Andreas Harsono
Institut Studi Arus Informasi
Istilah
jurnalisme sastrawi adalah salah satu dari sekian banyak nama buat
genre tertentu dalam jurnalisme. Wartawan Amerika Tom Wolfe pada 1974
memperkenalkannya dengan nama "jurnalisme baru." Ada juga yang memakai
nama "narrative reporting". Ada juga yang pakai nama "passionate journalism." Tapi ada yang secara sederhana mengatakannya “tulisan panjang.”
Tapi intinya, genre ini menukik lebih dalam daripada apa yang kita kenal sebagai in-depth reporting.
Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke
dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan
hal tersebut.
Tulisannya biasanya panjang. Majalah The New Yorker bahkan pernah hanya menerbitkan laporan John Hersey berjudul “Hiroshima” dalam satu edisi majalah.
Wawancara
untuk sebuah laporan bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan ratusan,
nara sumber. Risetnya juga tidak main-main. Waktu bekerjanya juga tidak
seminggu atau dua. Tapi bisa berbulan-bulan.
Memang reportase
adalah bagian yang melekat dengan genre ini. Data-data diperoleh dari
liputan di lapangan dengan tangguh. Menembus sumber dengan gigih. Pagi
hingga malam. Riset yang makan keringat. Wawancara yang berjibun. Ia
menukik tajam hingga mampu menterjemahkan, misalnya, sesosok kepribadian
manusia dengan segala kerumitannya ke dalam kata-kata.
Bahasanya
tidak harus mendayu-dayu. Bahasa bisa lugas. Dari segi struktur
karangan, genre ini bentuknya model gelombang sinus. Naik turun. Liar.
Tapi ia juga cantik dan memikat. Rasanya pembaca tidak bisa melepaskan
karangan itu sebelum tuntas membaca.
Saya sering ditanya apakah
karya Seno Gumira Ajidarma "Saksi Mata" masuk dalam kategori jurnalisme
sastrawi? Saya akui karya itu sangat memukau. Tapi karya itu adalah
fiksi. Ajidarma tidak menyampaikan fakta yang nyata. Nama-nama diganti.
Tempat juga tidak disebutkan jelas. "Saksi Mata" adalah karya fiksi yang
memakai data-data pembantaian Dili pada November 1991 sebagai ide
cerita.
Ketika mendalami jurnalisme sastrawi di Amerika, saya
selalu diberitahu adanya tujuh pertimbangan bila seseorang hendak
membuat laporan dengan gaya ini.
Fakta.
Jurnalisme selalu mensakralkan fakta. Walaupun genre ini memakai kata
“sastra” tapi ia tetap jurnalisme. Karena itu fakta juga sakral baginya.
Setiap detail seyogyanya berupa kenyataan. Nama-nama orang adalah
nama-nama sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar
kejadian.
Apabila ada dua orang bertemu dan mengadakan
pembicaraan. Seorang wartawan seyogyanya mengecek kepada keduanya apakah
benar si A mengatakan ini dan si B mengatakan itu.
Orang mungkin
bisa lupa. Orang mungkin bisa berubah persepsi, seiring perjalanan
waktu. Tapi minimal, esensi dari pembicaraan itu harus disetujui A dan B
bila hendak dilaporkan dalam jurnalisme.
Kalau berbeda?
Ada
dua pilihan. Tidak dipakai sama sekali. Atau kalau pembicaraan itu
penting, dilaporkan saja dari dua sudut yang berbeda. Si A bilang ini
tapi si B bilang lain lagi.
Tapi perbedaan bisa tidak terletak
pada esensi. Biasanya ia terletak pada detail. Warna jas, warna dinding,
bau minyak wangi, permukaan papan yang kasar atau jenis sepatu bisa
diingat secara berbeda oleh orang yang berbeda. Tidak ada salahnya untuk
pergi ke situs di mana suatu kejadian terlaksana, untuk mencatat detail
di lapangan.
Konflik. Sebuah tulisan panjang
lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik. Bila Anda
berminat membuat laporan panjang, Anda seyogyanya berpikir berapa besar
pertikaian yang ada?
Tapi konflik bisa berupa pertikaian satu
orang dengan orang lain. Ia juga bisa berupa pertikaian antar kelompok.
Misalnya, upaya Arnold Ap mengembangkan kesenian Papua berbuntut
ketegangan dengan pejabat militer dari Jawa yang dikirim ke Jayapura. Ap
ditahan dan ditembak mati.
Konflik juga bisa berupa pertentangan
seseorang dengan hati nuraninya. Konflik juga bisa berupa pertentangan
seseorang dengan nilai-nilai di masyarakatnya. Pendek kata, pertikaian
adalah unsur penting dalam suatu laporan panjang.
Karakter.
Jurnalisme sastrawi mensyaratkan adanya karakter-karakter. Karakter
membantu terikatnya suatu laporan. Ada karakter utama. Ada karakter
pembantu. Karakter utama seyogyanya orang yang terlibat dalam
pertikaian. Karakter utama seyogyanya juga kepribadian yang menarik.
Tidak datar dan tidak menyerah dengan mudah (Orang yang mudah menyerah
biasanya juga tidak mau dituliskan riwayatnya).
Akses.
Anda seyogyanya punya akses kepada karakter utama atau orang-orang yang
mengenal karakter utama. Akses bisa berupa dokumen, korespondensi,
album foto, buku harian, wawancara dan sebagainya.
Saya sering
mengibaratkan akses kepada karakter utama ini dengan akses yang dimiliki
oleh seorang penulis biografi. Aksesnya luar biasa. Bisa masuk ke
masalah-masalah pribadi karakter utama. Soal percintaan, soal skandal,
soal kejahatan dan sebagainya.
Emosi. Jurnalisme
sastrawi membutuhkan emosi dari karakter-karakternya. Emosi bisa berupa
cinta. Bisa berupa pengkhianatan. Bisa berupa kebencian. Loyalitas.
Kekaguman. Sikap menjilat. Oportunisme dan sebagainya.
Emosi menjadikan cerita kita seakan-akan hidup.
Emosi
karakter juga bisa berubah-ubah bersama perjalanan waktu. Mulanya si
karakter menghormati mentornya. Suatu kejadian besar menguji apakah ia
perlu tetap menghormati mentornya atau tidak.
Di sini mungkin ada
pergulatan batin. Mungkin ada perdebatan intelektual. Ini seyogyanya
memberikan ruang buat emosi. Apa emosi si karakter ketika tahu ia
memenangkan pertarungannya? Apa perasaan si karakter ketika tahu ia
dikhianati istri atau suaminya?
Perjalanan Waktu.
Mungkin perbedaan antara jurnalisme sehari-hari dengan jurnalisme
sastrawi adalah keterkaitannya dengan waktu. Saya mengibaratkan laporan
suratkabar “hari ini” dengan sebuah potret. Snap shot. Sedangkan laporan panjang adalah sebuah film yang berputar. Video.
Robert Vare, mantan editor The New Yorker, menyebutnya “series of time.”
Peristiwa berjalan bersama waktu. Ini memiliki konsekuensi penyusunan
kerangka karangan. Mau bersifat kronologis, dari awal hingga akhir. Atau
mau membuat flashback. Dari akhir mundur ke belakang? Atau kalau mau
bolak-balik apa benang merahnya supaya pembaca tidak bingung?
Panjangnya
waktu tergantung kebutuhan. Sebuah laporan tentang kehamilan bisa
dibuat dalam kerangka waktu sembilan bulan. Tapi bisa juga dibuat dalam
kerangka waktu dua tahun, tiga tahun dan sebagainya. Tapi bisa juga
sekian menit ketika si ibu bergulat hidup dan mati di ruang operasi.
Kebaruan.
Ada unsur kebaruan yang harus Anda pertimbangkan bila hendak membuat
laporan panjang. Tidak ada gunanya mengulang-ulang lagu lama. Kalau Anda
hendak menulis cerita panjang soal pembunuhan G30S atau kerusuhan Mei
1998, sebaiknya berpikirlah dua atau tiga kali sebelum menjalankan ide
ini.
Cukup banyak fakta yang sudah diungkap oleh orang lain soal
G30S atau kerusuhan Mei 1998. Ini tidak berarti tidak ada yang masih
tersembunyi. Saya percaya masih banyak hal yang belum terungkap dari dua
peristiwa besar itu.
Tapi bersiaplah untuk mencari fakta-fakta
baru. Bersiaplah untuk menembus sumber-sumber yang paling sulit yang
belum ditembus orang lain.
Mungkin lebih mudah mengungkapkan
kebaruan itu dari kacamata orang-orang biasa yang menjadi saksi mata
peristiwa besar. Hersey mewawancarai seorang dokter, seorang pendeta,
seorang sekretaris dan seorang pastor Jerman, untuk merekonstruksi
pemboman Hiroshima.
Secara detail, Hersey menceritakan dahsyatnya
bom itu. Ada kulit terkelupas, ada desas-desus soal bom rahasia, ada
kematian yang menyeramkan, ada perasaan dendam, ada perasaan rendah
diri. Semua campur aduk ketika Hersey merekamnya dan menjadikannya salah
satu artikel termahsyur dalam sejarah jurnalisme Amerika.
Hersey mempublikasikan karyanya setahun setelah bom nuklir dijatuhkan di Hiroshima.
Konon fisikawan nuklir Albert Eistein tidak bisa mendapatkan edisi The New Yorker
pada Agustus 1946 tersebut. Einstein membaca laporan itu karena ia
berlangganan. Tapi Eistein ingin membeli enam buah lagi buat
teman-temannya. Tapi majalah itu laku habis. Einstein kehabisan.
Apa artinya?
Sederhana
saja. Einstein menemukan teori baru. Hersey juga menemukan sesuatu yang
baru. Hersey menemukan sisi bengis dari bom nuklir! Itu saja.
Disampaikan
dalam pengantar diskusi jurnalisme sastrawi buat wartawan-wartawan yang
diundang untuk menulis buat majalah media dan jurnalisme PANTAU.
Diskusi diadakan di Utan Kayu, Jakarta, 20-21 September 2000.