Sebuah karya jurnalistik yang membuat Albert Einstein menyesal menemukan rumus atom
BERDIRI
di tepi jembatan Aioi, Hiroshima, pandangan mata Hatsuyo Nakamura
menyusuri Sungai Ota. Usianya 86 tahun, umur yang ajaib bagi seorang
hibakusha, korban bobosan asap bom atom 57 tahun silam.
“Di
sana,” tangannya menunjuk ke utara, “Sungai Ota bercabang Sungai Temma.
Dan persis di bawah jembatan Aioi ini Sungai Ota terpecah dua: Motoyasu
dan Honkawa. Seperti itulah Perang Dunia Kedua memecah-mecah hidup
saya.”
Keriput di seputar bibir Nakamura seperti mengunci
mulutnya ketika terkatup. Geraknya amat pelan dan gemetar. Ia dibimbing
Myeko Nakamura, anak bungsu sekaligus penterjemahnya. Mata sipit
Nakamura sesekali terkedip, menerawang, seperti mengingat-ingat ke saat
lebih setengah abad silam.
Hiroshima, 5 Agustus 1945, menjelang
tengah malam. Sembilan jam sebelum bom atom dijatuhkan, penyiar radio
stasiun kota mewartakan terbangnya 200 pesawat B-29 Amerika Serikat
mendekati Pulau Honshu dari arah selatan. Penduduk Hiroshima—yang
sebagian telah lelap, diminta mengungsi ke daerah aman.
Nakamura
belum tidur waktu itu. Sejak suaminya, Isawa Nakamura jadi serdadu, dan
mati dalam perang di Singapura 15 Februari 1942, janda Nakamura harus
bekerja sampai larut, menjahit baju, dari piyama hingga kimono. Isawa
tak meninggalkan apa-apa kecuali sebuah mesin jahit tua merek Sankoku.
Tiga
anak Nakamura menjadi yatim dalam usia belia. Toshio, laki-laki 10
tahun; Yaeko, perempuan delapan tahun; dan Myeko, perempuan lima tahun.
Sebelum berangkat perang, Isawa-san sempat mengajari Myeko berdiri dan
berjalan pelan-pelan. Hanya Toshio yang sempat mengetahui ada telegram
berisi tujuh kata yang dibaca ibunya pada 15 Maret 1942. Sejak itu
mereka tak pernah lagi berbincang tentang rencana setelah ayah pulang.
Hatsuyo Nakamura hanya mengajak anak-anak berdoa untuk ayahnya. Dari
jenis doanya, anak-anak jadi tahu jika ayah mereka sudah tiada.
Mendengar
perintah pengungsian dari radio itu Nakamura segera membangunkan tiga
anaknya, mengganti baju, dan mengajak mereka berjalan ke lapangan di
timur-laut kota yang biasa dipakai parade militer. Si kecil Myeko
melanjutkan tidur dalam gendongan ibunya. Kedua kakaknya berjalan
tersaruk menahan kantuk sambil memegangi sisi-sisi gaun Nakamura yang
memandu jalan.
Sampai di lapangan yang jaraknya satu kilometer
dari rumah, mereka langsung rebah dan tidur. Sudah banyak orang
berkumpul, tak ada yang ribut. Sebagian besar tidur, sebagian kecil
berjaga.
Pukul dua dini hari, para pengungsi terkesiap bangun
oleh deru suara pesawat B-29 yang melayang bolak-balik, melintas rendah.
Dalam hening, kepanikan menjalar. Tapi, deru pesawat itu lewat. Tak ada
bom.
Ketiga anak Nakamura begitu takut. Ibunya merasakan lewat
dekapan mereka yang kencang. Mereka memutuskan pulang. Rumah, dirasa
lebih membuat tenang.
Pukul setengah tiga mereka sampai.
Anak-anak kembali tidur. Nakamura menyalakan radio, dan langsung
terdengar keras peringatan untuk mengungsi. Tanpa menunggu sedetik pun,
radio dimatikan. Nakamura menengok pada anak-anaknya, tak ada yang
terbangun. Nakamura berpikir sebentar, apakah harus mengungsi? Melihat
ketiga anaknya lelap dalam kelelahan, ia putuskan tetap tinggal.
“Semua
orang pada akhirnya toh akan mati, dengan atau tanpa bom. Kalau itu
terjadi, saya masih bisa memilih, untuk mati di rumah sendiri,” Nakamura
berserah, digelarnya tatami dan beranjak tidur. Sekali ditengoknya jam,
pukul tiga dini hari.
Pukul tujuh pagi, 6 Agustus 1945, sirene
di berbagai sudut kota meraung. Nakamura bergegas ke rumah Tuan
Nakamoto, kepala kampung, dan apa yang harus dilakukan? Nakamoto
menyarankan untuk tinggal saja di rumah sampai suara sirene berikutnya
terdengar. Sirene tadi baru peringatan dini.
Nakamura kembali ke
rumah, menyalakan kompor dan menanak nasi. Ia duduk menunggu sambil
membaca koran Hiroshima Chugoku. Sampai pukul delapan (bom atom meledak
limabelas menit kemudian), Nakamura mendengar anaknya bergumam dari
tempat tidur. Diambilnya sebungkus kacang Jepang untuk dimakan
anak-anaknya. Nakamura sendiri berharap anaknya kembali tidur setelah
capai berjalan semalam. Tapi, anak-anak itu dengan mata yang belum
sepenuhnya terbuka, meminta nasi karena perut mereka lapar.
Nakamura
keluar kamar dan segala tanda bahaya terdengar ingar-bingar. Menengok
keluar jendela, ia melihat kilauan begitu putih, tak ada putih seputih
kilau itu yang pernah ia lihat sebelumnya. Seorang lelaki tetangga yang
ada di luar rumah mengangkat tangan seperti hendak melindungi matanya
dari cahaya. Nakamura tak memperhatikan apa yang kemudian terjadi dengan
lelaki itu. Insting keibuannya segera menarik tubuhnya ke kamar
anak-anak. Tapi tiba-tiba pemandangan menjadi gelap pekat. Nakamura
terbanting ke lantai. Didengarnya bunyi derak kayu dan tembok-tembok
yang runtuh. Seluruh tenaganya seperti hilang seketika.
Demikianlah
Little Boy, nama bom atom itu, telah meledak di Hiroshima. Bentuk
Little Boy seperti lontong dari baja seberat empat ton, panjangnya tiga
meter, dengan diameter 0,7 meter. Ia diterbangkan dengan pesawat B-29
yang bernama Enola Gay dari Pulau Tinian, dekat Guam di Lautan Pasifik,
sejauh 2.740 kilometer dari Hiroshima.
Pulau Tinian direbut
Amerika Serikat dari Jepang pada 23 Juli 1944 sebagai lompatan terakhir
sebelum menyerang Jepang. Begitu Tinian direbut, Little Boy diangkut
oleh pesawat khusus bernama Indianapolis dari San Fransisco.
Pada
5 Agustus 1945 petang, Little Boy baru dimasukkan ke dalam perut Enola
Gay dan siap diterbangkan kapan saja. Dini hari 6 Agustus 1945, tepatnya
pukul 02.45 waktu Tinian (atau 01.45 waktu Hiroshima), Enola Gay lepas
landas dari Tinian menuju Hiroshima.
Menurut catatan William D.
Parson yang menjadi co-pilot, Enola Gay baru melintas di atas Iwojima
pukul 06.05 waktu Tinian. Pukul 07.30 sinyal merah dinyalakan tanda bom
dipanaskan agar siap meledak ketika dijatuhkan. Pukul 08.38 pesawat
mencapai ketinggian 9.970 meter dari permukaan laut, sesuai perhitungan
jarak paling pas untuk menjatuhkan bom. Pukul 08.47, fusi elektronik
diujicobakan, hasilnya oke, mesin peledak sudah panas. Pukul 09.04,
pesawat berbelok ke barat. Pukul 09.09, lanskap kota Hiroshima sudah
terlihat di jendela depan pesawat. Dan begitu Enola Gay melintasi
jembatan Aioi, lewat 30 detik dari pukul 09.15 waktu Tinian (atau 08.15
waktu Hisroshima), Little Boy, bom atom pertama dalam sejarah perang,
dijatuhkan.
Begitu melepas Little Boy, Enola Gay langsung
mendaki 155 derajat berbelok ke utara untuk menghindari efek ledakan
bom. Little Boy terjun bebas selama 43 detik sampai ketinggian 580 meter
di atas rumah sakit Shima, dan meledak di udara.
Teorinya
secara sederhana, energi ledakan itu muncul dari nukleus atom yang
terpecah dua. Dari dua, pecah menjadi empat, dari empat menjadi delapan,
dan seterusnya. Energi ledakan berlipat dalam tempo yang sangat
singkat. Sepersepuluh-ribu detik setelah ledakan, panas mencapai 300
ribu derajat Celsius dalam radius 17 meter dari pusat ledak
(hypocenter). Panas yang sampai ke rumah sakit Shima saat itu mencapai
6.000 derajat Celcius.
Lima menit setelah ledakan, asap atom
menguar seperti cendawan putih raksasa hingga setinggi 17 ribu meter di
atas tanah. Zat radioaktif mematikan sebagaian besar warga Hiroshima
yang terkena dalam radius lima kilometer dari pusat ledak, baik secara
langsung maupun dalam hitungan hari. Mereka yang ada di dalam radius
lima kilometer itu dan kemudian lari keluar dari lingkar akar cendawan
atom itu, nyaris semuanya menderita cacat kulit, bahkan mengalami mutasi
genetik. Minimal, korban menderita cikal-bakal kanker atau leukemia.
RUMAH
Nakamura terletak 5,4 kilometer dari pusat ledak. Sebuah selisih 40
meter yang menentukan keselamatan keluarga miskin itu.
Rumah
mereka terbuat dari kayu yang murah dan ringan di kawasan Nobori-cho
yang padat dan miskin, tak ada kaca, atapnya cuma asbes yang gapuk.
Rumah itu sudah tak ada begitu Nakamura mampu beringsut dan
menengadahkan kepala. Perasaan yang campur-aduk menggelayut. Sejauh mata
memandang, yang ada hanya puing-puing berserakan. Sayup terdengar si
bungsu Myeko mengerang, “Ibu, tolong aku!”
Myeko tampak sulit
bernapas dan tak bisa bergerak. Dengan segala daya yang tiba-tiba
muncul, Nakamura mencoba mengangkat anaknya dari serakan puing rumah.
Myeko segera terselamatkan dari tindihan puing dipan tempat tidur. Tapi,
Nakamura tak melihat atau mendengar suara kedua anaknya yang lain?
Nakamura
menjadi sangat panik. Raut muka Myeko memucat. Ia masih
tersengal-sengal. Rengkuhan lengan ibunya membuat Myeko jadi agak
tenang. Napasnya kembali teratur. Nakamura pun menghela lega. Sang ibu
dan putri bungsunya itu seperti saling menguatkan.
“Tasukete! Tasukete!”(Tolong! Tolong!)
Suara
itu tak jelas dari mana datangnya. Telinga Nakamura berdengung dan ia
merasa setiap suara lebih kecil ketimbang aslinya. Tapi Nakamura merasa
pasti bahwa itu suara si sulung Toshio. Cuma di mana sumbernya? Ada
derak puing kayu beringsut pelan. Nakamura langsung mendudukkan Myeko
dan merangsek ke puing kayu yang ternyata bekas salah satu tiang utama
rumah mereka. Di bawah kayu ada lembar daun pintu, dan begitu tiang kayu
disingkirkan, daun pintu pun terangkat ke samping. Muncullah muka
Toshio yang tegang.
“Ibu, Yaeko mati!”
Jantung Nakamura
seperti berhenti. Tubuh Yaeko tergeletak di sebelah Toshio, diam tak
bergerak dan kakinya masih tertimbun puing. Nakamura ingin mengangkat
tubuh Yaeko, tapi ia sudah tak punya tenaga. Nakamura menciumi pipi
Yaeko dan memanggil-manggil namanya seperti tak rela Yaeko pergi untuk
selamanya. Air mata ibu membasahi wajah sang anak.
Ternyata Yaeko tidak mati. Ia pingsan.
“Air…air. Aku mau minum,” Yaeko menggumam lirih.
Nakamura
bagai menerima rahmat dari surga, sekaligus juga bingung. Di mana ada
air? Ia juga merasa tenggorokannya begitu kering dan badannya panas
dengan kulit serasa perih terbakar. Diperhatikannya pakaian yang dia
kenakan sudah tak karuan, lusuh dan kacau seperti juga baju tiga
anaknya.
“Air…air…,” rintih Yaeko. Di mana ada air di tengah
reruntuhan Nobori-cho saat ini? Nakamura mengumpulkan liurnya yang
tersisa, dibukanya mulut Yaeko. Perlahan Nakamura keluarkan ludahnya
hingga masuk ke mulut Yaeko yang langsung menelan, sementara matanya
masih terpejam.
Entah mendapat tenaga dari mana, Nakamura menyingkirkan puing-puing yang masih menimbun Yaeko.
“Itaiii!” (Sakiiit!) seru Yaeko.
“Sekarang
bukan waktunya untuk mengeluh sakit atau tidak,” Nakamura mengangkat
anaknya yang kedua sampai terduduk. Diperhatikannya tubuh Yaeko, tak ada
luka serius.
Nakamura beranjak menengok ke sekeliling. Orang
yang dilihatnya tadi dari jendela telah rebah di tanah, mati. Istri
Nakamoto datang ke arahnya dengan sisi muka berlumur darah. Ia bertanya
apakah Nakamura punya perban untuk menutup luka. Tak ada perban.
Nakamura merobek kain-kain yang dia punya menjadi potongan-potongan
panjang seperti perban dan memberikannya kepada istri Nakamoto.
Yayoi
Hataya, tetangga sebelah rumah, dengan panik mengajak Nakamura dan
anak-anaknya untuk mengungsi ke taman Asano tempat simpanan air bersih
tersedia. Mereka membawa beberapa pernik barang yang bisa dibawa
termasuk remukan makanan kering yang masih ada dalam bungkusan. Di
sepanjang jalan mereka banyak mendengar orang menjerit minta tolong
lantaran anggota keluarganya tertimpa puing-puing rumah. Hanya satu
rumah yang belum roboh, yakni pastoran Jesuit di sebelah bekas taman
kanak-kanak Myeko yang sudah tak karuan bentuknya. Mereka melihat Pastor
Wilhelm Kleinsorge berupaya memberi pertolongan seadanya kepada para
korban.
Di taman Asano yang penuh debu, puluhan pengungsi
berkumpul. Mereka berbagi air minum. Sebetulnya agak tak tepat disebut
air minum karena galonan air di bak bawah tanah itu masih mentah dan
direncanakan untuk memadamkan api bila terjadi kebakaran. Tapi para
pengungsi tak peduli. Udara dan badan mereka terasa begitu panas.
Nakamura
kemudian menjadi sangat sibuk memberi pertolongan ke sana kemari
bersama Pastor Kleinsorge. Tentu saja pertama-tama ia memastikan
anak-anaknya aman dengan bekal yang cukup. Toshio diminta si ibu untuk
menjaga adik-adiknya. Tak lama, ketiga anak Nakamura pun tertidur di
bawah tenda darurat. Sebaliknya sang ibu terus bolak-balik seolah tak
kenal lelah. Lewat tengah malam, Nakamura baru bisa tidur.
DI
SAAT yang sama ketika Nakamura tertidur, petang hari sedang menjelang
di New York, 5 Agustus 1945. Seorang wartawan-cum-novelis bernama John
Hersey asyik mendengar musik dari radio. Ia sungguh menikmati waktu jeda
menulis usai merampungkan karya-karya jurnalistik maupun fiksi yang
sangat menyedot energinya. Dalam hari-hari mengisi kembali energi itu,
biasanya ia tak menulis apapun, otaknya serasa tumpul dan kesaktian
menulis seperti hilang. Lazimnya Hersey, masa tumpul itu berlangsung
paling lama satu minggu. Kerjanya cuma membaca bacaan ringan,
mendengarkan musik di radio, dan menikmati pujian atau kritik dari
pembaca tulisannya.
Kali ini ia lebih banyak menerima pujian.
Khususnya dari pembaca tulisan panjangnya di majalah The New Yorker
edisi Juni berjudul “Survival.” Tulisan ini berkisah bagaimana seorang
Letnan Angkatan-Laut, John F Kennedy, menyelamatkan diri dari
kapal-perangnya PT 109 yang tenggelam di bagian selatan Samudra Pasifik.
Pujian lain berdatangan juga dari para pembaca novelnya A Bell
for Adano yang memenangi Pulitzer untuk karya fiksi 1945. A Bell for
Adano bercerita tentang pendudukan pasukan Amerika Serikat atas sebuah
desa di Italia.
Musik pop di radio yang didengarkan Hersey
tiba-tiba berhenti. Hersey cuek saja. Ia tak mencoba memutar tombol
mencari frekuensi lain. Yang terdengar kemudian pidato Presiden Amerika
Serikat Harry S. Truman yang rekamannya tersimpan rapi di Library of
Congress: “Sixteen hours ago, an American airplane dropped one bomb on
Hiroshima, Japan, and destroyed its usefulness to the enemy. That bomb
had more power than 20.000 ton of T.N.T. It had more than two thousand
times the blast power of the British Grand Slam, which is the largest
bomb ever used in the history of warfare.…It was an atomic bomb.”
Hersey
langsung bangun dari kursi malasnya. Keningnya berkerut. Bom Atom?
Ingatannya langsung melayang ke Juni 1942 ketika Roosevelt
menandatangani akta persetujuan dimulainya The Manhattan Project. Sebuah
riset bernilai US$ 2 miliar dan melibatkan 120 ribu pekerja, dengan
satu tujuan membuat bom atom untuk menaklukkan lawan dan memenangi
Perang Dunia II.
Malam itu Hersey berjanji dalam hatinya, “Saya akan menulis tentang Hiroshima!” Dan Hersey tidak main-main.
Ben Yagoda dalam bukunya About Town: The New Yorker and the World It Made
mengisahkan
di berbagai halaman terpisah tentang proses Hersey merampungkan artikel
Hiroshima sepanjang lebih dari 30 ribu kata.
Sampai akhir 1945,
Hersey baru merampungkan risetnya dengan mengumpulkan berbagai data
pendukung tentang Hiroshima. Ia mulai berdiskusi dengan kolega sesama
jurnalis tentang rencananya. Keputusannya ia akan mulai perjalanan
jurnalistik dari Cina ke Jepang. Cina pintu masuk ke Jepang yang
termurah. Meski begitu, pada 1945 anggaran liputan lebih dari US$ 10
ribu masih sangat mahal untuk sebuah tulisan. Untungnya, sekaligus unik,
Hersey bisa mendapat persetujuan dukungan dana dari dua majalah, The
New Yorker dan Life.
Alasan lain ia memasuki Jepang dari Cina
sebetulnya lebih bersifat pribadi. Ia ingin menengok kembali kampung
halamannya. Maklum ia lahir 1914 di Tientsin dari pasangan misionaris
Protestan dan menghabiskan masa kecilnya di sana sampai 1925.
Sebelum
berangkat ia banyak berdiskusi dengan editor New Yorker William Shawn
dan merumuskan 10 ide kerangka tulisan (outline of story ideas). Salah
satu idenya tawaran Shawn yang dikembangkan dari artikel Joel Sayre
tentang pengeboman wilayah Cologne-Jerman dari perspektif korban (orang
Jerman) yang menderita akibat peristiwa tersebut.
Artikel Sayre
yang sangat bagus itu akhirnya batal dimuat The New Yorker karena tidak
kontekstual. Jerman sudah memutuskan untuk menyerah pada Pasukan Sekutu.
Shawn mengusulkan kepada Hersey untuk menulis soal Hiroshima dari
perspektif korban sebagaimana dilakukan Sayre. Konteksnya masih hangat
karena perdebatan tentang bom atom terus berlangsung dan melibatkan para
politisi, intelektual, bahkan agamawan. Di samping secara jurnalistik,
magnitude Hiroshima-Jepang jauh lebih besar ketimbang Cologne-Jerman.
Tapi
Hersey belum menemukan satu pun outline tulisan yang dinilainya paling
kuat untuk mengisahkan Hiroshima. Ia sudah mencoba mengerahkan seluruh
pengalaman dan pengetahuan jurnalistiknya yang mendalam sejak di bangku
kuliah. Menamatkan studi di Yale University, Hersey sempat setahun
menjadi sekretaris Sinclair Lewis, dosen jurnalisme yang tersohor di
Cambridge.
Setelah itu ia bekerja di majalah Time sebagai
penulis. Di awal Perang Dunia II ia juga membuat beberapa reportase
untuk Life yang masih “satu keluarga” dengan Time di bawah kepemilikan
saham Henry Luce. Reportase termasyhur dari Hersey untuk Life terbit
1944 berjudul “Joe is Home Now” yang mengisahkan trauma para serdadu GI
Amerika Serikat sepulang dari perang dan mencoba hidup kembali bersama
masyarakat biasa. Para pembaca sangat takjub pada karakter-karakter
narasumber yang dibangun dan dilansir Hersey dalam “Joe is Home Now.”
Sampai-sampai, Tom Wolfe dalam pengantar di buku antologinya The New
Journalism, menyebut “Joe is Home Now” sebagai a seminal precursor of
the genre.
Dalam “Survival” Hersey menggunakan metode penulisan
jurnalistik yang berbeda dengan “Joe is Home Now” yang menitikberatkan
pada dinamika karakter narasumber. “Survival” lebih menekankan
detail-detail kejadian yang melodramatis, struktur tulisan beritme
sastrawi, dan rekonstruksi dialog narasumber yang mendekati sempurna.
Hersey tidak menitikberatkan karakter karena John F. Kennedy yang
menjadi narasumber utama sahabat Hersey sendiri sehingga Hersey harus
mengambil jarak.
Wawancara mendalam dilakukan Hersey sejak awal
Kennedy bercerita sambil makan siang di La Martinique, sebuah
supper-club di New York, hingga rumah sakit Boston tempat Kennedy
mendapat perawatan untuk memulihkan otot-ototnya yang kaku karena
peristiwa dramatis tenggelamnya kapal PT 109 di selatan Samudra Pasifik
itu.
Anehnya Life—tak jelas alasan apa—tak jadi memuat artikel
tersebut, sebuah tindakan redaksi yang kemudian disesali oleh Life
sendiri. “Survival” dimuat The New Yorker dan menjadi karya jurnalistik
yang klasik dan dikenal banyak warga Amerika Serikat. Bagaimana tidak,
“Survival” dicetak ulang sebanyak 100 ribu eksemplar oleh ayah Kennedy
untuk kepentingan kampanye anaknya memenangi kursi di House of
Representatives (parlemen Amerika Serikat) dengan membagikan kopi
artikel itu pada calon pemilihnya di Boston. Alhasil “Survival” menjadi
sangat dikenal, bahkan kemudian difilmkan dengan judul PT 109. Ketika
Kennedy menyiapkan diri untuk merengkuh kursi presiden, buletin U.S.
News and World Report memuat kembali “Survival” dan mencetaknya dalam
jumlah yang begitu banyak (tak ada data/sumber yang menyebut secara
tepat seberapa banyak)—dengan sayangnya—tanpa seizin The New Yorker
maupun John Hersey.
Hersey juga menulis tiga buku fiksi-perang:
Men on Bataan, Into the Valley, dan A Bell for Adano. Tampak sekali baik
dalam karya jurnalistik maupun novelnya, Hersey sangat piawai mengemas
kekerasan perang hingga memikat banyak pembaca.
Sebaliknya
Shawn, editor Hersey, tak suka bacaan perang dalam format penulisan
apapun. Shawn pernah menulis ke sahabatnya sesama wartawan Hobart Weekes
pada 1943, betapa ia benci dengan diksi kata killing, dan
berandai-andai jika memungkinkan: setiap perang dapat ditulis dan
dilansir di media tanpa harus menggunakan kata killing itu. Sebuah
pengandaian yang tak terkabul.
Shawn juga tak suka narasi
mengenai dampak bom setelah meledak. Terkecuali, jika narasi itu
menimbulkan impresi pembaca yang mendorong pengurangan bom dalam perang,
maka Shawn akan senang hati untuk mengendalikan perasaannya yang
terlalu peka. Selama 54 tahun kariernya di New Yorker, Shawn hanya
pernah satu kali memberikan kontribusi artikel tentang bencana yang
dialami manusia (itupun tidak dengan by name, cuma ada inisial namanya
“W.S.” di akhir artikelnya) dan diberinya judul “The Catastrophe,”
sebuah kisah imajinasi jika sebuah meteor menghancurkan kota New York.
Ketika
Shawn menjadi pemimpin redaksi, beberapa tulisan yang membawa semangat
macam “The Catastrophe” beberapa kali muncul, seperti tulisan Joseph
Mitchell “The Bottom of the Harbor,” Rachel Carson “Silent Spring,”
Barry Commoner “The Closing Circle,” dan Jonathan Schell “The Fate of
the Earth.” Hersey memahami kecenderungan Shawn, tapi ia sendiri tak
pernah menulis artikel-artikel semacam tadi. Sampai Hersey berangkat ke
Cina, ia belum menemukan satu outline yang dirasa meyakinkan, baik bagi
dirinya maupun Shawn.
MARET 1946, muncul berita bahwa
Amerika Serikat akan menguji coba sebuah bom atom dua bulan mendatang.
Sebagai seorang reporter yang punya tipikal takut kehilangan news peg,
Hersey mengirim kawat kepada Shawn langsung dari Cina yang isinya
kemungkinan ia akan mempercepat kepergiannya ke Jepang bulan Mei dan
mengirim artikelnya dari sana demi mengejar waktu seiring rencana uji
coba bom atom. Meski dalam kawatnya itu, sebagaimana dikutip Yagoda
dalam About Town, Hersey menyambung:
Still think it would be
advantageous to wait and write them upon my return; in that case you
would not get them into print until July or perhaps around the
anniversary of the Hiroshima bomb an August. Personally I don’t see why
the may experiments should detract from the Hiroshima story provided eye
can get in the sort of detail we envisaged.
Shawn langsung membalas pada hari yang sama:
Eye
was about was about to cable you urging you to do piece as we
originally planned. We do not think that may experiment will affect it.
The more time that passes the more convinced we are that piece has
wonderful possibilities. No one has even touched it. Think best to write
it back here and time it for anniversary.
Hersey jadi merasa
tak harus buru-buru. Dalam pelayarannya ke Jepang, dia masih belum
menemukan pendekatan untuk mengisahkan Hiroshima. Sialnya lagi, serangan
flu menyergapnya saat melayari selat Jepang. Sambil berbaring,
istirahat, Hersey membaca novel karya Thornton Wilder 1927 yang
dipinjamnya dari perpustakaan kapal. Judulnya The Bridge of San Luis
Rey, cerita mengerikan dengan seting abad ke-18 di Peru dari titik
pandang lima karakter yang berbeda.
Tak dinyana, novel inilah
yang memberi inspirasi Hersey untuk mengemas Hiroshima. Dalam kepalanya,
ia harus mencari lima orang narasumber utama yang mengalami peristiwa
ledakan bom atom. Dari pengalaman lima korban itu ia akan membangun
narasi yang terpotong-potong dengan penutup yang menohok atau sebaliknya
menggantung di akhir tiap potongan. Pembaca akan mengikuti kronologi
yang tidak mengalir utuh melainkan terpencar-pencar dalam lima tokoh, di
mana setiap tokoh memiliki karakter unik.
Pada 25 Mei 1946,
Hersey mendarat di Hiroshima Port. Kurang dari setahun setelah bom atom
jatuh di kota itu, Hiroshima masih hancur lebur. Tak ada gedung permanen
apalagi yang bertingkat seperti sebelum perang. Penduduk tinggal di
rumah-rumah semi permanen yang terbuat dari kayu atau cetakan bata yang
kasar dan tidak dilapisi semen. Ada banyak jalur rel kereta api dan
trem, tapi tak bisa berfungsi karena tak ada listrik, sementara batubara
sangat mahal. Nyaris tak ada pohon kecuali yang sengaja ditanam di
Jalan Heiwa Odori yang saat ini dikenal sebagai Peace Boulevard Avenue.
Itu pun banyak yang kering karena tanah masih terpengaruh radiasi atom.
Sungai juga belum sepenuhnya bersih dari pengaruh radiasi. Beberapa
jembatan masih bertahan, tapi di tepinya masih tercetak balur-balur
hitam bayangan radiasi. Dari berbagai balur hitam tersebut bisa
diketahui titik ketinggian di mana bom atom meledak.
Turun dari
kapal, Hersey segera mencari informasi di mana ia bisa menginap. Tapi,
tak ada satu pun orang Jepang yang bisa bicara dalam bahasa Inggris di
pelabuhan itu. Hersey sudah menghapal beberapa kalimat dan kata-kata
Jepang yang berguna baginya seperti tabemasu (makan), nomimasu (minum),
hoteru (hotel), resutoran (restoran), dan kalimat-kalimat tanya yang
sopan. Cuma tiap kali ia coba bicara dalam bahasa Jepang, orang Jepang
yang diajaknya bicara selalu membetulkan cara pengucapannya. Dan sesudah
pengucapannya benar, lawan bicaranya akan menjawab dengan panjang lebar
dalam bahasa Jepang yang tidak ia mengerti.
Untungnya Hersey
menguasai sebagian huruf kanji yang dipelajarinya di Cina sejak kecil
dan diulang lagi ketika bertandang ke Cina sebelum Hiroshima. Huruf
kanji di Cina sama artinya dengan huruf kanji di Jepang meski
pelafalannya berbeda. Di samping itu Hersey juga mempelajari penggunaan
abjad hiragana dan katakana yang biasa digunakan sehari-hari oleh
masyarakat Jepang bersamaan dengan abjad kanji. Jadi ketika Hersey tak
paham apa yang dimaksud lawan bicaranya, ia akan meminta lawan bicaranya
itu menulis dalam abjad mereka. Pedomannya bagi Hersey, abjad hiragana
digunakan untuk kata-kata umum, katakana digunakan untuk kata dan
istilah asing, sedangkan kanji untuk nama dan istilah Jepang yang baku.
Hersey
mencari seorang asing yang mengenal betul Hiroshima, siapa saja. Maka
seorang perempuan belasan tahun, Midori Murata, yang ditemukannya sedang
berbelanja ikan, membawanya ke seorang pastor Jesuit di sebuah kapel
darurat. Pastor itu berumur 39 tahun, mukanya cekung dengan leher
panjang dan jakun yang menonjol. Pertama bertemu seolah mereka sudah
kenal nama, Hersey langsung disapa hangat oleh pastor itu tanpa
menanyakan nama, melainkan dengan pertanyaan,“Where are you come from?”
“New York, America. What about you?” jawab Hersey.
“America? Me? German!” balas pastor itu tertegun. Agak kikuk ia berpaling ke Nona Murata.
“Amerika kara?” ulang Murata yang juga kaget.
Hersey juga tertegun, asal negara bisa menjadi awal yang tidak mengenakkan. Tapi ia mencoba mencairkan suasana.
“Watashi
no namae wa John Hersey desu ne. Hajimemashite!” ujar Hersey sambil
membungkukkan badan menghormat. Cukup berhasil, sang pastor dan nona
Murata cepat pulih dari keterkejutan mereka.
“My name is Wilhelm Kleinsorge. Nice to meet you,” Pastor itu menjabat tangan Hersey erat-erat, “Have a seat, please!”
Hersey
mengambil tempat duduk sederhana yang terbuat dari peti kayu murahan.
Murata mengamati Hersey, menurutnya orang ini cukup tampan dan gagah,
badannya tinggi. Ketika Murata pertama kali bertemu di Hiroshima Port,
ia terkesan dengan lubang Hersey yang melancip ke depan, dan lubang
hidung itu akan selalu terlihat oleh Murata tiap kali ia mendongak
bicara dengan orang asing itu. Murata pula yang akhirnya diminta Pastor
Kleinsorge untuk mencarikan penginapan bagi Hersey.
Di
penginapan yang kini telah menjadi hotel kecil Dormy-in di distrik
Ko-machi, Hersey mulai mengumpulkan informasi dengan teknik bola salju
mulai dari kisah Pastor Kleinsorge. Pada hari kedua sore hari, pintu
kamarnya diketuk dari luar. Hersey membuka pintu dan dilihatnya seorang
anak lelaki membawakan pakaiannya yang telah dicuci dan diseterika. Anak
kecil itu begitu kaget melihat Hersey, tanpa sempat mengucap kata, ia
langsung berbalik dan lari dengan masih membekap pakaian Hersey. Tak
berapa lama, seorang ibu muda datang kembali bersama anak itu dan
pakaian Hersey yang tertekuk-tekuk. Ibu itu meminta maaf dengan sopan
dan berjanji akan menyeterika ulang pakaian Hersey. Wartawan Amerika itu
berjongkok di depan si anak dan tersenyum,
“Watashi no namae wa John Hersey. Hajimemashite. Anata no namae wa…”
“Toshio, Toshio Nakamura,” Ibunya yang menjawab.
Nakamura
kecil melihat Hersey kemudian tersenyum kembali pada ibunya. Ia merasa
orang asing ini menyukai ibunya. Terbukti Hersey mempersilakan mereka
masuk dan mengajak bicara. Ibunya, Hatsuyo Nakamura tidak bisa berbahasa
Inggris, lebih sering keduanya tersenyum-senyum saja. Mereka
berkomunikasi lewat tulisan dan campuran bahasa Inggris-Jepang yang
kacau. Sesekali Hersey membuka kamus untuk memahami tulisan Nakamura,
lalu saling tersenyum dan mengangguk-angguk lagi.
Besoknya,
Hersey yang datang ke rumah keluarga Nakamura. Ia naik sepeda. Kali ini
bahasa Jepangnya lebih lancar. Toshio yang semula takut berubah jadi
kagum. Setelah satu jam bicara dengan ibunya, Hersey memberikan uang
entah berapa yen, tapi ditolak oleh Nakamura. Hersey bilang uang itu
pengganti jam kerja yang hilang untuk menjahit atau mencuci baju.
Nakamura tetap menolak. Menurutnya berbicara itu bukan kerja.
Toshio
yang siang itu sudah pulang dari sekolah darurat, diajak Hersey
keliling kota. Ibunya mengizinkan. Maka Toshio pun jadi pemandu jalan
dengan membonceng sepeda. Hiroshima pada waktu itu tak seluas sekarang,
bila dibandingkan kira-kira besarnya sama dengan kota Yogyakarta. Mereka
berdua bersepeda mulai dari daerah utara Gokoku Shrine di area
reruntuhan Hiroshima Castle hingga ke selatan sampai daerah Senda-machi
tempat berdiri rumah sakit Palang Merah yang menjadi salah satu pusat
perawatan korban bom atom.
Sengaja mereka tidak lewat jalan
protokol Rijo-dori, melainkan lewat padang pasir di lingkaran inti
seputar pusat ledak yang sekarang telah jadi ruang publik dengan
berjibun aneka pohon dan bunga. Ketika bom atom meledak, semua penduduk
di distrik itu tewas secara mengenaskan. Tak ada lagi yang mau tinggal
di daerah itu. Selain berulang-ulang menanam pohon (sampai beberapa
tahun tanah yang terkena radiasi sulit ditumbuhi pohon secara normal),
pemerintah Jepang juga membangun museum seni, museum anak, kolam renang,
youth center, dan stadion baseball. Khusus di stadion baseball, tiap
Agustus, seminggu pertama, diselenggarakan World Conference Against A
& H Bombs (Atomic & Hydrogen Bombs).
Di area Saiku-machi
yang kemudian diubah namanya jadi Ote-machi 1 chome, sebelah barat-daya
stadion baseball, berdiri tegar kerangka gedung Hiroshima Prefecture
Industrial Hall. Kerangka gedung ini satu-satunya yang masih tegak di
Hiroshima setelah bom atom meledak. Padahal jaraknya kurang 200 meter
dari pusat ledak. Maklum, temboknya setebal setengah meter. Cuma semen
luarnya saja yang terkelupas di beberapa sisi. Kubahnya yang mirip
masjid Istiqlal di Jakarta, tinggal kerangka bajanya saja dan tampak
seperti sangkar burung yang besar. Di prasasti yang dipasang di pinggir
sungai Motoyasu persis di seberang kerangka, tercatat bahwa gedung ini
selesai dibangun pada 5 April 1915 oleh arsitek asal Czech, Jan Letzel.
Hersey
dan Toshio sempat masuk bersama ke kerangka gedung ini dan mengamati
bekas radiasi asap di temboknya. Sejak 1967, orang sudah tak mungkin
masuk tanpa izin dan kepentingan yang sangat khusus. Beberapa pasak besi
yang tinggi ditata sedemikian rupa untuk menjaga agar kerangka ini
tidak runtuh. Nama Hall pun diubah menjadi A-bomb Dome.
Setelah
Hersey dan Toshio puas mengelilingi A-bomb Dome, mereka berdua
menyeberang jembatan Aioi dan belok ke kiri ketika sampai tengah
jembatan yang ujungnya tiga ini (jembatan ini berdiri di atas Sungai Ota
yang terbelah dua jadi sungai Honkawa dan Motoyasu), masuk ke delta
Nakajima-cho yang juga jadi padang pasir. Di delta itu dibangun sebuah
Cenotaph untuk mengenang para korban. Ukurannya 1,5x2 meter dengan
tinggi 1,8 meter berbentuk mirip tandu untuk mengusung jenazah. Begitu
bersimpuh di depan Cenotaph yang lowong itu, siapa pun akan melihat
A-bomb Dome di kejauhan persis di tengah lowongan Cenotaph. Tahun demi
tahun, Nakajima-cho berubah menjadi Peace Memorial Park yang teduh. Ada
Peace Memorial Museum di bagian selatan yang berbatasan dengan Heiwa
Odori/Peace Boulevard Avenue. Di museum ini pemerintah Jepang bersama
warga membangun diorama sejarah Hiroshima sebelum, tatkala, dan sesudah
bom atom meledak.
Dari Nakajima-cho, Toshio mengajak Hersey
menyeberangi Sungai Honkawa lewat jembatan Nishi Heiwa untuk mengunjungi
kantor koran Chugoku Shimbun. Menurut Toshio, mulanya Hersey sangat
bersemangat memasuki kantor koran utama di Hiroshima itu, tapi sesampai
di sana ia disambut sinis dan dingin. Tak ada yang kenal The New Yorker
maupun Life, sebagian kecil tahu Time tapi dengan sudut pandang buruk
bahwa majalah itu sekadar alat propaganda Amerika. Hersey keluar dari
kantor Chugoku Shimbun dengan muka kecut.
Sesudah itu baru
mereka bergerak ke tenggara menuju Senda-machi. Beberapa kali Hersey
berhenti untuk mengamati sesuatu, bertanya pada orang, mencatat, dan
meminta lawan bicaranya menulis menurut bahasa mereka, membuat
gambar-gambar yang Toshio sendiri tak mengerti apa maksudnya.
MENURUT
dokumentasi The New Yorker, Hersey mewawancara 40 hibakusha (korban bom
atom), dua ahli kedokteran, dan dua rohaniwan. Dari sekian banyak
sumber, Hersey mengangkat enam pengalaman narasumber. Mereka adalah
janda Hatsuyo Nakamura, staf personalia East Asia Tin Works Toshinki
Sasaki, dokter Masakazu Fujii, Pastor Wilhelm Kleinsorge, ahli obat
Terufumi Sasaki, dan pendeta Kiyoshi Tanimoto.
Dari catatan
Hersey sendiri, para sumbernya tidak bisa dikatakan secara
sosial-ekonomi merepresentasikan penduduk Hiroshima. Kepada Harold Ross,
editor The New Yorker, yang memeriksa hasil reportasenya, Hersey
menyatakan bahwa soal bahasa menjadi kendala utama untuk melakukan check
and recheck informasi yang didapatkannya.
Toshio Nakamura
menyatakan tak ada data yang salah dari laporan Hersey, kecuali
kurangnya detail pada peristiwa yang dialami oleh adiknya Yaeko
Nakamura. Dalam laporan Hersey, Yaeko tidak pingsan melainkan langsung
ditolong ibunya setelah Myeko dan Toshio.
Bagaimana Hersey menulis hasil reportasenya?
Sekembalinya
ke New York pada 12 Juni 1946, Hersey langsung konsentrasi menulis
selama enam minggu. Pertama dia memperkuat outline yang telah
dikonstruksikan di Jepang berdasarkan kesaksian enam narasumber, baru
kemudian mulai menulis artikel tersebut. Seperti menatah patung, ia
tidak menulis dari awal sampai akhir melainkan menggarap bagian per
bagian, satu bagian ditulis lalu pindah ke bagian lain, di hari
selanjutnya ia bisa saja kembali ke bagian awal untuk memperkuat fakta,
mengurangi atau memperhalus tulisan, lalu pindah ke bagian lain lagi
sesuai outline.
Enam minggu lewat, tulisan Hersey yang diberinya
judul “Hiroshima” selesai. Jumlahnya lebih dari 30 ribu kata, terbagi
dalam empat bagian dan tiap bagian dipecah dalam enam sosok narasumber.
Di beberapa sekuen, antar sosok itu bertemu dan bersimpangan, tapi tak
pernah ada sekuen yang menyebut mereka berkumpul jadi satu. Bagian
pertama diberi judul A Noiseless Flash, kedua The Fire, ketiga Details
are being Investigated, dan terakhir Panic Grass and Feverfew.
Hersey
sengaja memecah tulisannya yang direncanakan masuk rubrik Reporter at
Large dalam empat edisi The New Yorker. Ia sudah berpikir setelah The
New Yorker menerbitkannya, maka empat tulisan itu akan dia sempurnakan
lagi menjadi satu buku.
Tapi William Shawn yang membaca naskah
pertama Hersey punya kesimpulan lain. Seluruh bagian itu harus
dipublikasikan dalam sekali terbit. Ia begitu terpukau membacanya. John
Lardner, wartawan Newsweek, pernah mewawancarai Shawn sehubungan dengan
artikel Hiroshima itu dan menulis, Hersey had, in typical New Yorker
fashion, refocused on the scene at the beginning of each installment. To
Shawn, this made the story lose much of its impact and he went to Ross
with a suggestion that was daring even for the New Yorker. “This,” he
said, “can’t be serialized. It’s got to run all at once.”
Shawn
sendiri pada awalnya kebingungan untuk memberi alasan mengapa naskah
Hersey harus diterbitkan dalam satu edisi. Sebab, jika idenya itu
direalisasikan, satu edisi The New Yorker Agustus 1946 akan melulu
berisi artikel Hersey, alias menggusur artikel-artikel lain yang sudah
disiapkan. Dan itu tidak lazim bagi pembaca The New Yorker yang, meski
fanatik membaca artikel-artikel panjang, terbiasa menerima sajian lebih
dari satu artikel untuk satu edisi. Shawn akhirnya menemukan alasan itu,
seperti yang pernah tercantum dalam editorial edisi pertama The New
Yorker Februari 1925, “The New Yorker starts with a declaration of
serious purpose…” Harold Ross yang membantu Shawn menyunting tulisan
Hersey setuju saja.
Selama 10 hari, Shawn dan Ross menyunting
tulisan Hersey di ruang editor yang terkunci. Tak ada yang tahu apa yang
terjadi di ruangan itu kecuali seorang pembantu yang tugasnya
membersihkan ruangan. Bagi Hersey, suatu kehormatan besar bila
tulisannya disunting oleh Harold Ross. Dalam sejarah The New Yorker,
Ross dikenal sebagai editor paling teliti, halus, dan memberi nyawa bagi
tulisan yang disuntingnya. Sampai pernah William Maxwell menulis kepada
John Updike pada 1960, keduanya kontributor di majalah itu, “Sayang
sekali jika kamu belum pernah mendapat catatan suntingan dari Ross.”
Untuk bagian pertama tulisan Hersey saja, Ross memberi catatan dan
koreksi sampai 47 buah. Setelah direvisi oleh Hersey, Ross masih memberi
27 catatan. Hingga revisi terakhir pun, Ross masih mencatat enam
kalimat yang perlu diperbaiki Hersey yang akhirnya digubah sendiri oleh
Ross.
Pada 31 Agustus 1946, The New Yorker yang hanya berisi
tulisan Hersey beredar di pasaran. Tulisan lain hanya satu paragraf
editorial yang mendahului artikel Hersey, berjudul “To Our Readers”:
The
New Yorker this week devotes its entire editorial space to an article
on the almost complete obliteration of a city by one atomic bomb, and
what happened to the people of that city. It does so in the conviction
that few of us have yet comprehended the all but incredible destructive
power of this weapon, and that everyone might well take time to consider
the terrible implications of its use.
Artikel Hersey mengalir
dari halaman awal sampai akhir majalah, hanya disisipi satu ilustrasi
abstrak dan tidak diinterupsi oleh newsbreak (gambar-gambar kecil) atau
satu pun iklan. Agak unik dan mencengangkan memang, bahkan melanggar
kebiasaan lay out The New Yorker yang tak pernah membiarkan halamannya
hanya dipenuhi rumput tulisan tanpa gambar.
Toh begitu digelar
di pasar pada hari pertama, majalah edisi tersebut langsung ludes
terjual. Seorang pelanggan, sebagaimana dikutip Ben Yagoda dalam bukunya
About Town, menulis ke The New Yorker, “no one talking about anything
else but the Hersey article for the last two days, either in trains,
restaurants, or at home.”
Majalah Time dan Herald Tribune sampai
menulis editorial tentang artikel Hersey tersebut. Albert Einstein,
sang penemu rumus atom, memutuskan untuk membeli 1.000 eksemplar edisi
“Hiroshima” itu, tapi ia tak berhasil mendapatkan satu pun di
lapak-lapak penjual majalah.
Pada malam 9 hingga 12 September
1946, radio ABC di Amerika dan BBC di Inggris menyiarkan pembacaan
artikel Hersey selama setengah jam kali empat hari (total dua jam) tanpa
diselingi iklan. Tak berapa lama, “Hiroshima” Hersey pun dicetak ulang
dalam bentuk buku 90 halaman. Buku yang dijual dengan harga US$ 5,99 per
eksemplar itu dengan segera menjadi best seller. Saturday Review of
Literature, sebuah buletin yang fokus pada peningkatan mutu bacaan di
Amerika Serikat, sampai menulis “Everyone able to read should read it.”
Sebetulnya
di mana letak kekuatan reportase Hersey tersebut hingga menjadi
masterpiece jurnalisme? The New York Times yang dikutip di sampul
belakang buku menjawab, “Nothing can be said about this book that can
equal what the book has to say. It speak for itself, and in an
unforgettable way, for humanity.”
Tampaknya pengaruh William
Shawn dalam proses mulai perencanaan reportase hingga penyuntingan
artikel cukup besar menentukan hasil akhir karya Hersey. Jika suntingan
Ross berkonsentrasi pada detail narasi artikel, maka suntingan Shawn
menyusupkan napas humanisme dalam tulisan. Artikel “Hiroshima” itu sama
sekali berbeda dengan reportase peristiwa-peristiwa perang lainnya. Tak
ada jumlah korban disebut, tak ada soal teknis persenjataan maupun
pesawat pembawa bom, pun tak ada keterangan tentang bom atom itu
sendiri, meskipun Hersey sudah mengumpulkan semua data itu sebelum
datang ke Hiroshima. Artikel ini hanya bertutur soal apa yang dialami
oleh enam orang penduduk Hiroshima sebelum, saat, dan sesudah bom atom
jatuh. Itu saja.
Namun dengan gaya jurnalisme sastrawi, artikel
tersebut menjadi sangat menyentuh, sekaligus menjadi politis tanpa usaha
memolitisasi sedikit pun. “Hiroshima” Hersey disebut-sebut dalam materi
kuliah Nieman Fellowship di Universitas Harvard, Cambridge, telah
menghentikan perdebatan antara politisi, agamawan, dan ilmuwan bom atom.
Kesimpulannya uji coba bom atom selayaknya dihentikan. Sayangnya, dalam
perang dingin yang kemudian bergolak antara Amerika Serikat dan Uni
Soviet, kesimpulan itu seolah menjadi suara dari padang gurun. Hanya
sayup terdengar.
AWAL tahun 1947, Hatsuyo Nakamura menerima
kiriman artikel “Hiroshima” dari John Hersey. Demikian juga dengan
narasumber lain, baik yang menjadi sosok utama maupun sosok yang
melintas dalam peristiwa yang dialami enam sosok utama itu. Nakamura
mengirim kartu pos ucapan terima kasih kepada Hersey, tapi juga
permintaan maaf karena ia tak bisa membaca artikel berbahasa Inggris
tersebut.
Hersey merasa agak bersalah dan trenyuh. Ia berusaha
mencari sponsor agar bukunya diterjemahkan dan ditulis dalam alfabet
Jepang (hiragana, katakana, dan kanji), sehingga siapa pun orang Jepang
bisa membaca tulisan ini.
Hersey tak menunggu lama. Random
House, Inc. dan Alfred A. Knopf, Inc. mengalokasikan dana untuk
penerjemahan dan penulisan dalam bahasa Jepang. Meski hak cipta ada di
tangan Hersey, ia membebaskan siapa pun untuk mencetak edisi bahasa
Jepang yang berjudul Hiroshima-shi. Setiap tahun menjelang peringatan
jatuhnya bom atom pada 6 Agustus, buku ini dicetak ulang dan masih tetap
saja banyak dibeli orang. Pidato upacara peringatan tiap tahun di
lapangan Peace Memorial Park juga pasti selalu mengutip satu-dua kalimat
tulisan Hersey.
Nakamura membeli satu buku Hiroshima-shi. Ia
mengirim surat kepada Hersey bahwa anaknya, Toshio sangat terharu dan
bangga dengan buku tersebut. Maklum, Hersey menutup buku itu dengan
mengutip tulisan pekerjaan rumah yang dibuat Toshio untuk gurunya.
Isinya tentang pengalaman Toshio sehari sebelum dan sesudah bom atom
meledak.
Begini Toshio menulis, “Sehari menjelang bom, saya
pergi berenang. Pada pagi hari bom, saya sedang makan kacang. Saya
melihat cahaya berkilat. Saya terlempar ke dipan adik perempuan saya.
Ketika kami selamat, yang saya lihat hanya reruntuhan sejauh mata
memandang. Kami pergi ke lapangan. Angin berpusar kencang sempat sekali
datang. Pada malam harinya sebuah tangki gas terbakar dan saya lihat
bayangan apinya menjilat tercermin di permukaan sungai. Kami tidur di
lapangan semalaman. Esoknya, saya pergi ke jembatan Taiko dan bertemu
dengan dua teman perempuan saya, Kikuki dan Murakami. Mereka sedang
kebingungan mencari-cari ibu mereka. Tapi setahu saya, ibunya Kikuki
luka berat dan ibu Murakami, telah meninggal dunia.”
Pada
Agustus 1985, keluarga Nakamura dicengangkan dengan kedatangan Hersey ke
rumah mereka di Nobori-cho. Toshio yang membukakan pintu. Tapi berbeda
dengan 39 tahun lalu, Toshio tidak lari. Ia hanya bertanya-tanya dalam
hati, siapa gerangan orang kulit putih, dengan uban kelabu dan kacamata
berbingkai hitam tebal di hadapannya itu.
“Watashi no namae wa John Hersey desu. Anata no namae wa…,” sapa John Hersey
Hatsuyo Nakamura berjingkat sigap, “Toshio, Toshio Nakamura. Aaa Jono Hereshi saaan…”
Perempuan
lewat paroh baya itu hendak membungkuk hormat, namun John Hersey segera
memeluknya. Toshio melihat muka ibunya bersemu merah.
Pada 6
Agustus 2002, muka Hatsuyo Nakamura tampak sedih mengenang pertemuan
tersebut. Ia menunjukkan dua telegram yang lama disimpannya, satu
tentang kematian suaminya Isawa Nakamura, dan satunya lagi berbunyi,
“John Hersey died at home in Key West, Florida on March 24, 1993. He
told me to inform you before. Regards, Barbara Hersey.”*
Di Sadur dari Blog Musthofa Bisri