Selasa, 13 November 2012

Agama Saya Adalah Jurnalisme

Saya lihat semua negara yang mencampur urusan negara dengan agama tak ada yang beres. Misalnya Afghanistan, Pakistan, Arab Saudi, Iran, dan lainnya. Di dunia ini tak ada negara yang agamanya seragam.
Selalu ada banyak agama minoritas. Isunya adalah bagaimana memperlakukan mereka kalau salah satu agama dijadikan dasar bernegara? Saat itu juga akan ada agama lain yang menjadi kelas dua.

Saya percaya bahwa jurnalisme sangat berguna untuk kebaikan masyarakat. Kalau masih ditanya juga soal apa agama saya? Saya akan jawab: agama saya adalah jurnalisme. Demikian pernyataan Andreas Harsono, ketua Yayasan Pantau, kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) di Kantor Berita Radio 68H Jakarta, Kamis (3/5) lalu.



Mas Andreas, bagaimana sosialisasi keberagamaan Anda di masa kecil?

Saya lahir dari keluarga Tionghoa di kota Jember, sebuah kota perkebunan tembakau. Orang sana dapat duit dari tembakau. Mayoritas penduduknya campuran Jawa-Madura, dan mereka pengikut NU. Saya termasuk generasi ketiga keluarga yang hidup di sana. Sejarahnya, engkong dan emak saya datang dari sebelah selatan Tiongkok, di daerah dekat Guang Dong. Seperti kebanyakan orang Tionghoa, kami dibesarkan dalam agama Konghucu. Jadi, saya tahu ada kelenteng, ada liang liong (tarian naga) di Jember.

Pada tahun 1971, waktu saya masih kecil, pernah ada pertunjukan liang liong yang besar sekali. Kebetulan, ayah saya adalah ketua panitianya. Nah, saya besar dalam situasi perubahan pasca tahun 1965. Pelan-pelan suasana itu makin lama makin sulit. Agama Konghucu lalu tidak diakui pemerintah. Kelenteng kami harus diganti vihara.

Apa implikasi dari tidak adanya pengakuan terhadap agama Konghucu itu?

Nama harus diganti dengan nama Indonesia. Itu peraturan pemerintah yang menetapkan bahwa semua orang Tionghoa harus diganti namanya. Nama saya dulunya adalah Ong Tjie Liang. Waktu itu kita susah juga, “Bagaimana nama harus diganti?” Ayah saya lalu pergi ke seorang guru Jawa yang diaggap baik di Jember. Beliau mengusulkan nama ayah diganti jadi Harsono.

Sementara ibu saya, karena tidak bebas memilih agama, dan kebetulan punya pengaruh Kristen dari keluarganya, memilih masuk gereja. Ibu memang lebih religius daripada ayah. Dia memilih Kristen sebagai agamanya. Kemudian, anak-anaknya diberi nama-nama Kristen semua. Saya dapat nama Andreas, nama salah satu muridnya Iesus (Yesus atau Iesa atau Jesus).

Tampaknya ada banyak akal untuk menyiasati hambatan negara terhadap kebebasan beragama. Trik-trik apa yang dilakukan keluarga Anda untuk mengungkapkan ekspresi keberagamaan?

Ya, pragmatis saja. Yang penting selamat. Kita tidak mungkin melawan negara yang begitu besar ini. Kami juga sadar bahwa kami adalah minoritas kecil. Mempertahankan Konghucu sebagai agama untuk dianut, ya tidak mungkin. Jadi, ya pindah agama lain. Memang ada juga yang mempertahankan Konghucu secara diam-diam. Mereka sebenarnya cukup banyak. Tapi, ya tetap sulit. Sama sulitnya dengan belajar bahasa Mandarin. Orang akan sulit belajar agama Konghucu kalau belajar bahasanya saja juga dilarang. Akhirnya, kemampuan berbahasa itu hilang.

Sekarang, ketika sudah dewasa, saya bertanya Guan Gong (atau Guan Yu - 關羽) itu siapa, ya? Saya pernah ingat tiga dewa: Guan Gong, Zhang Fei (翼德), sama satu lagi, saya lupa. Sebetulnya, ada keinginan untuk tahu siapa dewa-dewa tersebut. Tapi karena tidak pernah belajar, tidak pernah tahu, tidak pernah bisa membaca kitab-kitab keagamaan, jadinya tidak tahu. Anda bisa bayangkan bagaimana kalau Anda hidup dalam sebuah negara di mana Islam bukan agama yang diakui negara? Mungkin saja, Anda tak bisa membaca Alquran, tidak boleh tahu cerita Nabi Muhamad, dan lain sebagainya. Anda bisa bayangkan itu. Sebab, melawan berarti melanggar hukum.

Di tengah hambatan-hambatan seperti itu, Anda hidup dan berkembang dalam agama apa?

Campur-campur. Saya masuk sekolah Katolik. Di sekolah Katolik itu ada pelajaran agamanya. Memang, sebenarnya ada maksud dari mereka agar kita masuk Katolik. Mama saya masuk Kristen Protestan. Dia masuk ke Kie Tok Kauw Tjong Hwee. Itu gereja Jawa-Tionghoa. Sekarang namanya Gereja Kritus Tuhan. Saya juga dikirim ke sana. Mereka bikin saya baik-baik karena dalam kehidupan bermasyarakat selalu terjadi interaksi.

Tapi kehidupan orang tua saya kurang baik. Mama sering bertengkar dengan Papa. Dan akhirnya berpisah. Tetapi sebelum bercerai, saya sempat dekat dengan dua orang pegawai Papa. Satu di toko, yang lain di rumah. Dua-duanya orang Madura. Satunya bernama Syafe'i, dan satunya lagi Mbok Wi atau Bek Wi. Itu karena anaknya bernama Sarkawi. Orang Madura sering dipanggil dengan nama anaknya. Jadi, Bek Wi itulah yang sebenarnya membesarkan saya. Saya sering tidur di rumahnya, dan dia juga sering membawa saya ke pesantren. Jadi campur-campur semua. Tapi semua saya ikuti.

Anda juga coba mengenal lingkungan yang dominan Islam tradisional, ya?

O, ya. Saya bisa bahasa Madura, bahasa Jawa, sedikit Mandarin lalu bahasa Inggris tentu. Kaum minoritas yang tertindas di mana-mana di seluruh dunia, baik Yahudi, orang Jawa di Suriname, atau orang hitam, selalu harus fleksibel dan mesti belajar sebanyak mungkin dari masyarakat sekelilingnya.

Tapi tak mungkin menanamkan keyakinan agama yang betul-betul ketat, ya?

Nggak juga. Saya belakangan sadar bahwa kita tetap bisa belajar agama apapun sebanyak mungkin. Tidak hanya satu. Dan itu menurut saya lebih baik. Untuk anak kecil, dia bisa melihat sendiri. Akhirnya, dia bisa memilih sendiri. Sampai sekarang, saya selalu merasa senang kalau melihat orang salat sendiri dengan syahdu, atau zikir sendirian. It's beautiful! Saya belajar banyak hal dari itu.

Ketika kuliah, saya mulai belajar soal kemanusiaan, filsafat, belajar Socrates, belajar Plato, dan lain-lain. Saya juga sempat kuliah di Universitas Harvard. Salah satu mata kuliah di sana yang saya sukai bernama Justice: A Journey in Moral Reasoning (dosennya Michael J. Sandel). Dan sejak saat itu, saya berpikir banyak ... yang namanya kemanusiaan.

Kapan Anda keluar Jember dan melihat dunia luar yang lebih beragam?

Saya tinggal di Jember sampai umur 15 tahun. Saat SMA, saya dikirim ke kota Malang. Di sana saya sekolah di sekolah Katolik lagi. Namanya SMAK Sint. Albertus; sebuah sekolah tua dari zaman Belanda. Setelah itu saya kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Nah, ini sekolahan Protestan. Tapi waktu itu, dosennya bagus-bagus. Ada Arief Budiman, George Junus Aditjondro, Ariel Heryanto, Nico L. Kana, Broto Semedi, N. Daldjoeni. Ada juga Pendeta Sutarno yang sangat renaissance dan Pendeta Probowinoto yang mendirikan Partai Kristen Indonesia. Dia pernah bersama-sama dengan Mohammad Hatta saat di Belanda.

Kalau dipikir-pikir lagi, apakah agama masih penting buat Anda?

Untuk pribadi, saya kira masih penting. Tapi untuk urusan negara, tentu tidak penting. Saya kira, negara tidak perlu ikut campur urusan agama warganya. Harus ada pemisahan yang jelas. Negara hanya berkewajiban mengurusi kebutuhan warganya menyangkut kehidupan bersama, seperti mengatur saluran telepon, saluran air bersih, jalan yang bagus, tidak banjir, perasaan aman, jaminan hukum, dan tidak diskriminatif. Kalau urusan agama, itu biarlah menjadi urusan masjid, gereja, madrasah dan pesantren, vihara, klenteng dan sebagainya.

Tapi ada yang berpikir kalau agama juga diurus negara, dia akan lebih berkembang dan membuat negara makin baik …

Justru terbalik. Orang-orang yang ingin memaksakan ini akan merusak negara dan takkan membuat negara makin baik. Orang ini hanya ingin negara ikut campur mengatur agama. Negara diminta mewajibkan pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri. Di zaman Sukarno, di sekolah negeri tidak dibolehkan adanya pelajaran agama apapun. Menurut Daoed Joesoef, mantan menteri pendidikan, sejak zaman Orde Baru diadakan pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri. Sebenarnya, ini kebijakan yang keliru. Itu membuat negara makin lama makin kacau.

Dalam pengembaraan Anda melihat ekspresi keberagamaan beragam masyarakat di hampir seluruh Indonesia, apakah agama dianggap cukup penting?

O, ya. Di Indonesia, agama itu penting. Tapi di Indonesia yang bagaimana dan dimana dulu, tentu harus kita tanya. Indonesia begitu beragam. Secara geografis, Indonesia punya empat bahkan lima time zone. Seharusnya ada lima tapi dibuat tiga saja. Nah, di lima kawasan ini, dari Aceh sampai Papua, ada lebih dari 500 bahasa. Di Pulau Miangas yang dekat dengan Mindanao misalnya, ada bahasa Talaud. Bahasa Tomea dan bahasa Binongko di kepulauan Wakatobi, bahasa Rote, ratusan di Papua dan lain-lain. Jadi kalau negara mau ngurusin agama, saya kira yang pertama-tama terjadi adalah penindasan terhadap agama-agama kecil seperti Kaharingan, Parmalim (Batak), Kejawen (Jawa), dan lain-lain. Kedua, itu akan jadi sumber korupsi. Makin panjang birokrasinya, dari urusan haji sampai bikin KTP, ada urusan negaranya, maka ada peluang korupsi.

Mas Andreas, ada semacam stereotipe yang menyebut orang Tionghoa agak tertutup dalam pergaulan dengan etnis lain. Apa penjelasan Anda?

Ada dua teori untuk menjawab soal ekslusivitas orang minoritas. Saya mulai dari cerita. Saya pernah mengajar di IAIN Al-Raniry Banda Aceh. Nah, di Banda Aceh itu ada semboyan yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia itu sebetulnya tidak ada. Yang ada adalah "bangsa Jawa" dengan nama samaran "bangsa Indonesia". Dan, bangsa Jawa itulah yang menjajah Aceh.

Di Aceh juga ada banyak transmigran dari Jawa. Pada suatu saat, salah satu mahasiswa saya tanya. "Teungku Andreas, mengapa orang-orang Jawa tidak mau bergaul dengan orang lain? Kalau ngomong, mereka tetap pakai bahasa Jawa. Bahkan, kawin pun harus dengan orang Jawa. Mereka juga tidak mau bergaul," katanya.

Saya jawab, "Ya biasa bukan? Orang itu, ya begitu!" Orang minoritas pertama-tama harus bergelut lebih kuat dibanding yang mayoritas. Itu karena posisi mereka kecil. Tidak punya keluarga. Dan mereka harus bekerja lebih keras. Kalau kita lihat para pendatang di Papua, baik dari orang Bugis, Batak, Jawa, dan lain-lain, mereka juga termasuk pekerja-pekerja keras. Kebanyakan berhasil walau banyak juga yang bobrok. Di mana-mana, orang minoritas itu seperti itu. Karena bekerja terlalu keras, mereka lupa bersosialisasi.

Di Aceh, banyak sekali orang Jawa yang bisa bahasa Aceh. Sama halnya dengan orang Tionghoa di Jawa yang bisa bahasa Jawa, Sunda, dan seterusnya. Jadi biasalah itu. Meskipun kadang kita jengkel juga kalau melihat orang Tionghoa yang hanya mikirin kerja dan seterusnya. Tapi yang penting, mereka tidak bunuh orang, tidak melakukan kekerasan, tidak melanggar hukum. Itu yang penting.

Tapi selalu ada perasaan tidak aman gitu ya?

Ya, tentu. Itu terjadi di mana-mana. Misalnya orang-orang Madura di Kalimantan. Mereka didiskriminasikan secara luar biasa. Tidak ada diskriminasi (etnik) yang lebih besar di Indonesia sehebat yang dialami orang Madura di Kalimantan. Dari Pontianak sampai Samarinda. Tapi mereka juga bekerja keras. Dan saya tahu, betapa kerasnya mereka bekerja. Kadang-kadang sampai disalahmengerti tetangganya. Ya, mereka dianggap tidak peduli dengan tetangga, karena jarang bergaul.

Bagaimana Anda memandang Pancasila sebagai ideologi bernegara?

Saat Indonesia hendak didirikan, terjadi perdebatan keras sekali soal dasar negara. Ini terjadi sejak 1930an. Ada yang mengatakan Islam, karena perdebatannya berlangsung di Jawa dan penduduk Jawa mayoritas Islam. Kalau saat itu Hindia Belanda berpusat di Minahasa, mungkin dasar yang akan dibahas Kristen. Tapi kira-kira, waktu itu yang diangkat adalah Islam. Itu tawaran pertama. Dasar negaranya Islam.

Paham kedua namanya sekularisme. Tapi karena ada kompromi atas nama nasionalisme, maka ideologi itu dinamakan Pancasila. Tapi esensinya adalah sekularisme, yaitu prinsip dimana agama dan negara dipisahkan. Kalau agama dan negara dicampur, maka negara akan tidak netral dan menjadi rebutan banyak orang. Islam akan merebut, Kristen akan merebut, Hindu akan protes, dan sebagainya.

Saya melihat, semua negara yang mencampur negara dengan agama, tidak ada yang beres. Misalnya Afghanistan, Pakistan, Arab Saudi, Iran, dan lainnya. Persoalan yang muncul selalu soal minoritas. Dalam suatu negara, selalu ada banyak agama minoritas. Nah, isunya adalah bagaimana memperlakukan mereka kalau salah satu agama dijadikan dasar bernegara? Saat itu juga akan ada agama lain yang menjadi kelas dua.

Dan, perlakuan negara terhadap salah satu agama sebagai agama kelas dua adalah bentuk diskriminasi. Kalau suatu negara sudah melakukan diskriminasi, pasti itu sudah tak beres. Dulu, di Indonesia ada perdebatan tentang Piagam Jakarta. Soekarno melarang sekolah-sekolah negeri ajarkan agama. Tapi untuk kompromi politik, dia tetap mengizinkan adanya Departemen Agama. Yang minta waktu itu adalah KH Wahid Hasjim, almarhum bapaknya Gus Dur. Katanya untuk menjembatani urusan agama (Islam) dan negara.

Ada empat orang penting di masa itu: Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, Mohammad Hasan (dari Aceh) dan Bagoes Hadikoesoemo. Mereka minta dibikin Departemen Agama pada 19 Agustus 1945. Tapi buntut-buntutnya makin tidak beres. Sekarang malah masih ada SKB Tiga Menteri (Surat Keputusan Bersama) yang membuat orang yang ingin membangun rumah ibadah, terutama gereja-gereja, sangat susah. Di Indonesia, selalu ada pembakaran gereja. Antara tahun 1945-1997, jumlahnya sekitar 350-an gereja dan 80 persennya terjadi di Pulau Jawa.

Di Papua, Flores, maupun Minahasa, kalau orang Islam ingin bangun masjid, asal punya duit, ada tanah, ada izin bangunan (bukan izin pendirian tempat ibadah), ya nggak apa-apa. Kadang juga ada hambatan tapi tidak urusan legal. Di Jawa, urusan gereja itu susah sekali. Itu sebenarnya diskriminasi. Itu adalah contoh kehidupan agama dan negara yang dicampur-baur. Akibatnya, kehidupan kenegaraaan kita jadi rumit.

Anda banyak bersinggungan dengan pelbagai agama dan budaya. Dari sekian banyak agama, mana yang paling cocok bagi Anda?

Hari ini saya belum bisa menjawab. Ini adalah perjalanan yang masih panjang. Istri saya seorang Madura yang Muslim. Ayah saya seorang Tionghoa beragama Konghucu. Ibu tiri saya orang Jawa Protestan. Anak saya agamanya Katholik. Ibunya orang Jawa Katholik (mantan isteri). Kebanyakan agama orang Jawa itu juga campur-campur. Kebetulan di keluarga, saya agak dituakan. Jadi agak susah bagi saya kalau harus berpihak kepada salah satu dari mereka. Jadi saya belum dapat menjawab. Mungkin saya akan memberi jawaban kelak kalau saya mau meninggal.

Ada cara-cara pribadi seperti ritual agama yang sering dilakoni?

Pertanyaan yang bagus! Kalau masih ditanya juga soal apa agama saya, saya akan jawab: agama saya adalah jurnalisme. Saya percaya bahwa jurnalisme sangat berguna untuk kebaikan masyarakat.

Karena itu Anda pernah menulis bahwa jurnalisme juga mengandung spiritualitas?

Kutipan itu sebenarnya bukan pendapat saya. Ini adalah pendapat Bill Kovach. Dia seorang guru wartawan asal Albania, warga Amerika Serikat, yang sangat dihormati. Dia seperti saya. Bapaknya Muslim, ibunya Kristen Ortodoks. Dia sendiri menikah dengan seorang perempuan Amerika, Kristen, kulit putih. Beliau berpendapat: makin bermutu jurnalisme di dalam masyarakat, maka makin bermutu pula informasi yang didapat masyarakat bersangkutan. Terusannya, makin bermutu pula keputusan yang akan dibuat. Saya percaya, apabila jurnalisme di Indonesia bermutu, maka kehidupan masyarakat kita juga akan makin bermutu. Persoalannya, di Indonesia ini, semua medianya masih di bawah standar mutu jurnalisme internasional.

Dalam pengamatan Anda, agama itu faktor integrasi atau sebaliknya?

Yang saya tahu, di Indonesia banyak sekali orang bunuh-membunuh dengan mengatasnamakan agama. Itu yang membuat saya sedih. Jangan kira karena orang Aceh, yang sama-sama muslim, tidak saling bunuh-bunuhan dengan orang Jawa. GAM dan TNI itu kan sama-sama muslim? Tapi mereka bunuh-bunuhan? Ini juga terjadi di banyak pulau lain.

Akomodasi agama atas budaya lokal bagaimana?

Setiap agama yang diimpor dari luar, ketika sampai ke daerah baru, pasti akan diadaptasikan. Tidak pernah ada agama yang bisa murni seperti mulanya. Agama impor pasti akan diadaptasi. Jangan salah, para wali Islam itu dakwahnya juga menggunakan wayang dan gamelan. Beragama juga bukan soal zero sum game. Jadi kalau saya yang tadinya Konghucu pindah Kristen, itu tidak akan meninggalkan tradisi Konghucu sepenuhnya. Orang Jawa yang masuk Islam juga tak akan bisa murni meninggalkan kejawen. Selalu ada adaptasi. Jadi campur. Tidak ada yang murni.

Anda sering menyaksikan agama-agama suku di Indonesia. Apa penilaian Anda?

Kebanyakan agama kecil. Tapi mereka kadang lebih khusyuk dalam beragama. Mau memotong pohon saja ada ritualnya. Mau pergi ada doanya. Bahkan saya pernah memperhatikan sebagian mereka sangat dekat dan baik sekali dengan alam. Kalau orang Jakarta ini kan jahat sekali sama alam. Semua orang pakai mobil, semua pakai pendingin udara. Akibatnya, Jakarta tak layak ditempati 8 juta rakyat. Jakarta hancur. Akhirnya orang kena asma dan macam-macam lagi. Ini semua karena orang tidak beragama dengan baik.

Tapi religiusitas orang suku itu lebih sering disebut kearifan lokal, tidak dianggap agama. Karena itu, sering diekspansi...

Itu kan anggapan orang luar. Orang menganggap Sunda Wiwitan itu sebagai kearifan lokal. No! Apa hak kita atas nama agama-agama impor ini untuk mengecam agama lokal itu?! Mereka sama-sama punya hak hidup. Karena itu, saya tak setuju di KTP ada agamanya. Itu suatu bukti tentang intervensi negara di dalam kehidupan agama kita.

Sebuah Kesenangan Kecil