Selasa, 13 November 2012

Wenny Pahlemy soal menulis resensi buku

Secara umum, menulis resensi punya dua bagian. Pertama, ia menceritakan isi dari buku yang dibahasnya itu. Ini penting karena tidak semua orang membaca buku yang dibahas.
Bahkan cukup banyak orang mengandalkan resensi karena memang tak mau atau tak bisa membaca buku aslinya.

Saya pernah tinggal di Boston dan New York. Kalau Anda tinggal disana dan berlangganan harian setempat, misalnya Boston Globe dan The New York Times, setiap akhir pekan kedua harian itu menerbitkan satu seksi khusus tentang resensi buku. Tebalnya bisa 12-24 halaman (termasuk iklan dari industri buku). Tentu ini juga memiliki wawancara dengan para penulis.


Bahkan kalau masih belum puas, ada juga The New York Review of Books, sebuah majalah dwi mingguan yang isinya khusus resensi buku dan analisis. Goenawan Mohamad dari Jakarta berlangganan tabloid ini. Goenawan setiap minggu harus menulis kolom di majalah Tempo. Ia butuh banyak buku. Namun dia belum tentu bisa mendapatkan buku-buku mutakhir yang ingin dibacanya (harus beli di luar negeri) atau waktunya tak cukup, maka dia membaca The New York Review of Books. Majalah Esquire menyebutnya, ".. the premier literary-intellectual magazine in the English language." Pada 2003, sirkulasinya mencapai 125,000.

Kedua, resensi ini juga sebaiknya dilengkapi perbandingan dengan karya lain. Artinya, seseorang yang menulis resensi buku baru soal nasionalisme misalnya, seyogyanya dia juga tahu karya-karya klasik Benedict Anderson, Ernest Gellner, Ernest Renan, Michael Billig dan sebagainya.

Saya seringkali menemukan resensi di Jakarta ini yang ditulis tanpa tahu referensi klasik. Minggu lalu saya menggoda seorang kenalan yang menulis resensi di Koran Tempo tentang buku Mia Bustam, isteri pertama pelukis S. Soedjojono, namun tak tahu siapa Claire Holt, seorang kritikus seni rupa Indonesia modern.

Kalau bicara soal nasionalisme, topik yang sedang saya geluti, aduh, salah kaprah disini cukup parah. Kebanyakan orang disini tak membaca Benedict Anderson, yang banyak menulis soal Indonesia, maupun karya-karya orang Indonesia sendiri soal nasionalisme, dari Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir hingga Goenawan Mohamad.

Kelebihan The New York Review of Books terletak pada analisis ini. Banyak orang yang mengkritik buku menulis dalam tabloid ini. Saya kenal beberapa kontributor majalah ini, antara lain, Margaret Scott serta Clifford Geertz.

Scott mantan redaktur halaman kebudayaan majalah Far Eastern Economic Review di Hongkong. Geertz seorang anthropolog yang menulis karya klasik The Religion of Java serta Agricultural Involution: the process of ecological change in Indonesia, Negara: The Theater State in Nineteenth Century Bali dan Works and Lives: The Anthropologist As Author. Para penulis resensi ini tak jarang menelusuri tempat-tempat dimana sebuah buku ditulis atau bahan reportase, guna menulis kritik terhadap buku bersangkutan.

Saya kira dua unsur itulah yang diperlukan dalam menulis sebuah resensi. Saya pernah bikin resensi panjang tentang beberapa buku soal majalah The New Yorker. Anda bisa baca dalam buku hitam terbitan Pantau itu. Terima kasih.

Di ambil dari blog mas andreas