Selasa, 24 April 2012

Isjoni dan Bunari, Turun Pangkat


Oleh Herman

GRAMEDIA PUSTAKA Utama, Jakarta menerbitkan buku Budaya Bahari karangan Mayor Jenderal Marinir (Purn) Djoko Pramono tahun 2005. Ia seorang Inspektur Jenderal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL). Cover buku dihiasi gambar lautan. Tulisan Budaya Bahari terletak di bagian atas, di bawahnya ada tulisan Djoko Pramono. Dengan tebal 178 halaman.


Sekira setahun lalu tiba-tiba Universitas Riau dikejutkan oleh isu plagiat yang dituduhkan kepada Prof. Isjoni, dosen Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UR. Ia mantan Dekan FKIP selama dua periode, juga ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) wilayah Riau.

Tuduhan plagiat diawali dari surat yang masuk ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) atas nama Himpunan Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau. Bersamanya juga dilampirkan buku Budaya Bahari karangan Djoko Pramono dan buku Sejarah Maritim karangan Prof. Isjoni dan Bunari. Bunari juga dosen Sejarah di FKIP UR. Ia bersama Isjoni mengajar mata kuliah Sejarah Maritim di Jurusan Sejarah FKIP.

Bila dilihat secara seksama, isi buku Sejarah Maritim amat mirip dengan Budaya Bahari. Bedanya, buku Budaya Bahari dilengkapi gambar dan tabel. Sedangkan buku Sejarah Maritim tak ada. Ia penuh berisi tulisan yang sama persis dengan buku Budaya Bahari. Kecuali bab 5: penutup. Buku Sejarah Maritim tak ada memuat penutup. Pada daftar pustaka tak ada disebutkan sumber bacaan dari buku Budaya Bahari karangan Djoko Pramono.

Hal tersebut membuat buku Sejarah Maritim lebih tipis dari Budaya Bahari. Tebalnya hanya 130 halaman. Sejarah Maritim ini diterbitkan tahun 2008 oleh Cendekia Insani Pekanbaru. Alamatnya Jalan Diponegoro V No. 31 Pekanbaru, Riau, Indonesia. Ada kata pengantar dari Prof. Isjoni sebagai Dekan FKIP pada buku tersebut.

KEMBALI KE DIRJEN DIKTI. Mendapat surat perihal tuduhan plagiat tersebut, Dikti lantas mengirim surat ke Rektor UR, Prof. Ashaluddin Jalil guna mengecek kebenaran isi surat. “Kami akan lihat dan pelajari dulu buku yang dimaksud. Sesuai aturan, masalah ini akan dibawa ke Komisi Etika Akademik,” kata Prof. Ashaluddin pada Koran Riau edisi 23 Maret 2011. “Komisi Etika akan berupaya secepat mungkin mengkaji buku yang diduga plagiat tersebut agar cepat diketahui benar atau tidak tindakan tidak terpuji yang dilakukan yang bersangkutan,” sambung Prof. Ashaluddin.

Pada 6 Juni 2011 persoalan Prof. Isjoni yang dituduh plagiat dibicarakan di rapat Senat UR. Ketua senat Prof. Ashaluddin meminta Komisi Etika membahas lebih lanjut. Karena Komisi Etika diketuai Prof. Isjoni, maka tugasnya diambil alih oleh Prof. Adrianto Ahmad, Sekretaris Komisi Etika.

Komisi Etika lalu mencari guru besar bidang Bahasa yang dianggap berkompeten menilai kedua buku tersebut—Budaya Bahari dan Sejarah Maritim. Menilai apakah ia termasuk plagiat atau tidak. Komisi Etika memilih perwakilan guru besar dari Universitas Indonesia (UI), Universitas Negeri Padang (UNP), dan Universitas Padjajaran (Unpad) untuk menilai kedua buku itu. Hasil analisa ketiga guru besar tersebut dijadikan pertimbangan senat untuk mengambil keputusan terkait tuduhan plagiat.

Rapat senat penentuan terhadap tuduhan plagiat Prof. Isjoni dihadiri 80 persen anggota senat hari itu. “Sekitar 55 orang lebih yang datang. Pokoknya yang jarang muncul pun hadir saat itu,” lapor Adhy Prayitno, Pembantu Rektor IV yang juga anggota senat UR. Dimulai pukul 09.30, rapat akhirnya memutus-kan Prof. Isjoni dan Bunari dihadirkan untuk memberi kesempatan pada mereka melakukan pembelaan. Mereka berdua akan dipanggil pada agenda rapat senat berikutnya.

Selasa, 23 Agustus 2011. Seperti kesepakatan di rapat senat sebelumnya, rapat senat kali ini dihadiri Prof. Isjoni dan Bunari. Mereka ceritakan apa adanya. Lantas senat memutuskan untuk memberikan wewenang penuh kepada Dewan Guru Besar—para anggota senat yang sudah menduduki posisi guru besar—untuk mengambil keputusan.

“Setelah melihat review dari tiga profesor (UI, UNP, Unpad) serta pengakuan Isjoni dan Bunari, diambil kesimpulan perbuatan mereka salah. Namun kita menganggap salahnya itu masuk dalam kelalaian,” ujar Prof. Adnan Kasry, salah seorang anggota senat Komisi Pendidikan Pengajaran Laboratorium dan Kepustakaan.

SEBELUM Prof. Isjoni dan Bunari dipanggil oleh senat, mereka sudah mengirimkan surat klarifikasi ke Rektor UR atas tuduhan plagiat yang dikirimkan atas nama Himpunan Mahasiswa FKIP UR.

Tanggal 3 April 2011 Prof. Isjoni kirim surat klarifikasi berisi tujuh poin penjelasan. Ia katakan bahwa buku Sejarah Maritim hanya sebuah modul yang disusun oleh Bunari, asistennya. “Modul diperuntukkan bagi mahasiswa dan tidak diperjual belikan, hanya untuk sekali penerbitan,” jelas Prof. Isjoni. Ia juga menyinggung bahwa modul tersebut tak ada kaitannya dengan penghargaan Museum Rekor Indonesia yang diterimanya pada April 2007 silam. “Karena modul diterbitkan 2008 dan tidak diperbanyak lagi.” Sanggahan lainnya yakni modul tersebut juga tidak dicantumkan dalam pengusulan KUM angka kredit untuk gelar Guru Besar. Alasannya modul tidak ilmiah.

Prof. Isjoni juga sudah mengecek langsung ke Himpunan Mahasiswa FKIP UR yang disebut-sebut mengirim surat ke Dikti tentang dugaan plagiat Prof. Isjoni dan Bunari. Menurut pengakuan Prof. Isjoni, Himpunan Mahasiswa tersebut mengaku tidak pernah mengirim surat ke Dikti dan mereka juga berjanji akan mencari siapa orang yang mengatas namakan Himpunan Mahasiswa tersebut.

Tanggal 4 Juni 2011 giliran Bunari melakukan hal sama: mengirim surat berisi kharifikasi kepada Rektor UR. Ada 8 poin klarifikasi. Bunari membenarkan pernyataan Prof. Isjoni bahwa Sejarah Maritim bukan sebuah buku, melainkan modul untuk bahan ajar.

Poin terpenting, Bunari mengakui kesalahannya membuat modul Sejarah Maritim dan mencetaknya tanpa dikoreksi terlebih dahulu oleh Prof. Isjoni, penanggung jawab mata kuliah Sejarah Maritim. Selain itu, ia juga mengaku mencantumkan nama Prof. Isjoni tanpa seizin yang bersangkutan, karena ia berpikir Prof. Isjoni adalah penanggung jawab mata kuliah tersebut.

Bunari cerita, ia ditunjuk sebagai pengasuh mata kuliah Sejarah Maritim bersama Prof. Isjoni. Lantas Prof. Isjoni minta Bunari bikin sebuah bahan ajar. Prof. Isjoni berikan tiga buku referensi, salah satunya buku Budaya Bahari karangan Djoko Pramono. “Karena mata kuliah ini baru dan memang materinya sulit didapat, maka buku Budaya Bahari karangan Djoko Pramono yang banyak dipakai dan mahasiswa memberikan saran kepada saya agar buku itu diperbanyak,” aku Bunari. Kemudian buku tersebut dicetaknya dalam jumlah terbatas dan diberikan untuk mahasiswanya saja, itupun hanya sekali cetak. “Karena setelah itu saya sudah mendapat banyak referensi lain,” katanya.

Tak cukup sampai di situ, tanggal 14 Juni 2011 Bunari pergi ke Jakarta untuk menemui Djoko Pramono, penulis buku Budaya Bahari. Ia pergi bersama Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah, Marwoto Saiman dan bertemu dengan Djoko di Kantor Koni Pusat, Senayan, Jakarta. Hasil pertemuan dituangkan dalam sepucuk surat tertanggal 18 Juni 2011 dan diserahkan kepada Rektor UR.

Intinya, Bunari telah menjelaskan kronologis penulisan Sejarah Maritim dan meminta maaf pada Djoko selaku penulis buku Budaya Bahari. Menurut Bunari, Djoko maklum atas penjelasan tersebut. Djoko juga titip pesan pada Bunari untuk memberi tahukan Rektor UR agar menjawab surat yang pernah dikirimkannya terkait persoalan tersebut.

Terakhir, Prof. Isjoni kirim surat kepada Kementerian Pendidikan Nasional tanggal 20 Juni 2011. Isinya memberi tahukan bahwa ia dan Bunari telah mengirimkan surat klarifikasi terkait tuduhan plagiat kepada Rektor UR. Isjoni juga menyatakan surat tanggal 3 April, 4 Juni, dan 14 Juni 2011 tersebut tentu akan jadi bahan pertimbangan bagi Rektor dalam mengambil keputusan.



ADHY PRAYITNO, Pembantu Rektor IV katakan Prof. Isjoni dan Bunari dihukum sesuai peraturan tentang plagiat oleh Menteri Pendidikan Nasional. Peraturan bernomor 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi tersebut ditanda tangani oleh Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan Nasional pada tanggal 16 Agustus 2010.

Pasal 2 ayat (1) menjelaskan lingkup plagiat. Plagiat meliputi: mengacu dan mengutip baik seluruhnya atau secara acak istilah, kata-kata, kalimat, data atau informasi, gagasan, pendapat, atau teori dari suatu sumber tanpa menyebutkan atau menyatakan sumber secara memadai. Membuat suatu karya yang sudah dihasilkan atau dipublikasikan pihak lain tanpa menyebutkan sumber secara memadai juga dikatakan plagiat.

Permendiknas nomor 17 tersebut juga memuat sanksi pelaku plagiat. Ia tertera pada pasal 12 ayat (2). Sanksinya beragam, tergantung dari perbuatan si plagiator: apakah termasuk perbuatan ringan atau berat. Berturut-turut dari sanksi teringan: teguran, peringatan tertulis, penundaan pemberian hak dosen/peneliti/tenaga kependidikan, penurunan pangkat dan jabatan aka-demik/fungsional, pencabutan hak untuk diusulkan sebagai guru besar/profesor/ahli peneliti utama bagi yang memenuhi syarat, pemberhentian dengan hormat dari status sebagai dosen/peneliti/tenaga kependidikan, pemberhentian tidak dengan hormat dari status sebagai dosen/peneliti/tenaga kependidikan, sampai pem-batalan ijazah yang diperoleh dari perguruan tinggi yang bersangkutan.

Bagi plagiator yang menyandang sebutan guru besar, maka diberi sanksi tambahan berupa pemberhentian dari jabatan guru besar oleh menteri atau pejabat berwenang atas usul perguruan tinggi yang bersangkutan. Ini tertera pada pasal 12 ayat (3) Permendiknas nomor 17 tahun 2010.

Kesepakatan senat UR, menurut Prof. Adnan Kasry, Prof. Isjoni dan Bunari diturunkan pangkat dan jabatannya. Prof. Isjoni dari 4E ke 4D dan Bunari dari 3B ke 3A. Khusus Prof. Isjoni, karena ia menyandang sebutan guru besar, mestinya, bila sesuai dengan pasal 12 ayat (3) Permendiknas Nomor 17 tahun 2010, gelar guru besarnya harus dicabut.

Namun keputusan sepenuhnya ada di tangan Dikti. “Kita sudah kirimkan hasil rapat senat terakhir (23 Agustus 2011). Tinggal menunggu keputusan Dikti,” ujar Yanuar Hamzah, Pembantu Rektor II sekaligus Sekretaris Senat UR. “Sampai sekarang balasan Dikti itu belum kita terima.”#