Saya lihat semua negara yang mencampur urusan negara dengan
agama tak ada yang beres. Misalnya Afghanistan, Pakistan, Arab Saudi,
Iran, dan lainnya. Di dunia ini tak ada negara yang agamanya seragam.
Selalu ada banyak agama minoritas. Isunya adalah bagaimana memperlakukan
mereka kalau salah satu agama dijadikan dasar bernegara? Saat itu juga
akan ada agama lain yang menjadi kelas dua.
Saya percaya bahwa
jurnalisme sangat berguna untuk kebaikan masyarakat. Kalau masih ditanya
juga soal apa agama saya? Saya akan jawab: agama saya adalah
jurnalisme. Demikian pernyataan Andreas Harsono, ketua Yayasan Pantau,
kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) di Kantor Berita Radio 68H Jakarta,
Kamis (3/5) lalu.
Mas Andreas, bagaimana sosialisasi keberagamaan Anda di masa kecil?
Saya
lahir dari keluarga Tionghoa di kota Jember, sebuah kota perkebunan
tembakau. Orang sana dapat duit dari tembakau. Mayoritas penduduknya
campuran Jawa-Madura, dan mereka pengikut NU. Saya termasuk generasi
ketiga keluarga yang hidup di sana. Sejarahnya, engkong dan emak
saya datang dari sebelah selatan Tiongkok, di daerah dekat Guang Dong.
Seperti kebanyakan orang Tionghoa, kami dibesarkan dalam agama Konghucu.
Jadi, saya tahu ada kelenteng, ada liang liong (tarian naga) di Jember.
Pada tahun 1971, waktu saya masih kecil, pernah ada pertunjukan liang liong
yang besar sekali. Kebetulan, ayah saya adalah ketua panitianya. Nah,
saya besar dalam situasi perubahan pasca tahun 1965. Pelan-pelan suasana
itu makin lama makin sulit. Agama Konghucu lalu tidak diakui
pemerintah. Kelenteng kami harus diganti vihara.
Apa implikasi dari tidak adanya pengakuan terhadap agama Konghucu itu?
Nama
harus diganti dengan nama Indonesia. Itu peraturan pemerintah yang
menetapkan bahwa semua orang Tionghoa harus diganti namanya. Nama saya
dulunya adalah Ong Tjie Liang. Waktu itu kita susah juga, “Bagaimana
nama harus diganti?” Ayah saya lalu pergi ke seorang guru Jawa yang
diaggap baik di Jember. Beliau mengusulkan nama ayah diganti jadi
Harsono.
Sementara ibu saya, karena tidak bebas memilih agama,
dan kebetulan punya pengaruh Kristen dari keluarganya, memilih masuk
gereja. Ibu memang lebih religius daripada ayah. Dia memilih Kristen
sebagai agamanya. Kemudian, anak-anaknya diberi nama-nama Kristen semua.
Saya dapat nama Andreas, nama salah satu muridnya Iesus (Yesus atau Iesa atau Jesus).
Tampaknya
ada banyak akal untuk menyiasati hambatan negara terhadap kebebasan
beragama. Trik-trik apa yang dilakukan keluarga Anda untuk mengungkapkan
ekspresi keberagamaan?
Ya, pragmatis saja. Yang penting
selamat. Kita tidak mungkin melawan negara yang begitu besar ini. Kami
juga sadar bahwa kami adalah minoritas kecil. Mempertahankan Konghucu
sebagai agama untuk dianut, ya tidak mungkin. Jadi, ya pindah agama
lain. Memang ada juga yang mempertahankan Konghucu secara diam-diam.
Mereka sebenarnya cukup banyak. Tapi, ya tetap sulit. Sama sulitnya
dengan belajar bahasa Mandarin. Orang akan sulit belajar agama Konghucu
kalau belajar bahasanya saja juga dilarang. Akhirnya, kemampuan
berbahasa itu hilang.
Sekarang, ketika sudah dewasa, saya bertanya Guan Gong (atau Guan Yu
- 關羽) itu siapa, ya? Saya pernah ingat tiga dewa: Guan Gong, Zhang Fei
(翼德), sama satu lagi, saya lupa. Sebetulnya, ada keinginan untuk tahu
siapa dewa-dewa tersebut. Tapi karena tidak pernah belajar, tidak pernah
tahu, tidak pernah bisa membaca kitab-kitab keagamaan, jadinya tidak
tahu. Anda bisa bayangkan bagaimana kalau Anda hidup dalam sebuah negara
di mana Islam bukan agama yang diakui negara? Mungkin saja, Anda tak
bisa membaca Alquran, tidak boleh tahu cerita Nabi Muhamad, dan lain
sebagainya. Anda bisa bayangkan itu. Sebab, melawan berarti melanggar
hukum.
Di tengah hambatan-hambatan seperti itu, Anda hidup dan berkembang dalam agama apa?
Campur-campur.
Saya masuk sekolah Katolik. Di sekolah Katolik itu ada pelajaran
agamanya. Memang, sebenarnya ada maksud dari mereka agar kita masuk
Katolik. Mama saya masuk Kristen Protestan. Dia masuk ke Kie Tok Kauw
Tjong Hwee. Itu gereja Jawa-Tionghoa. Sekarang namanya Gereja Kritus
Tuhan. Saya juga dikirim ke sana. Mereka bikin saya baik-baik karena
dalam kehidupan bermasyarakat selalu terjadi interaksi.
Tapi
kehidupan orang tua saya kurang baik. Mama sering bertengkar dengan
Papa. Dan akhirnya berpisah. Tetapi sebelum bercerai, saya sempat dekat
dengan dua orang pegawai Papa. Satu di toko, yang lain di rumah.
Dua-duanya orang Madura. Satunya bernama Syafe'i, dan satunya lagi Mbok
Wi atau Bek Wi. Itu karena anaknya bernama Sarkawi. Orang Madura sering
dipanggil dengan nama anaknya. Jadi, Bek Wi itulah yang sebenarnya
membesarkan saya. Saya sering tidur di rumahnya, dan dia juga sering
membawa saya ke pesantren. Jadi campur-campur semua. Tapi semua saya
ikuti.
Anda juga coba mengenal lingkungan yang dominan Islam tradisional, ya?
O,
ya. Saya bisa bahasa Madura, bahasa Jawa, sedikit Mandarin lalu bahasa
Inggris tentu. Kaum minoritas yang tertindas di mana-mana di seluruh
dunia, baik Yahudi, orang Jawa di Suriname, atau orang hitam, selalu
harus fleksibel dan mesti belajar sebanyak mungkin dari masyarakat
sekelilingnya.
Tapi tak mungkin menanamkan keyakinan agama yang betul-betul ketat, ya?
Nggak
juga. Saya belakangan sadar bahwa kita tetap bisa belajar agama apapun
sebanyak mungkin. Tidak hanya satu. Dan itu menurut saya lebih baik.
Untuk anak kecil, dia bisa melihat sendiri. Akhirnya, dia bisa memilih
sendiri. Sampai sekarang, saya selalu merasa senang kalau melihat orang
salat sendiri dengan syahdu, atau zikir sendirian. It's beautiful! Saya belajar banyak hal dari itu.
Ketika
kuliah, saya mulai belajar soal kemanusiaan, filsafat, belajar
Socrates, belajar Plato, dan lain-lain. Saya juga sempat kuliah di
Universitas Harvard. Salah satu mata kuliah di sana yang saya sukai
bernama Justice: A Journey in Moral Reasoning (dosennya Michael J. Sandel). Dan sejak saat itu, saya berpikir banyak ... yang namanya kemanusiaan.
Kapan Anda keluar Jember dan melihat dunia luar yang lebih beragam?
Saya
tinggal di Jember sampai umur 15 tahun. Saat SMA, saya dikirim ke kota
Malang. Di sana saya sekolah di sekolah Katolik lagi. Namanya SMAK Sint.
Albertus; sebuah sekolah tua dari zaman Belanda. Setelah itu saya
kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Nah, ini sekolahan
Protestan. Tapi waktu itu, dosennya bagus-bagus. Ada Arief Budiman,
George Junus Aditjondro, Ariel Heryanto, Nico L. Kana, Broto Semedi, N.
Daldjoeni. Ada juga Pendeta Sutarno yang sangat renaissance dan Pendeta
Probowinoto yang mendirikan Partai Kristen Indonesia. Dia pernah
bersama-sama dengan Mohammad Hatta saat di Belanda.
Kalau dipikir-pikir lagi, apakah agama masih penting buat Anda?
Untuk
pribadi, saya kira masih penting. Tapi untuk urusan negara, tentu tidak
penting. Saya kira, negara tidak perlu ikut campur urusan agama
warganya. Harus ada pemisahan yang jelas. Negara hanya berkewajiban
mengurusi kebutuhan warganya menyangkut kehidupan bersama, seperti
mengatur saluran telepon, saluran air bersih, jalan yang bagus, tidak
banjir, perasaan aman, jaminan hukum, dan tidak diskriminatif. Kalau
urusan agama, itu biarlah menjadi urusan masjid, gereja, madrasah dan
pesantren, vihara, klenteng dan sebagainya.
Tapi ada yang berpikir kalau agama juga diurus negara, dia akan lebih berkembang dan membuat negara makin baik …
Justru
terbalik. Orang-orang yang ingin memaksakan ini akan merusak negara dan
takkan membuat negara makin baik. Orang ini hanya ingin negara ikut
campur mengatur agama. Negara diminta mewajibkan pelajaran agama di
sekolah-sekolah negeri. Di zaman Sukarno, di sekolah negeri tidak
dibolehkan adanya pelajaran agama apapun. Menurut Daoed Joesoef, mantan
menteri pendidikan, sejak zaman Orde Baru diadakan pelajaran agama di
sekolah-sekolah negeri. Sebenarnya, ini kebijakan yang keliru. Itu
membuat negara makin lama makin kacau.
Dalam pengembaraan
Anda melihat ekspresi keberagamaan beragam masyarakat di hampir seluruh
Indonesia, apakah agama dianggap cukup penting?
O, ya. Di
Indonesia, agama itu penting. Tapi di Indonesia yang bagaimana dan
dimana dulu, tentu harus kita tanya. Indonesia begitu beragam. Secara
geografis, Indonesia punya empat bahkan lima time zone.
Seharusnya ada lima tapi dibuat tiga saja. Nah, di lima kawasan ini,
dari Aceh sampai Papua, ada lebih dari 500 bahasa. Di Pulau Miangas yang
dekat dengan Mindanao misalnya, ada bahasa Talaud. Bahasa Tomea dan
bahasa Binongko di kepulauan Wakatobi, bahasa Rote, ratusan di Papua dan
lain-lain. Jadi kalau negara mau ngurusin agama, saya kira yang
pertama-tama terjadi adalah penindasan terhadap agama-agama kecil
seperti Kaharingan, Parmalim (Batak), Kejawen (Jawa), dan lain-lain.
Kedua, itu akan jadi sumber korupsi. Makin panjang birokrasinya, dari
urusan haji sampai bikin KTP, ada urusan negaranya, maka ada peluang
korupsi.
Mas Andreas, ada semacam stereotipe yang menyebut
orang Tionghoa agak tertutup dalam pergaulan dengan etnis lain. Apa
penjelasan Anda?
Ada dua teori untuk menjawab soal
ekslusivitas orang minoritas. Saya mulai dari cerita. Saya pernah
mengajar di IAIN Al-Raniry Banda Aceh. Nah, di Banda Aceh itu ada
semboyan yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia itu sebetulnya tidak
ada. Yang ada adalah "bangsa Jawa" dengan nama samaran "bangsa
Indonesia". Dan, bangsa Jawa itulah yang menjajah Aceh.
Di Aceh
juga ada banyak transmigran dari Jawa. Pada suatu saat, salah satu
mahasiswa saya tanya. "Teungku Andreas, mengapa orang-orang Jawa tidak
mau bergaul dengan orang lain? Kalau ngomong, mereka tetap pakai bahasa
Jawa. Bahkan, kawin pun harus dengan orang Jawa. Mereka juga tidak mau
bergaul," katanya.
Saya jawab, "Ya biasa bukan? Orang itu, ya
begitu!" Orang minoritas pertama-tama harus bergelut lebih kuat
dibanding yang mayoritas. Itu karena posisi mereka kecil. Tidak punya
keluarga. Dan mereka harus bekerja lebih keras. Kalau kita lihat para
pendatang di Papua, baik dari orang Bugis, Batak, Jawa, dan lain-lain,
mereka juga termasuk pekerja-pekerja keras. Kebanyakan berhasil walau
banyak juga yang bobrok. Di mana-mana, orang minoritas itu seperti itu.
Karena bekerja terlalu keras, mereka lupa bersosialisasi.
Di
Aceh, banyak sekali orang Jawa yang bisa bahasa Aceh. Sama halnya dengan
orang Tionghoa di Jawa yang bisa bahasa Jawa, Sunda, dan seterusnya.
Jadi biasalah itu. Meskipun kadang kita jengkel juga kalau melihat orang
Tionghoa yang hanya mikirin kerja dan seterusnya. Tapi yang penting,
mereka tidak bunuh orang, tidak melakukan kekerasan, tidak melanggar
hukum. Itu yang penting.
Tapi selalu ada perasaan tidak aman gitu ya?
Ya,
tentu. Itu terjadi di mana-mana. Misalnya orang-orang Madura di
Kalimantan. Mereka didiskriminasikan secara luar biasa. Tidak ada
diskriminasi (etnik) yang lebih besar di Indonesia sehebat yang dialami
orang Madura di Kalimantan. Dari Pontianak sampai Samarinda. Tapi mereka
juga bekerja keras. Dan saya tahu, betapa kerasnya mereka bekerja.
Kadang-kadang sampai disalahmengerti tetangganya. Ya, mereka dianggap
tidak peduli dengan tetangga, karena jarang bergaul.
Bagaimana Anda memandang Pancasila sebagai ideologi bernegara?
Saat
Indonesia hendak didirikan, terjadi perdebatan keras sekali soal dasar
negara. Ini terjadi sejak 1930an. Ada yang mengatakan Islam, karena
perdebatannya berlangsung di Jawa dan penduduk Jawa mayoritas Islam.
Kalau saat itu Hindia Belanda berpusat di Minahasa, mungkin dasar yang
akan dibahas Kristen. Tapi kira-kira, waktu itu yang diangkat adalah
Islam. Itu tawaran pertama. Dasar negaranya Islam.
Paham kedua namanya sekularisme. Tapi karena ada kompromi atas nama nasionalisme,
maka ideologi itu dinamakan Pancasila. Tapi esensinya adalah
sekularisme, yaitu prinsip dimana agama dan negara dipisahkan. Kalau
agama dan negara dicampur, maka negara akan tidak netral dan menjadi
rebutan banyak orang. Islam akan merebut, Kristen akan merebut, Hindu
akan protes, dan sebagainya.
Saya melihat, semua negara yang
mencampur negara dengan agama, tidak ada yang beres. Misalnya
Afghanistan, Pakistan, Arab Saudi, Iran, dan lainnya. Persoalan yang
muncul selalu soal minoritas. Dalam suatu negara, selalu ada banyak
agama minoritas. Nah, isunya adalah bagaimana memperlakukan mereka kalau
salah satu agama dijadikan dasar bernegara? Saat itu juga akan ada
agama lain yang menjadi kelas dua.
Dan, perlakuan negara terhadap
salah satu agama sebagai agama kelas dua adalah bentuk diskriminasi.
Kalau suatu negara sudah melakukan diskriminasi, pasti itu sudah tak
beres. Dulu, di Indonesia ada perdebatan tentang Piagam Jakarta.
Soekarno melarang sekolah-sekolah negeri ajarkan agama. Tapi untuk
kompromi politik, dia tetap mengizinkan adanya Departemen Agama. Yang
minta waktu itu adalah KH Wahid Hasjim, almarhum bapaknya Gus Dur.
Katanya untuk menjembatani urusan agama (Islam) dan negara.
Ada
empat orang penting di masa itu: Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo,
Mohammad Hasan (dari Aceh) dan Bagoes Hadikoesoemo. Mereka minta dibikin
Departemen Agama pada 19 Agustus 1945. Tapi buntut-buntutnya makin
tidak beres. Sekarang malah masih ada SKB Tiga Menteri (Surat Keputusan
Bersama) yang membuat orang yang ingin membangun rumah ibadah, terutama
gereja-gereja, sangat susah. Di Indonesia, selalu ada pembakaran gereja.
Antara tahun 1945-1997, jumlahnya sekitar 350-an gereja dan 80
persennya terjadi di Pulau Jawa.
Di Papua, Flores, maupun
Minahasa, kalau orang Islam ingin bangun masjid, asal punya duit, ada
tanah, ada izin bangunan (bukan izin pendirian tempat ibadah), ya nggak
apa-apa. Kadang juga ada hambatan tapi tidak urusan legal. Di Jawa,
urusan gereja itu susah sekali. Itu sebenarnya diskriminasi. Itu adalah
contoh kehidupan agama dan negara yang dicampur-baur. Akibatnya,
kehidupan kenegaraaan kita jadi rumit.
Anda banyak bersinggungan dengan pelbagai agama dan budaya. Dari sekian banyak agama, mana yang paling cocok bagi Anda?
Hari
ini saya belum bisa menjawab. Ini adalah perjalanan yang masih panjang.
Istri saya seorang Madura yang Muslim. Ayah saya seorang Tionghoa
beragama Konghucu. Ibu tiri saya orang Jawa Protestan. Anak saya
agamanya Katholik. Ibunya orang Jawa Katholik (mantan isteri).
Kebanyakan agama orang Jawa itu juga campur-campur. Kebetulan di
keluarga, saya agak dituakan. Jadi agak susah bagi saya kalau harus
berpihak kepada salah satu dari mereka. Jadi saya belum dapat menjawab.
Mungkin saya akan memberi jawaban kelak kalau saya mau meninggal.
Ada cara-cara pribadi seperti ritual agama yang sering dilakoni?
Pertanyaan
yang bagus! Kalau masih ditanya juga soal apa agama saya, saya akan
jawab: agama saya adalah jurnalisme. Saya percaya bahwa jurnalisme
sangat berguna untuk kebaikan masyarakat.
Karena itu Anda pernah menulis bahwa jurnalisme juga mengandung spiritualitas?
Kutipan
itu sebenarnya bukan pendapat saya. Ini adalah pendapat Bill Kovach.
Dia seorang guru wartawan asal Albania, warga Amerika Serikat, yang
sangat dihormati. Dia seperti saya. Bapaknya Muslim, ibunya Kristen
Ortodoks. Dia sendiri menikah dengan seorang perempuan Amerika, Kristen,
kulit putih. Beliau berpendapat: makin bermutu jurnalisme di dalam
masyarakat, maka makin bermutu pula informasi yang didapat masyarakat
bersangkutan. Terusannya, makin bermutu pula keputusan yang akan dibuat.
Saya percaya, apabila jurnalisme di Indonesia bermutu, maka kehidupan
masyarakat kita juga akan makin bermutu. Persoalannya, di Indonesia ini,
semua medianya masih di bawah standar mutu jurnalisme internasional.
Dalam pengamatan Anda, agama itu faktor integrasi atau sebaliknya?
Yang
saya tahu, di Indonesia banyak sekali orang bunuh-membunuh dengan
mengatasnamakan agama. Itu yang membuat saya sedih. Jangan kira karena
orang Aceh, yang sama-sama muslim, tidak saling bunuh-bunuhan dengan
orang Jawa. GAM dan TNI itu kan sama-sama muslim? Tapi mereka
bunuh-bunuhan? Ini juga terjadi di banyak pulau lain.
Akomodasi agama atas budaya lokal bagaimana?
Setiap
agama yang diimpor dari luar, ketika sampai ke daerah baru, pasti akan
diadaptasikan. Tidak pernah ada agama yang bisa murni seperti mulanya.
Agama impor pasti akan diadaptasi. Jangan salah, para wali Islam itu
dakwahnya juga menggunakan wayang dan gamelan. Beragama juga bukan soal zero sum game.
Jadi kalau saya yang tadinya Konghucu pindah Kristen, itu tidak akan
meninggalkan tradisi Konghucu sepenuhnya. Orang Jawa yang masuk Islam
juga tak akan bisa murni meninggalkan kejawen. Selalu ada adaptasi. Jadi
campur. Tidak ada yang murni.
Anda sering menyaksikan agama-agama suku di Indonesia. Apa penilaian Anda?
Kebanyakan
agama kecil. Tapi mereka kadang lebih khusyuk dalam beragama. Mau
memotong pohon saja ada ritualnya. Mau pergi ada doanya. Bahkan saya
pernah memperhatikan sebagian mereka sangat dekat dan baik sekali dengan
alam. Kalau orang Jakarta ini kan jahat sekali sama alam. Semua orang
pakai mobil, semua pakai pendingin udara. Akibatnya, Jakarta tak layak
ditempati 8 juta rakyat. Jakarta hancur. Akhirnya orang kena asma dan
macam-macam lagi. Ini semua karena orang tidak beragama dengan baik.
Tapi religiusitas orang suku itu lebih sering disebut kearifan lokal, tidak dianggap agama. Karena itu, sering diekspansi...
Itu
kan anggapan orang luar. Orang menganggap Sunda Wiwitan itu sebagai
kearifan lokal. No! Apa hak kita atas nama agama-agama impor ini untuk
mengecam agama lokal itu?! Mereka sama-sama punya hak hidup. Karena itu,
saya tak setuju di KTP ada agamanya. Itu suatu bukti tentang intervensi
negara di dalam kehidupan agama kita.
Sebuah Kesenangan Kecil