Senin, 17 Desember 2012

Soe Hok Gie, 17 Desember 1942 Lalu


SELAMAT ULANG TAHUN ,SOE HOK GIE.Kenangan 15 tahun lalu itu tak lekang di kepala saya.
Di salah satu ruang bawah tanah kampus Universitas Nasional Jakarta di Pasar Minggu, belasan anak muda secara serius mendiskusikan isi buku Catatan Seorang Demonstran (CSD). Usai berdiskusi, mereka merencanakan penyebaran copy buku tersebut. Tujuannya menumbuhkan semangat perlawanan di kalangan mahasiswa baru terhadap rezim Orde Baru. CSD sendiri adalah judul sebuah buku harian dari Soe Hok Gie yang diterbitkan oleh Penerbit LP3ES. Berisi pandangan-pandangan pribadi politik, pesta dan cinta tokoh mahasisiswa idealis asal UI itu.



Mengapa saya menyebut peristiwa usang (dan mungkin bagi anda tidak ada artinya sama sekali) dalam pembukaan tulisan ini? Tentu saja, bagi saya itu laik dikenang. Karena saya ingin menegaskan, setelah 26 tahun Soe wafat, “petasan-petasan berisi bom” (istilah Soe untuk pemikiran-pemikiran yang ditulis dalam sejumlah artikelnya), seolah masih menyala dan mempengaruhi kami pada waktu itu, untuk terus melawan kezaliman Jenderal Soeharto, hingga ia turun pada 21 Mei 1998.

Soe memang bukan sembarang anak muda. Ia jauh dari tipikal “mahasiswa bergaya ternak,” sebuah istilah budayawan Emha Ainun Nadjib untuk mahasiswa yang tujuannya semata-mata bisa kuliah dengan tenang,lulus dengan angka-angka memuaskan, kerja di perusahaan-perusahaan mapan lalu “bahagia dunia akhirat” dalam ikatan pernikahan. Ia memang anak muda yang luar biasa. Bukan saja untuk ukuran saat itu,tapi juga saat ini, ketika kebenaran hati nurani banyak dipertaruhkan.

Dan tentu saja,seseorang yang hebat seperti Soe,tidak menjadi begitu saja. Pastinya semua prinsip yang ia miliki,dibangun lelaki penyayang binatang itu dari sejak remaja. Simaklah kisah pemberontakan pertama remaja Soe. Suatu hari akibat mendebat seorang guru sastra di sekolahnya,nilai ulangan lelaki Hokian itu ditahan.

Terhadap praktek ketidakadilan itu, Ia meradang dan berniat melakukan koreksi habis-habisan terhadap sang guru, ”Guru yang model gituan.Yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar.Dan murid bukan kerbau,”tulis Soe dalam catatan hariannya tertanggal 8 Februari 1958.

Kejadian itu menjadi titik yang kian membesar. Kamarahan seorang remaja berubah menjadi kemarahan seorang rakyat kepada para pemimpinya kala suatu hari di bulan Desember 1959, ia menemukan seorang penduduk Jakarta yang kelaparan makan kulit mangga dari tong sampah.Sambil memberikan semua uang jajannya kepada si pemakan kulit mangga itu, diam-diam ia marah. Kali ini bukan kepada sang guru sastra,tapi kepada Presiden Soekarno dan kawan-kawan seperjuangannya.

“Mereka yang telah mengkhianati apa yang dulu mereka perjuangkan,harus ditembak mati di Lapangan Banteng,”tulisnya keras.

Dan kemarahan Soe terbukti bukanlah letupan yang bersifat sesaat. Ternyata ia memegang erat itu. Semua orang mafhum jika sejak 1963,ia telah menjadi salah seorang pemimpin perlawanan mahasiswa Indonesia terhadap Soekarno dan dominasi PKI. Berbekal semangat idealisme, Soe memimpin kawan-kawannya untuk turun ke jalan. Tidak cukup berteriak, dalam sebuah demonstrasi di muka Istana, ia pernah nekad menghadang panser tentara dengan tidur terlentang.

Prilakunya itu seolah menyiratkan semangat yang ditulisnya dalam 3 bait puisi:

Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran

Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi

Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?


Tapi Soe bukan sekadar demonstran yang hanya pandai berteriak dan menuruti apa kata korlap (koordinator lapangan) semata. Ia pun seorang anak muda yang gila membaca, pandai menulis dan berpikir . Artikelnya menyebar di berbagai surat kabar nasional saat itu. Isinya,apa lagi jika bukan kritik keras (bahkan dalam beberapa kesempatan ia langsung menunjuk hidung) terhadap segala bentuk ketidakadilan.Bukan saja ketidakadilan buat pihaknya, tapi juga ketidakadilan yang kelak dilakukan oleh sekutu politiknya (baca:tentara).

Dalam sebuah artikelnya ia mengecam pembantaian ratusan ribu anggota PKI,yang justru saat itu berposisi sebagai musuh politiknya. Dia menulis: “Jika mereka memang bersalah,adililah mereka dan hukum (kalau perlu hukuman mati),tetapi yang tidak bersalah supaya dibebaskan. Mereka adalah manusia,punya istri, anak,orangtua dan sahabat yang mengharap-harapkannya.”

Soe memang seorang humanis dalam garis yang tak mengenal batas-batas. Ia seorang yang jujur dan berani. Dan juga mengerikan, kata almarhum Nugroho Notosusanto. Mengapa? Karena jika ia sudah memiliki prinsip,maka dengan prinsipnya tersebut Soe akan maju lurus tanpa kompromi. “Maka seringkali ia bentrok karena dianggap tidak taktis,”tulis karib Soe yang belakangan menjadi salah satu sekrup rezim Orde Baru tersebut.

Karena konsistensi, kejujuran sekaligus “kegilaannya” tersebut menjadikan saya sangat menghormati dan mengagumi Soe.Kendati demikian, semua itu tidak lantas membuat saya menjadikannya sebagai “berhala” dalam hidup saya. Sebagai manusia, tentu saja ia juga punya banyak kelemahan.

Kelemahan Soe,salah satunya adalah ia mendambakan mati muda (yang ternyata terkabulkan). Apa artinya idelalisme jika ia seolah “tidak berani” mengotentikan semua diyakininya di masa tua? Bukankah itu seperti tindakan melarikan diri dari masalah? Lelah untuk bertempur? Untuk soal ini,saya justru sangat kagum kepada Soe Hok Djin (Arief Budiman) –saudara Soe Hok Gie--yang menurut saya jauh lebih teruji sebagai seorang idealis hingga kini.

Hari-hari ini, Soe banyak digandrungi khalayak. Saya sering melihat foto Soe yang sedang duduk di tringulasi Gunung Pangrango dalam gaya Buddha, menghiasi kaos oblong yang dikenakan anak-anak muda saat ini. Tapi bagaimana persisnya mereka mengetahui dan melihat sosok Soe, saya sama sekali tidak tahu. Yang saya tahu, sejak hidup Soe difilmkan Riri Riza, sosoknya seolah larut terbawa dalam gemuruhnya budaya pop. Sama halnya seperti nasib Che Guevara,Si Revolusiener Gondrong yang setelah gugur,sosoknya justru dieksploitasi habis-habisan oleh kapitalisme.

Iseng-iseng, suatu hari, saya pernah bertanya kepada seorang mahasiswa perempuan (yang tak lain adalah kerabat saya sendiri) : Apa yang anda bayangkan dari sosok Soe? Jawabnya mengejutkan dan bikin sedih: “Dalam bayanganku,Soe itu seperti Nicholas (Nicolas Saputra pemeran Soe dalam film Gie),”ujarnya sambil tersenyum tanpa merasa “berdosa”.

Soe Hok Gie memang telah lama pergi. Hari Minggu kemarin adalah tepat tahun ke 43, sang demonstran itu tiada akibat terbunuh gas H2S di Gunung Semeru (jika dia masih hidup hari ini pas ulang tahunya yang ke-70). Sementara kini abu jasadnya bisa jadi tengah berterbangan ditiup semilir angin di Lembah Mandalawangi. Ya,tak ada yang tersisa darinya tubuhnya, kecuali kenangan, harapan dan semangatnya yang akan terus menyala di dada orang-orang yang telah bertekad untuk “meresapi panas dan hujan”. "Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar terimalah dan hadapilah" tulis Soe dalam sebuah puisi yang pernah ditulisnya: Mandalawangi-Pangrango.

Ya untuk soal hidup, konsistensi, kejujuran dan rasa kasih tanpa sekat, saya pikir kita pantas belajar kepada Soe Hok Gie. dari fb hendijo