Secara umum, menulis resensi punya dua bagian. Pertama, ia menceritakan
isi dari buku yang dibahasnya itu. Ini penting karena tidak semua orang
membaca buku yang dibahas.
Bahkan cukup banyak orang mengandalkan
resensi karena memang tak mau atau tak bisa membaca buku aslinya.
Saya pernah tinggal di Boston dan New York. Kalau Anda tinggal disana dan berlangganan harian setempat, misalnya Boston Globe dan The New York Times,
setiap akhir pekan kedua harian itu menerbitkan satu seksi khusus
tentang resensi buku. Tebalnya bisa 12-24 halaman (termasuk iklan dari
industri buku). Tentu ini juga memiliki wawancara dengan para penulis.
Bahkan kalau masih belum puas, ada juga The New York Review of Books,
sebuah majalah dwi mingguan yang isinya khusus resensi buku dan
analisis. Goenawan Mohamad dari Jakarta berlangganan tabloid ini.
Goenawan setiap minggu harus menulis kolom di majalah Tempo. Ia butuh
banyak buku. Namun dia belum tentu bisa mendapatkan buku-buku mutakhir
yang ingin dibacanya (harus beli di luar negeri) atau waktunya tak
cukup, maka dia membaca The New York Review of Books. Majalah Esquire menyebutnya, ".. the premier literary-intellectual magazine in the English language." Pada 2003, sirkulasinya mencapai 125,000.
Kedua,
resensi ini juga sebaiknya dilengkapi perbandingan dengan karya lain.
Artinya, seseorang yang menulis resensi buku baru soal nasionalisme
misalnya, seyogyanya dia juga tahu karya-karya klasik Benedict Anderson,
Ernest Gellner, Ernest Renan, Michael Billig dan sebagainya.
Saya
seringkali menemukan resensi di Jakarta ini yang ditulis tanpa tahu
referensi klasik. Minggu lalu saya menggoda seorang kenalan yang menulis
resensi di Koran Tempo tentang
buku Mia Bustam, isteri pertama pelukis S. Soedjojono, namun tak tahu
siapa Claire Holt, seorang kritikus seni rupa Indonesia modern.
Kalau
bicara soal nasionalisme, topik yang sedang saya geluti, aduh, salah
kaprah disini cukup parah. Kebanyakan orang disini tak membaca Benedict
Anderson, yang banyak menulis soal Indonesia, maupun karya-karya orang
Indonesia sendiri soal nasionalisme, dari Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir
hingga Goenawan Mohamad.
Kelebihan The New York Review of Books
terletak pada analisis ini. Banyak orang yang mengkritik buku menulis
dalam tabloid ini. Saya kenal beberapa kontributor majalah ini, antara
lain, Margaret Scott serta Clifford Geertz.
Scott mantan redaktur halaman kebudayaan majalah Far Eastern Economic Review di Hongkong. Geertz seorang anthropolog yang menulis karya klasik The Religion of Java serta Agricultural Involution: the process of ecological change in Indonesia, Negara: The Theater State in Nineteenth Century Bali dan Works and Lives: The Anthropologist As Author.
Para penulis resensi ini tak jarang menelusuri tempat-tempat dimana
sebuah buku ditulis atau bahan reportase, guna menulis kritik terhadap
buku bersangkutan.
Saya kira dua unsur itulah yang diperlukan
dalam menulis sebuah resensi. Saya pernah bikin resensi panjang tentang
beberapa buku soal majalah The New Yorker. Anda bisa baca dalam buku
hitam terbitan Pantau itu. Terima kasih.
Di ambil dari blog mas andreas