Untuk Luh Putu Ernila Utami di Bali,
Aku tidak menulis makalah
saat aku membawakan sesi soal menulis itu. Minggu lalu, aku mulanya
mengira sesi itu akan dilakukan dengan format kecil, 10-15 orang, dengan
diskusi hangat dan suasana temaram. Ternyata pesertanya 40-an orang
dengan ruang besar, meja raksasa, kursi berlengan, serta kebisingan
jalan tol.
Intinya, aku cuma mengajak para peserta, para aktivis
itu, berpikir ulang soal bagaimana mereka bisa menulis yang menarik
sekaligus mendalam.
Aku tahu banyak dari kalian punya pengalaman
dahsyat. Dari bikin demonstrasi anti kabel listrik voltage tinggi hingga
pemogokan angkutan umum. Dari Bali sampai Maumere, dari Salatiga sampai
Makassar. Ini semua bahan-bahan menarik untuk diceritakan.
Kalian
melawan polisi. Kalian melawan bupati. Kalian melawan partai. Kalian
bahkan ada yang melawan negara. Aduh, itu cerita berminyak untuk ditulis
gurih dan diceritakan renyah untuk orang lain. Pramoedya Ananta Toer
dalam Khotbah dari Jalan Hidup mengatakan, "Orang boleh pandai
setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam
masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
Ada dua syarat sederhana bila kau ingin ingin "bekerja untuk keabadian": kau harus tahu dan kau harus berani.
Kau
harus benar-benar menguasai isu yang kau tulis. Janganlah kau menulis
soal "peningkatan sumber daya manusia dan ekonomi masyarakat" atau
"globalisasi dalam kaitannya dengan Pancasila serta Islam" dan
sebagainya. Kata-kata itu cuma jargon.
Kau jangan membebek orang
lain menulis. Mereka sok pinter. Mereka sering tak tahu
perdebatan-perdebatan yang sudah dilakukan orang-orang macam Michael
Sandel dan Thomas Friedman soal globalisasi. Mereka tak tahu kebohongan
Muh. Yamin atau Nugroho Notosusanto dengan apa yang dinamakan Pancasila.
Ada ratusan teori soal demokrasi dan mereka belum baca tuntas semuanya.
Pakai kata-kata sederhana. Kalimat pendek-pendek.
Lebih baik kau
tulis masalah sehari-hari. Penyair Widji Thukul menulis masalah
sehari-hari bila memulai syairnya. "Tadinya aku pengin bilang: aku butuh
rumah tapi lantas kuganti dengan kalimat: setiap orang butuh tanah.
Ingat: setiap orang!" tulis Thukul dalam Tentang Sebuah Gerakan.
Sederhana sekali.
Kalau
kau mau "tahu" maka kau harus bikin riset. Kau harus baca buku. Kau
harus wawancara orang. Minta izin bila hendak mengutip omongan orang.
Harus jujur. Harus transparan. Kau tulis masalah listrik naik di subak
kau. Kau tulis soal kesulitan tetangga kau si tukang jahit. Kau tulis
tentang orang-orang biasa. Esensi jurnalisme adalah verifikasi. Semua
keterangan itu harus kau saring. Carilah kebenaran.
Mulailah dari
hal kecil. Kelak tanpa sadar kau akan baca makin banyak buku. Kau akan
wawancara ribuan orang. Kelak tanpa sadar kau bisa menulis soal
kebohongan dan kejahatan para petinggi negeri kita.
Tetapi "tahu"
saja tidak cukup. Kau harus punya keberanian, punya nyali untuk
menyatakan pikiran kau. Pramoedya dan Thukul adalah orang berani. Pram
dipenjara Belanda, Soekarno dan Soeharto. Perpustakaan Pram dibakar
tentara. Bukunya habis. Kupingnya budek gara-gara hajaran serdadu.
Thukul bahkan diculik dan hilang hingga hari ini.
Mereka tahu kesusahan si tukang jahit atau si jongos. Mereka berani pula menulis untuk membela si kecil.
Menulis
adalah "laku moral." Kita bicara soal kebenaran. Kau harus berani
menyatakan kebenaran. Aku kenal banyak wartawan di ibukota negeri ini.
Mereka tahu soal kebusukan petinggi negeri ini. Mereka tahu redaktur
mereka mulai sering ditelepon bedinde-bedinde si petinggi. Kok nulis
ini? Kok nulis itu? Tapi mereka tak punya keberanian. Mereka takut
bisnis mereka terganggu. Maka "himbauan" si bedinde diikuti.
Akibatnya,
banyak cerita di belakang layar yang tak ditulis di negeri ini. Kau
maklum saja. Mereka tak punya keberanian macam Pram atau Thukul. Mereka
lebih takut ditegur redakturnya. Mereka ketakutan macam anjing sembunyi
ekor di balik pantat.
Jadi, kalau kau mau menulis, hanya dua syarat sederhana. Kau harus tahu sekecil apapun yang kau tulis. Kau harus berani.
Itulah
inti dari sesi pelajaran menulis di Jakarta minggu lalu. Aku harap
surat kecil ini membantu kau memahaminya. Terima kasih karena kau sudah
rela sedia tenaga mengambil makanan untuk rekan-rekan kau.
Dari Blog Mas Andreas