Selasa, 24 April 2012

Pakar, Pengamat dan Pemerhati?

" Lucunya, ketika Mallarangeng lagi laris dimintai komentar sebagai "pengamat politik," Mallarangeng juga jadi juri sebuah lomba kecantikan. Pesertanya cantik-cantik dan molek-molek. Saya sempat nonton di televisi dan bertanya-tanya, “Apa relevansi Mallarangeng untuk dinilai layak jadi juri kecantikan?”

MAJALAH Trust memberi gelar “pengamat media” kepada saya. Dan saya sangat keberatan. Dasarnya, ada ketidakjelasan, yang sangat mengganggu, dalam praktek jurnalisme di Indonesia ketika media memakai kata "pakar" atau "pengamat" atau "pemerhati." Apa syarat seseorang sehingga disebut, atau menyebut dirinya sendiri, "pengamat sosial politik"? Apa kriteria seorang "pemerhati budaya"? Bagaimana prosedur kerja seorang pengamat?


Bayangkan, seorang yang bergelar “pemerhati masalah internasional” artinya dia bekerja setiap hari, setiap jam, setiap menit, dengan memperhatikan masalah-masalah dunia! Saya kadang nakal berpikir. Apa beda pekerjaan seorang pengamat dengan Tuhan Yang Maha Mengamati?

Alifian Mallarangeng (sering disebut dengan gelar bangsawan Bugis "Andi Mallarangeng") digelari "pakar ilmu politik." Media menyebutnya “pakar” setiap kali mereka minta komentar Mallarangeng. Mengapa tak menyebut Mallarangeng seorang politikus walau dia ikut partai, bahkan gonta-ganti, dan belakangan jadi juru bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Juru bicara ini jabatan politik juga.

Lebih relevan kalau disebutkan Mallarangeng dapat Ph.D dari Northeastern Illinois University di Amerika Serikat dengan thesis tertentu. Ketika kembali di Jakarta, dia jadi dosen di sebuah kampus Jakarta sambil memimpin Partnership for Governance Reform in Indonesia --sebuah lembaga dana yang disponsori negara-negara Eropa. Mallarangeng tak pernah melakukan riset apapun sejak mendapatkan doktornya. Ini tabiat kebanyakan doktor kita. Mereka tak bikin penelitian hingga ilmunya kurang berkembang.

Lucunya, ketika Mallarangeng lagi laris dimintai komentar sebagai "pengamat politik," Mallarangeng juga jadi juri sebuah lomba kecantikan. Pesertanya cantik-cantik dan molek-molek. Saya sempat nonton di televisi dan bertanya-tanya, “Apa relevansi Mallarangeng untuk dinilai layak jadi juri kecantikan?”

Kalau logika media Indopahit diterapkan di sini, artinya Mallarangeng bisa juga disebut sebagai "pakar kecantikan" atau "pengamat perempuan"?

Tapi khan lucu! Atau disebut label "pakar wanita."

Nah lho!

Apa Vitria Cahyaningsih, isterinya Mallarangeng, tak sewot suaminya yang ganteng dan berkumis tebal itu disebut “pakar wanita”?

Contoh lain. Suatu saat sebuah majalah berita mewawancarai seorang doktor sebagai "pengamat LSM." Dia dimintai soal penyaluran dana-dana organisasi internasional ke berbagai organisasi nirlaba Indonesia. Si doktor ini pernah memimpin sebuah organisasi Amerika Serikat di Jakarta. Susahnya, majalah itu tak tahu bahwa doktor ini sebenarnya masuk daftar hitam beberapa lembaga donor karena kurang becus mengelola organisasi tersebut.

Masih banyak contoh lain. Tapi inilah yang membuat saya sangat keberatan ketika majalah Trust memberi label "pengamat media” kepada saya.

Expert dan Observer

Pemakaian keterangan “pengamat” atau “pakar” meniru dari istilah "observer" atau "expert" pada sebagian media berbahasa Inggris. Label-label ini dipakai sebagian media Barat pada zaman Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Komunis.

Saat itu kebanyakan wartawan Barat sulit menembus negara-negara sosialis, termasuk Uni Soviet dan Tiongkok. Sebagai ganti, mereka mewawancarai orang-orang yang tinggal di perbatasan, yang kerjanya mencatat siaran radio negara sasaran, lantas bikin newsletter. Mereka lantas disebut “pengamat.”

Seorang di antaranya adalah seorang pastor Serikat Jesuit bernama Lazlo Ladany. Dia kelahiran Hungaria tahun 1914. Pada usia 22 tahun Ladany menjadi calon imam Katholik di Budapest. Pada 1939, Serikat Jesuit mengirim Ladany ke Beijing dan belakangan dipindah ke Shanghai. Pada 1949, ketika Mao Zhedong dari Partai Komunis Tiongkok menguasai Tiongkok, Mao mengusir semua misionaris Barat.

Ladany dipindahkan ke Hong Kong, sebuah koloni Inggris. Dia diberi kantor di sebuah kampus. Selain mengurus mahasiswa, kerja utama Ladany adalah mendengarkan siaran radio Beijing, dan belakangan menonton televisi, dalam bahasa Mandarin, dari Beijing.

Pastor Ladany mulai menerbitkan mingguan China News Analysis pada 1953. Tujuannya, membantu jaringan misionaris Katholik di seluruh dunia mengikuti perkembangan dalam negeri Tiongkok. Menulis dan menyunting China News Analysis menjadi pekerjaan Ladany selama 30 tahun. China News Analysis jadi bacaan wajib banyak kantor kedutaan, kantor pemerintah dan beredar di 48 negara plus Tiongkok sendiri. Wartawan-wartawan Barat, yang dilarang masuk Tiongkok, banyak yang menjadikan Hong Kong basis mereka. Mereka mengandalkan Ladany untuk jadi sumber liputan.

Pada 1966, Robert Shaplen dari majalah The New Yorker menyebut Ladany sebagai “China watcher” atau “pemerhati China.” Ladany sering muncul dalam berbagai pemberitaan media Barat. Ladany menulis beberapa buku, termasuk Law and Legality in China: The Testament of a China-Watcher. Ketika meninggal dunia pada 1990, Associated Press menyebut Pastor Ladany sebagai orang yang berjasa “membuka” Tiongkok kepada media Barat.

Ladany digunakan sebagai nara sumber karena wartawan-wartawan Barat tak bisa masuk ke Tiongkok. Prinsip urutan sumber jadi penting sekali disini. Bila wartawan-wartawan itu bisa langsung tembus ke sumber-sumber utama, Ladany tentu tak relevan. Salah satu esensi dari verifikasi adalah tekad wartawan mencari sumber-sumber primer.

Ketika Uni Soviet runtuh dan Tiongkok merangkul kapitalisme, wartawan-wartawan Barat dengan mudah membuka kantor biro di Moscow maupun Beijing. Mereka bisa langsung wawancara sumber-sumber pertama. Peranan orang-orang macam Ladany menyurut. Label "pengamat" atau "pakar" tak diperlukan kalau si wartawan bisa menembus sumber-sumber berita atau lingkaran-lingkaran sumber hingga lingkaran paling dalam.

Acheh, Papua, Maluku dan Timor Leste praktis daerah-daerah yang cukup terbuka di Indonesia. Mereka merasa bukan bagian dari bangsa Indonesia. Mereka ingin merdeka dari kolonialisme Indonesia. Pada zaman Soekarno, Soeharto maupun pasca-Soeharto, daerah-daaerah panas itu terkadang masih ditutup untuk wartawan. Namun saya tak pernah mendengar istilah “pengamat Papua” atau “pemerhati Maluku Selatan.” Siapakah “pakar Acheh” di Jakarta? Rasanya tidak ada pula bukan? Jadi buat apa mewawancarai pengamat-pengamatan itu?

Pada awal 2002, majalah Tempo menurunkan laporan “Theys Dibunuh: Dua Jenderal Terlibat” dan “Mengapa Kopassus Tersesat”. Tempo menurunkan dugaan ada dua orang jenderal mendalangi pembunuhan pemimpin rakyat Papua Theys Eluai. Tempo tak menyebut siapa nama dua orang tersebut. Persoalannya, tuduhan itu hanya berasal dari seorang “pengamat militer” bernama Kusnanto Anggoro dari Center for Strategic and International Studies di Jakarta.

Febry Arifmawan, seorang wartawan mahasiswa Universitas Islam Indonesia, menulis, “Kalau boleh saya nilai, Kusnanto disini posisinya adalah sebagai pengamat (nara sumber ketiga), namun dijadikan titik pijak Tempo dalam membuat fokus laporan.” Arifmawan menganggap pilihan itu punya resiko.

Memang ada surat pembaca yang mengecam Tempo karena tuduhan itu. Saya juga tahu laporan-laporan itu menciptakan debat internal dalam Tempo. Saya setuju dengan Arifmawan bahwa laporan itu tak memenuhi standar dasar jurnalisme. Sumber-sumbernya anonim dan tuduhan terbuka hanya dari Kusnanto Anggoro, seseorang yang tak mengalami dan tak melihat sendiri peristiwa itu.

Bagaimana cara memberi keterangan pada komentator?

Saya pernah menulis untuk Courier, sebuah majalah multibahasa dari Paris, yang diedit dengan rapi sekali. Mereka punya saran yang bagus. Kalau saya minta seorang akademikus atau seorang politikus memberi komentar atas suatu isu, pertama, mereka minta saya memperhatikan apakah pekerjaan dan penelitian si sumber relevan dan berbobot untuk komentar itu. Bobotnya bisa dilihat dari karya akademik mereka. Atau kalau seorang politikus, dilihat dari reputasi dan integritasnya. Kedua, tanpa memberi gelar pemerhati atau apapun, cantumkan saja karya orang itu dalam laporan Anda, atau setidaknya, cantumkan afiliasinya.

Jadi tak ada istilah "pakar politik" atau "pemerhati hukum kriminal." Tetapi Courier membuat standar. Misalnya, Benny Giay disebut dosen Sekolah Tinggi Teologi Walter Post di Jayapura. Atau Benny Giay dari STT Walter Post, yang pernah menulis buku Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah Papua. Bisa juga disebut Giay mendapatkan Ph.D dari Vrije Universiteir, Amsterdam, dengan thesisi soal ini dan itu.

Kalau definisinya gamblang, pembaca akan bisa menilai sendiri, seberapa besar bobot si sumber dan seberapa relevan disiplin si sumber dalam mengkaji apa yang dianggap sebagai keahliannya. Unsur transparansi sangat penting sehingga kalau ada conflict of interest antara pribadi si sumber dengan isu yang dibicarakannya, pembaca, pendengar atau pemirsa, juga bisa menilai sendiri.

RRI pernah mewawancarai Budi Harsono, dengan sebutan "seorang pengamat militer" tentang bantuan Amerika US$51 juta kepada polisi dan tentara Indonesia. RRI menyebut bahwa Harsono juga mantan ketua fraksi militer di parlemen --artinya dia juga seorang jenderal. RRI juga menyebut Harsono sekretaris jenderal Partai Golongan Karya. RRI cukup gamblang sehingga pendengar tahu siapa Harsono itu. Namun RRI keliru menyebutnya dengan "pengamat." Harsono adalah pemain dalam lapangan ini. Budi Harsono seorang tentara-cum-politikus. Budi Harsono bukan seorang Lazlo Ladany di Hong Kong, yang tak pernah menjabat apapun dalam struktur negara Republik Rakyat Tiongkok.

Benedict Anderson dari Universitas Cornell misalnya. Terkadang Anderson disebut sebagai "pakar nasionalisme " karena menulis buku Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Buku ini termasuk karya klasik bagi orang yang belajar nasionalisme. Saya berani bertaruh Anda hanya akan jadi tertawaan orang bila bicara soal kebangsaan namun tak pernah membaca Imagined Communities. Anderson tak pernah ikut partai apapun. Anderson tak pernah jadi juru bicara presiden. Pekerjaannya hanya sebagai ilmuwan. Cocok kalau Anderson disebut "pakar" namun ia masih harus ditambah judul bukunya.

Salah satu elemen dasar jurnalisme adalah transparansi. Memberikan keterangan sejelas-jelasnya pada seorang kolumnis atau seorang sumber akan membantu pembaca, pendengar atau pemirsa untuk menilai kredibilitas si kolumnis atau si sumber.

Rekan saya dari majalah Pantau, Agus Sopian, yang dulu sering membanggakan pacar-pacarnya yang cantik, suatu hari menulis, “Dulu saat menulis kolom seks dan orgasme, saya mencantumkan label ‘Playboy’ ehhh malah diganti jadi "Playgroup." Asem!”

Di Sadur dari Blog Mas Andreas Harsono