" Lucunya, ketika Mallarangeng lagi laris dimintai komentar sebagai
"pengamat politik," Mallarangeng juga jadi juri sebuah lomba kecantikan.
Pesertanya cantik-cantik dan molek-molek. Saya sempat nonton di
televisi dan bertanya-tanya, “Apa relevansi Mallarangeng untuk dinilai
layak jadi juri kecantikan?”
MAJALAH Trust memberi gelar
“pengamat media” kepada saya. Dan saya sangat keberatan. Dasarnya, ada
ketidakjelasan, yang sangat mengganggu, dalam praktek jurnalisme di
Indonesia ketika media memakai kata "pakar" atau "pengamat" atau
"pemerhati." Apa syarat seseorang sehingga disebut, atau menyebut
dirinya sendiri, "pengamat sosial politik"? Apa kriteria seorang
"pemerhati budaya"? Bagaimana prosedur kerja seorang pengamat?
Bayangkan,
seorang yang bergelar “pemerhati masalah internasional” artinya dia
bekerja setiap hari, setiap jam, setiap menit, dengan memperhatikan
masalah-masalah dunia! Saya kadang nakal berpikir. Apa beda pekerjaan
seorang pengamat dengan Tuhan Yang Maha Mengamati?
Alifian
Mallarangeng (sering disebut dengan gelar bangsawan Bugis "Andi
Mallarangeng") digelari "pakar ilmu politik." Media menyebutnya “pakar”
setiap kali mereka minta komentar Mallarangeng. Mengapa tak menyebut
Mallarangeng seorang politikus walau dia ikut partai, bahkan
gonta-ganti, dan belakangan jadi juru bicara Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Juru bicara ini jabatan politik juga.
Lebih relevan
kalau disebutkan Mallarangeng dapat Ph.D dari Northeastern Illinois
University di Amerika Serikat dengan thesis tertentu. Ketika kembali di
Jakarta, dia jadi dosen di sebuah kampus Jakarta sambil memimpin
Partnership for Governance Reform in Indonesia --sebuah lembaga dana
yang disponsori negara-negara Eropa. Mallarangeng tak pernah melakukan
riset apapun sejak mendapatkan doktornya. Ini tabiat kebanyakan doktor
kita. Mereka tak bikin penelitian hingga ilmunya kurang berkembang.
Lucunya,
ketika Mallarangeng lagi laris dimintai komentar sebagai "pengamat
politik," Mallarangeng juga jadi juri sebuah lomba kecantikan.
Pesertanya cantik-cantik dan molek-molek. Saya sempat nonton di televisi
dan bertanya-tanya, “Apa relevansi Mallarangeng untuk dinilai layak
jadi juri kecantikan?”
Kalau logika media Indopahit diterapkan di
sini, artinya Mallarangeng bisa juga disebut sebagai "pakar kecantikan"
atau "pengamat perempuan"?
Tapi khan lucu! Atau disebut label "pakar wanita."
Nah lho!
Apa Vitria Cahyaningsih, isterinya Mallarangeng, tak sewot suaminya yang ganteng dan berkumis tebal itu disebut “pakar wanita”?
Contoh
lain. Suatu saat sebuah majalah berita mewawancarai seorang doktor
sebagai "pengamat LSM." Dia dimintai soal penyaluran dana-dana
organisasi internasional ke berbagai organisasi nirlaba Indonesia. Si
doktor ini pernah memimpin sebuah organisasi Amerika Serikat di Jakarta.
Susahnya, majalah itu tak tahu bahwa doktor ini sebenarnya masuk daftar
hitam beberapa lembaga donor karena kurang becus mengelola organisasi
tersebut.
Masih banyak contoh lain. Tapi inilah yang membuat saya
sangat keberatan ketika majalah Trust memberi label "pengamat media”
kepada saya.
Expert dan Observer
Pemakaian
keterangan “pengamat” atau “pakar” meniru dari istilah "observer" atau
"expert" pada sebagian media berbahasa Inggris. Label-label ini dipakai
sebagian media Barat pada zaman Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok
Komunis.
Saat itu kebanyakan wartawan Barat sulit menembus
negara-negara sosialis, termasuk Uni Soviet dan Tiongkok. Sebagai ganti,
mereka mewawancarai orang-orang yang tinggal di perbatasan, yang
kerjanya mencatat siaran radio negara sasaran, lantas bikin newsletter.
Mereka lantas disebut “pengamat.”
Seorang di antaranya adalah
seorang pastor Serikat Jesuit bernama Lazlo Ladany. Dia kelahiran
Hungaria tahun 1914. Pada usia 22 tahun Ladany menjadi calon imam
Katholik di Budapest. Pada 1939, Serikat Jesuit mengirim Ladany ke
Beijing dan belakangan dipindah ke Shanghai. Pada 1949, ketika Mao
Zhedong dari Partai Komunis Tiongkok menguasai Tiongkok, Mao mengusir
semua misionaris Barat.
Ladany dipindahkan ke Hong Kong, sebuah
koloni Inggris. Dia diberi kantor di sebuah kampus. Selain mengurus
mahasiswa, kerja utama Ladany adalah mendengarkan siaran radio Beijing,
dan belakangan menonton televisi, dalam bahasa Mandarin, dari Beijing.
Pastor Ladany mulai menerbitkan mingguan China News Analysis
pada 1953. Tujuannya, membantu jaringan misionaris Katholik di seluruh
dunia mengikuti perkembangan dalam negeri Tiongkok. Menulis dan
menyunting China News Analysis menjadi pekerjaan Ladany selama 30 tahun.
China News Analysis jadi bacaan
wajib banyak kantor kedutaan, kantor pemerintah dan beredar di 48
negara plus Tiongkok sendiri. Wartawan-wartawan Barat, yang dilarang
masuk Tiongkok, banyak yang menjadikan Hong Kong basis mereka. Mereka
mengandalkan Ladany untuk jadi sumber liputan.
Pada 1966, Robert
Shaplen dari majalah The New Yorker menyebut Ladany sebagai “China
watcher” atau “pemerhati China.” Ladany sering muncul dalam berbagai
pemberitaan media Barat. Ladany menulis beberapa buku, termasuk Law and Legality in China: The Testament of a China-Watcher.
Ketika meninggal dunia pada 1990, Associated Press menyebut Pastor
Ladany sebagai orang yang berjasa “membuka” Tiongkok kepada media Barat.
Ladany
digunakan sebagai nara sumber karena wartawan-wartawan Barat tak bisa
masuk ke Tiongkok. Prinsip urutan sumber jadi penting sekali disini.
Bila wartawan-wartawan itu bisa langsung tembus ke sumber-sumber utama,
Ladany tentu tak relevan. Salah satu esensi dari verifikasi adalah tekad
wartawan mencari sumber-sumber primer.
Ketika Uni Soviet runtuh
dan Tiongkok merangkul kapitalisme, wartawan-wartawan Barat dengan mudah
membuka kantor biro di Moscow maupun Beijing. Mereka bisa langsung
wawancara sumber-sumber pertama. Peranan orang-orang macam Ladany
menyurut. Label "pengamat" atau "pakar" tak diperlukan kalau si wartawan
bisa menembus sumber-sumber berita atau lingkaran-lingkaran sumber
hingga lingkaran paling dalam.
Acheh, Papua, Maluku dan Timor
Leste praktis daerah-daerah yang cukup terbuka di Indonesia. Mereka
merasa bukan bagian dari bangsa Indonesia. Mereka ingin merdeka dari
kolonialisme Indonesia. Pada zaman Soekarno, Soeharto maupun
pasca-Soeharto, daerah-daaerah panas itu terkadang masih ditutup untuk
wartawan. Namun saya tak pernah mendengar istilah “pengamat Papua” atau
“pemerhati Maluku Selatan.” Siapakah “pakar Acheh” di Jakarta? Rasanya
tidak ada pula bukan? Jadi buat apa mewawancarai pengamat-pengamatan
itu?
Pada awal 2002, majalah Tempo menurunkan laporan “Theys
Dibunuh: Dua Jenderal Terlibat” dan “Mengapa Kopassus Tersesat”. Tempo
menurunkan dugaan ada dua orang jenderal mendalangi pembunuhan pemimpin
rakyat Papua Theys Eluai. Tempo tak menyebut siapa nama dua orang
tersebut. Persoalannya, tuduhan itu hanya berasal dari seorang
“pengamat militer” bernama Kusnanto Anggoro dari Center for Strategic
and International Studies di Jakarta.
Febry Arifmawan, seorang
wartawan mahasiswa Universitas Islam Indonesia, menulis, “Kalau boleh
saya nilai, Kusnanto disini posisinya adalah sebagai pengamat (nara
sumber ketiga), namun dijadikan titik pijak Tempo dalam membuat fokus
laporan.” Arifmawan menganggap pilihan itu punya resiko.
Memang
ada surat pembaca yang mengecam Tempo karena tuduhan itu. Saya juga tahu
laporan-laporan itu menciptakan debat internal dalam Tempo. Saya setuju
dengan Arifmawan bahwa laporan itu tak memenuhi standar dasar
jurnalisme. Sumber-sumbernya anonim dan tuduhan terbuka hanya dari
Kusnanto Anggoro, seseorang yang tak mengalami dan tak melihat sendiri
peristiwa itu.
Bagaimana cara memberi keterangan pada komentator?
Saya
pernah menulis untuk Courier, sebuah majalah multibahasa dari Paris,
yang diedit dengan rapi sekali. Mereka punya saran yang bagus. Kalau
saya minta seorang akademikus atau seorang politikus memberi komentar
atas suatu isu, pertama, mereka minta saya memperhatikan apakah
pekerjaan dan penelitian si sumber relevan dan berbobot untuk komentar
itu. Bobotnya bisa dilihat dari karya akademik mereka. Atau kalau
seorang politikus, dilihat dari reputasi dan integritasnya. Kedua, tanpa
memberi gelar pemerhati atau apapun, cantumkan saja karya orang itu
dalam laporan Anda, atau setidaknya, cantumkan afiliasinya.
Jadi
tak ada istilah "pakar politik" atau "pemerhati hukum kriminal." Tetapi
Courier membuat standar. Misalnya, Benny Giay disebut dosen Sekolah
Tinggi Teologi Walter Post di Jayapura. Atau Benny Giay dari STT Walter
Post, yang pernah menulis buku Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah
Papua. Bisa juga disebut Giay mendapatkan Ph.D dari Vrije Universiteir,
Amsterdam, dengan thesisi soal ini dan itu.
Kalau definisinya
gamblang, pembaca akan bisa menilai sendiri, seberapa besar bobot si
sumber dan seberapa relevan disiplin si sumber dalam mengkaji apa yang
dianggap sebagai keahliannya. Unsur transparansi sangat penting sehingga
kalau ada conflict of interest antara pribadi si sumber dengan isu yang
dibicarakannya, pembaca, pendengar atau pemirsa, juga bisa menilai
sendiri.
RRI pernah mewawancarai Budi Harsono, dengan sebutan
"seorang pengamat militer" tentang bantuan Amerika US$51 juta kepada
polisi dan tentara Indonesia. RRI menyebut bahwa Harsono juga mantan
ketua fraksi militer di parlemen --artinya dia juga seorang jenderal.
RRI juga menyebut Harsono sekretaris jenderal Partai Golongan Karya. RRI
cukup gamblang sehingga pendengar tahu siapa Harsono itu. Namun RRI
keliru menyebutnya dengan "pengamat." Harsono adalah pemain dalam
lapangan ini. Budi Harsono seorang tentara-cum-politikus. Budi Harsono
bukan seorang Lazlo Ladany di Hong Kong, yang tak pernah menjabat apapun
dalam struktur negara Republik Rakyat Tiongkok.
Benedict
Anderson dari Universitas Cornell misalnya. Terkadang Anderson disebut
sebagai "pakar nasionalisme " karena menulis buku Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism.
Buku ini termasuk karya klasik bagi orang yang belajar nasionalisme.
Saya berani bertaruh Anda hanya akan jadi tertawaan orang bila bicara
soal kebangsaan namun tak pernah membaca Imagined Communities.
Anderson tak pernah ikut partai apapun. Anderson tak pernah jadi juru
bicara presiden. Pekerjaannya hanya sebagai ilmuwan. Cocok kalau
Anderson disebut "pakar" namun ia masih harus ditambah judul bukunya.
Salah
satu elemen dasar jurnalisme adalah transparansi. Memberikan keterangan
sejelas-jelasnya pada seorang kolumnis atau seorang sumber akan
membantu pembaca, pendengar atau pemirsa untuk menilai kredibilitas si
kolumnis atau si sumber.
Rekan saya dari majalah Pantau, Agus
Sopian, yang dulu sering membanggakan pacar-pacarnya yang cantik, suatu
hari menulis, “Dulu saat menulis kolom seks dan orgasme, saya
mencantumkan label ‘Playboy’ ehhh malah diganti jadi "Playgroup." Asem!”
Di Sadur dari Blog Mas Andreas Harsono