama dengan Minang. Sukunya menurut ibu atau matrilineal,” kata Ruslan. Menurutnya, dari situ timbul istilah rumah adat.

Uniknya, bila pemilik rumah punya empat anak perempuan, di setiap sudut rumah akan ada ke-lambu. Satu anak satu kelambu. Bila rumah sudah penuh, baru boleh bikin rumah lain.”Kata pepatah pucuk paku pucuk belimbing, tempurung dilengang-lengangkan, anak dipangku, kemanakan dibimbing, kampung halaman di pertengahkan.”

Dapur terpisah dari rumah. Ada jembatan bila hendak ke dapur. Alasannya sederhana, “Agar asap memasak tak sampai ke rumah,” kata Ruslan. 

Nama Rantau Bais sendiri diambil dari nama pohon. Bais adalah nama pohon, bentuknya seperti pohon pinang. Bedanya, Bais dari batang hingga pelepah berduri. Rantau bais ada 400 kepala keluarga, mata pen-caharian penduduk sebagian besar petani kelapa sawit dan nelayan.

Mata pencaharian nelayan karena desanya terletak di pinggir Sungai Rokan. Selain mencari ikan, Sungai Rokan juga dijadikan tempat mencuci baju bagi masyarakat Desa Rantau Bais.#lovina